Sabtu, 12 Agustus 2023

VOL—VIII: PENGELANA SI TUAN KESEPIAN.

BADAI MENGAMUK SIAP menghantam segala yang berurusan dengannya. Penyulut amarah badai tak lain adalah putra dari Poseidon. Netra mengarah kepada kapal tengah melintas tak gentar di dalam badai. Itu sukses membuat ia tertarik untuk mendekat dan melemparkan pertanyaan pada para kru di atas kapal tersebut.

Ombak masih mengguncang kapal besar ini, perlahan tapi pasti Pierce sampai di pinggir kapal. Tangannya meraba sisi kapal kemudian dengan sekuat tenaga yang ia punya. Pierce melompat melewati perbatasan kapal kemudian mendarat dengan sempurna di atas kabin yang terasa dingin. 

Ia berjalan dengan hati-hati, mengendap-endap bagaikan seorang pencuri kecil, sedang netranya tak henti menelisik seluruh sudut kapal sambil terus berdecak kagum. Kakinya terus membawanya berjalan sampai ia tak menyadari ada seseorang yang menghampiri dirinya, terlihat gadis cantik namun berperawakan tegas kini sudah berada di hadapan. 

Gadis itu memandang sinis seakan telah mendapati keberadaan pencuri yang baru saja menyentuh kabin kapal, tanpa banyak bicara lagi, sang gadis langsung menarik telinga dan menggaet Pierce masuk ke aula utama. Rasa sakit mulai mendera telinganya, Pierce pun merintih dan berusaha melepaskan tangan gadis itu dari telinganya namun gagal. 

“Aduh, telingaku!! Hei, ini sakit! Lepaskan aku?!!” Pierce mengaduh kesakitan.

“Diam!” Gadis itu berteriak, “Jelaskan dulu kepada kami, mengapa kau sembunyi di sana? Hah? Mau maling ya?” Rentetan pertanyaan mulai ia berikan, Pierce menggerutu dalam hat. Harga dirinya runtuh sehingga dia enggan menjawab jika telinganya saja masih ditarik seperti ini.

“Hei, gadis aneh, jaga bicaramu!” Pierce yang disebut hendak maling pun sudah pasti merasa terhina. “Pikirmu aku tak punya harta sampai merampok dengan cara seperti itu? Jelas tidak mungkin! Asal kau tahu, aku ini seorang pangeran!” Pierce menggeram tak suka.

Tibalah sosok lelaki berpostur tinggi, Haki menyahuti ucapan Pierce yang dinilainya tidak sopan “Hei, jangan sok. Aku raja di sini!”

“Oh, benarkah?” Pierce tersenyum remeh, “Apa aku terlihat peduli? Aku bahkan tak ingin tahu!” Ia tergelak menahan tawa, mulai memandang rendah lawan bicaranya. 

“Jika kau bukan pencuri, lalu untuk apa kedatanganmu ini?” Muncul seorang wanita cantik lainnya, Hala bertanya dengan nada santai namun terkesan dingin. 

“Tentu saja mengambil apa yang harusnya menjadi milikku,” jawab lelaki yang mengaku sebagai pangeran dengan tegas. “Berikan kerang itu padaku atau akan aku tenggelamkan kapal ini,” ancam Pierce. 

“Tunggu, apa tadi katanya?” Gadis dengan rambut pirang, Anggun, terlihat mengerut kening, ia dibuat bingung oleh permintaan Pierce. “Kerang? Kerang apa?” Pemuda yang memiliki kulit pucat, Dhavi, pun terlihat sama bingungnya, namun tiba-tiba, “Puja kerang ajaib!” seseorang dengan penampilan aneh yang tak lain adalah Araf, menimpali perkataannya dengan bahasa tidak masuk akal.

“Kami tidak punya kerang yang kau maksud itu.” Gauri segera menyela ucapan Araf. Mendengarnya buat Pierce menjadi marah. 

“Pembohong!” Ia berteriak, “Kau pikir aku buta sampai aku tidak bisa melihat ketika kalian membawa pergi kerang itu dari tangan perampok di Aestemore?”

Mereka terdiam setelahnya saling lempar pandangan. “Bagaimana kau bisa tau...?” Jagau bertanya dengan nada pelan namun berhasil membuat orang di samping, Arung, tersenyum sinis. “Bocah ini rupanya teliti juga dalam mengawasi kita, ya.”

Mendengar kata bocah dari mulut orang asing, membuat Pierce melayangkan protes. Ia pun memberi tatapan tajam dengan seringai khas bocah nakal. “Jangan panggil aku bocah, paman!”

“Jangan panggil aku paman juga! Aku masih muda tahu, enak saja!” Arung yang tak terima dipanggil paman pun ikut protes. Ia hendak hampiri Pierce dan memukulnya, namun tak jadi akibat Suha si navigator kembali menyela ucapan. “Tapi, kami memang tidak membawa benda itu.”

Suasana kapal mulai terasa sedikit mencekam akibat perseteruan kecil ini. Haki sang pangeran buangan pun mendecih, itak habis pikir dengan isi kepala para makhluk kapal. “Kalian yang tidak sadar atau memang bodoh?" Haki menyindir kemudian bertanya ke Anum, “Anum, apa kau menemukan benda itu?”

Gadis bernama Anum itu mengangguk, “Tentu, aku melihatnya bertumpukan bersama baju dan beberapa barang lain,” ucapnya sambil menunjuk sisi kapal yang berisi barang dimaksud.

Pierce tersenyum senang, ia merasa memenangi kepemilikan kerang itu. “Bagus! Sekarang, berikan padaku. Cepat!” Pierce mengulurkan tangannya namun ditepis oleh seseorang secara kasar. “Eits, tenang dulu, boy. Apa yang akan kami dapat jika kami memberikanmu ini.” Dhavi bersandar pada dinding kapal, ia menyeringai puas sambil menggoyangkan sebuah kerang yang Pierce inginkan.

Dengan malas Pierce merotasikan bola matanya, ia kemudian melipat kedua tangan di dada dan menatap Dhavi jengah. Kesabarannya sedang diuji. “Kalian bisa pinta apapun saat ayahku datang nanti.” Sang kapten mulai angkat bicara, “Untuk apa kami harus menuruti omong kosongmu ini?” Hala memberikan tatapan membunuh.

“Mengapa pula kau tak percaya padaku? Apa wajahku ini terlihat seperti seorang kriminal laut?” Lagi-lagi Pierce semakin dibuat geram oleh kapten dan seisi kru.

“Loh, itu terlihat jelas sekali!!” ucap Suha dengan tawa tipis bermaksud mengejek. “Dan kau masih bertanya?!” Jagau pun ikut menimpali ucapan Suha. Seakan mendapat mainan baru, dia menikmati kegiatan mem-bully si pangeran tengil tersebut. “Bikin heran saja.” Haki menggelengkan kepala tak habis pikir. Setelahnya Suha, Jagau beserta Haki tertawa bersama membuat Pierce makin merasa jengkel menganggap dirinya dipermalukan. “Cepatlah, aku tak punya banyak waktu untuk meladeni kalian! Mana kerangnya?!”

“Kau serius? Cukup sulit bagi kami untuk mendapatkan kerangnya,” ucap gadis lain bernama Livana yang kemudian dibenarkan oleh Arung. “Bukan cukup sulit lagi, tetapi itu sangat sangat sangat sulit!” Arung berucap dengan dramatis agar terkesan meyakinkan. “Oh, kasihan sekali.” Wajah Pierce berubah memelas, hingga seketika kembali acuh tak acuh. “Sayangnya aku tak peduli dengan kesulitan kalian.”

Pierce sudah lelah pada drama yang dibuat oleh mereka, jadi ia mulai membuang nafas panjang kemudian bergerak ke sisi aula utama untuk bersandar. Kakinya ia luruskan dan netra menatap tajam para komplotan itu satu-persatu. “Cepat berikan kerangnya padaku, manusia-manusia bodoh! Aku tak punya banyak waktu saat ini,” ucap Pierce memperingati. 

Anum yang tak terima sebab dikatai manusia bodoh mulai protes, “Maaf, tapi aku bukan manusia.” Ia kemudian melirik ke arah Dhavi dan Jagau. “Terutama aku beserta Jagau, kami bukan manusia,” tambah Dhavi yang diberi anggukan tanda setuju dari Jagau. “Terima kasih sudah mewakiliku, Dhavi,” kata Jagau, setelahnya mereka berdua melakukan tos. 

Haki menatap Pierce dalam diam, ia kemudian berdiri lalu mendekati Pierce, ikut bersandar di sampingnya. Sekejap ia perhatikan Pierce sebelum akhirnya lontarkan pertanyaan. “Seolah aku tidak asing denganmu, apa kau tinggal di perairan Laut Kembara?” Haki bertanya kepada Pierce.

Pierce menoleh ke sumber suara, ia melihat Haki yang ikut bersandar di sampingnya, ia pun mengangguk membenarkan ucapan pangeran itu. “Betul sekali, tumben kau pintar. So, tell me Prince Haki— ....” Belum sempat selesai bicara, perkataannya dipotong oleh pemuda itu. 

“It’s king,” koreksi Haki. 

Pierce malah jadi bingung karena perkataan Haki, sebab itu ia mengulangi pertanyaannya. “Pardon me?”

“It's King Haki from Aestemore actually,”  katanya membanggakan diri. 

Pierce yang mendengarnya pun merasa tersinggung, “Tak ada raja selain Posiedon di sini.” Tatapan tajam yang ia utarakan seolah memberitahunya bahwa hanya Poseidon-lah berkuasa besar. Namun ia berusaha menekan protesnya, ”Whatever. Beritahu aku, kemana kalian akan pergi mengembara selanjutnya?” Pierce kembali bertanya hendak kemana mereka semua pergi. 

Anum tak suka topik pembicaraan Pierce pun berkata, “Itu bukan urusanmu untuk tahu.” Jagau yang ada didekat Anum pun menyenggol pelan lengannya. “Kami ingin pergi ke Telaga Api tempat tinggalnya.”

Pierce menautkan kedua alisnya, tunggu sepertinya ia tahu hendak kemana kapal ini menemukan tuju. “Tempat tinggalnya? Tunggu, siapa yang kau maksud? Apakah itu Anorah? Kalian mengenal dia?” tanya Pierce secara beruntun.

Anggun yang mendengar rentetan pertanyaan dari Pierce pun berusaha menjawab sebisanya. “Dia teman kami, sekaligus kru kapal ini. Kenapa kau bisa mengenalnya?” Pierce mengangguk tanda mengerti. “Aku pernah bertemu Anorah tiga kali. Dulu, minggu lalu dan juga tadi,” kata Pierce dengan lagak tak minat. 

“Dulu? Apa kau sedekat itu dengan dia?” Kini Arung melayangkan pertanyaan, diberi gelengan tidak meyakinkan oleh Pierce. “Tidak juga, tapi kami cukup mengenal satu sama lain.” Suha langsung balas menimpali, “Itu bukan termasuk pertemanan yang akrab.” Suha mendengus. Sebelum ia melanjutkan kalimat, sang kapten sudah memotong kembali ucapan.

“Akan kuberikan kerang itu jika kau mau memberitahu kami jalan menuju ke Telaga Api.” Hala berbicara dengan nada serius membuat orang di sekitar mulai merasa tidak nyaman. “Kapten! Keputusan yang kau pilih sangat ilegal. Itu melanggar aliansi kita dengan Inir!” protes Haki sebagai wakil kapten karena tak terima pada usulan sang kapten, lagi-lagi Hala mengelak. “Haki, mereka sudah bukan urusan kita lagi.”

“Tetap saja tidak boleh dilakukan, karena itu melanggar perjanjian!” Kini giliran Jagau ikut memprotes tindakan si kapten. Hala terdiam sejenak. Ia lamat-lamat memikirkan kembali apa yang telah ia katakan. “Tapi ... semuanya demi Anorah, 'kan?”

“Lakukan sama selagi itu benar bagimu.” Livana hanya pasrah langsung meng-iyakan perkataan sang kapten membuat Pierce yang ada di sana mulai tertawa. “Apa kau yakin dengan itu?” tanyanya main-main. 

Tentu saja Hala yang dipermainkan merasa harga dirinya diinjak. “Apa aku terlihat ragu sedikit pun? Tidak. Aku serius tentang itu,” tegas Hala sudah membulatkan keputusan. 

Pierce yang melihat keseriusan dalam raut wajah Hala seketika tersenyum lalu mengangguk setuju. “Baik, kutunjukkan jalan kesana.” Sebelum melanjutkan kalimat, Pierce menatap satu-persatu awak kapal dengan raut wajah bingung. “Sebentar, aku ingin bertanya satu hal. Bagaimana cara kalian bisa sampai sini? Dengan keadaan masih hidup lagi?”

Namun pertanyaan Pierce membuat Araf sedikit tersinggung, pemuda itu kini berdiri dan berkacak pinggang di hadapan Pierce sambil mengatainya. “Hei kau, si kepala puding! Aku sudah tidak peduli makhluk jenis apalagi yang akan menghalangi kami nantinya! Asal kau tau saja, kami tidak akrab dengan kata menyerah!” ucap Araf berapi-api. 

“Jaga bicaramu wahai makhluk aneh yang entah darimana!” Pierce menatap nyalang kepada Araf. Bung, harga dirinya seketika hilang dikatai kepala puding. “Berani sekali kau memanggilku dengan sebutan hina seperti itu.”

“Tentu saja kami berani, memangnya kau ini siapa?” Dhavi mulai tersulut emosi. Pierce yang ditanya seperti itu pun langsung terkejut, tak percaya mereka semua tidak ada mengenalinya. Maka secara bangga, berkata bahwa ia adalah anak kesayangan sang penguasa lautan. “I’m Pierce Carter, Son of Posiedon.”

Lagi-lagi makhluk bumi itu tak memercayai, “Alah bohong! Kami tak percaya.”

Pierce merasa dirinya tidak dipercayai kini berdiri dari acara duduknya dan tatap Araf tak suka. Ia mulai mengeluarkan sesuatu dari leher yang tertutup oleh kerah baju. “Untuk apa aku berbohong? Kau lihat kalung ini? Ya, ini adalah buktinya.” Pierce menunjukkan sebuah kalung, bertengger manis di leher. Kalung perak dengan trisula kecil berwarna biru sebagai liontin. Adalah bukti nyata bahwa ia putra Posiedon. 

“Bisa saja itu palsu.” Dhavi yang sempat melihat bentuk kalung Pierce pun masih merasa tak yakin, sebab kalung tersebut banyak dijual di pasaran pikirnya. 

Mendengar itu, Pierce menggeram rendah. Baru kali ini orang berani permainkannya. “Kalian benar-benar kelewatan! Lihat ini, kau tahu? Aku juga punya senjata beliau!” Pierce menarik kalungnya dan benda itu dengan sekejap mata berubah menjadi sebuah Trisula emas besar. 

Jagau penasaran pun mendekati Pierce, “Apakah itu garpu taman?” Ia menyentuh Trisula dan bertanya hal yang membuat Pierce naik pitam sekali lagi.  

“KEPALAMU GARPU TAMAN! INI TRISULA, DASAR BODOH!” teriak Pierce tak terima sebab kuasanya secara hina disebut garpu taman. “Oh, benarkah? Lalu benda itu digunakan untuk apa?” pertanyaan polos kembali terucap dari mulut Jagau. 

Pierce mendesah pasrah, kenapa ia bisa terjebak dengan sekumpulan makhluk bodoh ini. “Tentu saja untuk mengendalikan laut.” Setelah menjelaskan tentang tata cara penggunaan Trisula, mereka percayai bahwa ia benar putra sang penguasa laut. Pierce kembali merubah Trisula menjadi sebuah kalung dan memakainya lagi. 

“Karena kita akan pergi ke tempat Anorah, jadi kalian semua harus bisa menahan napas untuk pergi ke bawah sana.” Pierce memberikan sedikit informasi mengenai tata cara pergi ke telaga itu. Anum yang tak mengerti pun mulai bertanya maksud dari perkataan Pierce. “Apa maksudnya?”

Haki melirik Anum sekilas, ia yang melihat raut kebingungan di wajah gadis itu pun segera menjelaskan. “Telaga Api, tempat di mana keindahan hanyalah menjadi racun mematikan.”

Pierce tersenyum senang akan kepintaran pangeran itu, “Benar, Haki. Tumben sekali kepala bisa berpikir, bangsawan buangan.” Perkataan Pierce sukses membuat Haki memalingkan wajah tapi itu justru membuat Pierce tertawa karena merasa menang. 

Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, Pierce berjalan sedikit menjauhi kerumunan itu dan kini ia berdiri di sisi kapal sambil netranya melihat lautan lepas. Ia kemudian teringat akan kejahilannya beberapa saat lalu. “Oh iya, tentang badai tadi ... sejujurnya itu bukan salah cuaca. Tapi karena ulahku akibat sedang tak ada kerjaan.” Pierce berkata lantang membuat kerumunan yang tadi sempat diam, larut dalam pikirannya masing-masing. Kini kembali heboh akibat pengakuannya. 

Gadis yang pertama berteriak tak terima adalah Anum, ia tak terima sebab keusilan bocah ini hampir membuat seluruh barang saat sudah ia bereskan kembali berantakan. “Dasar bocah, berani-beraninya kau main-main dengan kapal Loka di saat kami sibuk sendiri supaya tak tenggelam?!”

“Asal kau tahu, ya, Pierce. Aku hampir jatuh dari atas! Bagaimana jika nanti aku tertimpa layar kalau saja aku tak berpegangan selama badai buatanmu itu berlangsung?!” Anggun, gadis itu berteriak tak terima sebab kejahilan Pierce bisa saja membuat dirinya dalam bahaya. Hei, siapa yang tak merasa ngilu jika kau terjatuh dari atas ketinggian dan tertimpa layar? Pikirkannya saja sudah buat Anggun bergidik ngeri. 

“Dan harta kami di kapal hampir jatuh ke laut gara-gara ombakmu itu, bocah nakal!” Kini giliran Arung yang berteriak tak terima sebab harta berharganya jadi taruhan, setelahnya lelaki itu mendapat pukulan kasih sayang dari Gauri sampai meringis. “Kau ini, masih sempat-sempatnya pikirkan harta, ya!” tegur Gauri, pelaku pemukulan terhadap kepala belakang milik Arung. 

“Aw, kasihan sekali. Tapi aku tak peduli,” ucap Pierce. Ia segera memalingkan posisi lalu meminta maaf walaupun terkesan tak sungguh-sungguh. “Maaf, deh. Aku tak berpikir sampai ke sana. Lagian seru juga melihat kalian yang panik, hahaha.”

Ketiganya mendengus dengar permintaan maaf Pierce kesannya sangat amat tidak bersungguh-sungguh. 

“Aku baru tahu kalau anak Dewa bisa gabut juga.” Araf menyeletuk, buat Dhavi yang berada tak jauh darinya ikut menyeletuk. “Mungkin karena dia masih kecil.”

Suha tak mengerti percakapan antara Araf dengan Dhavi pun bertanya, “Gabut itu apa?” langsung dijawab oleh Jagau sok tahu. “Mungkin sejenis garam.”

“Artinya kurang kerjaan! Dasar komplotan kolot.” Araf menjelaskan kepada Suha dan Jagau mengenai arti gabut yang ia bawa dari bumi. 

Di sisi lain, Pierce menatap penuh minat kepada benda yang berada di tangan Haki. Ia mulai mendekati Haki, tengah berbicara dengan sang kapten, Hala. “Maaf apabila menganggu, aku hanya ingin bertanya lagi. Tujuan kalian ingin kemana sebenarnya? Dengan peta dan juga ... apa itu? Sebuah poster sayembara?”

Hala menyadari keberadaan Pierce pun menjawab, “Kami ingin mencari petinggi itu,” katanya dengan yakin tetapi hal itu malah membuat Pierce terkejut. 

“Kau bercanda?” kini Pierce menatap Hala penuh tatapan menyelidik.

“Tak, aku serius,” jawab Hala meyakinkan. 

Seketika wajah Pierce berubah masam, ia mendecih tak suka. “Maafkan aku kapten yang terhormat, lebih baik kalian pulang saja. Petinggi culas itu tak pantas untuk kalian cari! Biarkan dia menghilang dan tak payah ditemukan.” Pierce menjelaskan menggunakan penekanan.

“Kau ini tak tahu apa-apa, jadi sebaiknya kau diam saja.” Jagau menyela ucapan Pierce, telinga serigala itu sangat tajam ternyata. Anum mengerti arah pembicaraan Pierce dan Jagau, maka membela Hala. “Lagipula kalau kita bisa mencari petinggi itu, mereka bisa mengembalikan kedamaian di dunia ini.”

Perkataan yang dilontarkan Anum sontak buat Pierce tertawa terpingkal-pingkal. Ia baru saja tak salah dengar tadi? Lelucon apa sedang mereka bicarakan sekarang?

“Apa? Pfft, dia? Mengembalikan kedamaian dunia? HAHAHAHA. Lelucon bagus, nona.” Pierce berkata sambil tertawa, tentu saja tawanya itu mengundang tatapan tajam dari Gauri. “Hei, memangnya apa yang lucu?” Gauri bertanya kepada Pierce. 

Pierce menoleh ke arah Gauri. “Kalian ini salah kira. Ramalan prasasti hitam itu sudah ada sejak seribu tahun lalu dan tak pernah tergantikan. Mereka mengatakan bahwa yang berhasil mengembalikan ramalannya adalah bajak laut gadungan, bukan petinggi itu,” jelas Pierce tanpa ada satu pun kebohongan. 

“Tidak masuk akal!” Araf pun protes karena bingung. “Bagaimana bisa komplotan ini yang jadi pahlawan?” Ia kembali bertanya kepada Pierce. 

Pierce mengangkat bahunya tanda tak mengerti, “Aku juga tak percaya. Tapi itu benar adanya, bung. Kalian tak percaya? Kalau iya, coba kalian tanyakan pada si penyihir itu.” Pierce menunjukkan gadis bernama Livana, kini berdiri tanpa ekspresi. “Ia berlagak tak tahu apa-apa, padahal ia tahu segalanya.” Pierce berkata mengejek. 

Hala terkejut dengan ucapan Pierce, “Liv? Apa benar kau tahu soal ini? Mengapa tak memberitahu kami?!” Hala melirik Livana penuh sangsi, ia menuntut balasan, namun gadis itu hanya tersenyum lantas tak beri jawaban apapun. “Maaf, aku akan pergi tidur,” ucap Livana, setelahnya ia pergi masuki ruangan tempat para kru istirahat. 

“Mungkin kapten yang memang tak peka.” Dhavi menyindir Hala yang mana membuat Hala tersinggung. “Apa maksudmu itu?!” Hala melirik Dhavi dengan tajam.

Arung melihat akan terjadi pertikaian pun mendekati Hala dan menenangkan gadis itu. “Sudahlah, Nona Hala. Tak apa. Jangan diambil hati perkataan Dhavi tadi.” Arung berucap lembut untuk menenangkan sang kapten. 

Puas melihat pertengkaran, Pierce kembali menegaskan bahwa mereka tak boleh melintas di wilayah kekuasaannya ini. “Kalian tak boleh berlayar untuk mencari petinggi itu, pulanglah. Kalian bukan bajak laut resmi,” ucap Pierce mutlak. 

“Lah kok ngatur?” Araf bertanya, pastinya ia tak terima dengan penuturan Pierce tadi. 

“Tentu saja, aku yang punya laut! Kalian harus menuruti perintahku,” ucap Pierce, ia tak ingin perintahnya diganggu gugat. 

Siapa sangka ternyata ucapannya berhasil membuat Jagau emosi, ingin sekali pemuda itu memukul Pierce. Di sisi lain, Anggun pun sudah siap menyerang Pierce. Terbukti muncul adanya tombak es di tangan kanan, gadis itu siap bertarung. 

Pierce menatap remeh Jagau beserta Anggun, dalam hati ia bersorak kegirangan karena bisa membuat mereka terpancing. Pierce pun hendak melawan mereka guna kekuatan petirnya, namun semua itu digagalkan oleh Dhavi. Makhluk berkulit pucat tersebut merasakan hawa mencekam dari ketiga makhluk di depan. Angin mulai kembali berhembus kencang dan awan mulai menggelap. Maka tanpa aba-aba, ia menarik Pierce dari hadapan Jagau serta Anggun agar menghindari kejadian tidak diinginkan. Ia mulai menasehati, jika Pierce memang tulus memperingatkan mereka. 

“Bukan begitu caranya menghalangi kami, Pierce. Kami jelas paham bahwa bahaya menanti kami di depan sana. Tapi daripada kau melarang kami, lebih baik kita saling membantu maka tidak akan ada kekuatan lagi yang menggebu.” Dhavi menjelaskan agar Pierce mengerti. 

Tapi Pierce tetaplah Pierce, anak itu kini tertawa lepas setelah mendengar nasihat panjang dari Dhavi. Setelah dirasa cukup, semua memilih agar bubar dan kembali ke urusannya masing-masing.

Begitupun Pierce, ia merasa urusannya sudah selesai di sini. Jadi anak itu berjalan mendekati sisi kapal berniat untuk pulang lebih dulu, ia sudah siap melompat namun tiba-tiba suara Haki memanggilnya buat ia berhenti. “Hei, Pierce. Bagaimana jika kau ikut berlayar bersama kami?” Haki berjalan mendekati Pierce yang hendak pergi. 

“Haki, tapi dia tidak diajak oleh kapten.” Gadis itu, Suha. Ia menyenggol lengan Haki sebelum sampai agar Haki sadar posisi. Ia hanya seorang wakil kapten, tak harusnya merekrut orang dengan seenak jidat. 

“Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik.” Pierce menggeleng, ia enggan untuk berlayar bersama komplotan bajak laut gadungan yang minim pengalaman ini. 

“Ikut saja dengan kami, jikalau kau butuh teman. Pun, kau berguna bagi kami agar menuntun jalan menuju Telaga Api,” ucap Hala, memberi penawaran menggiurkan.  

Belum sempat ia melompat, perkataan Hala membuat anak itu menyeringai lebar. Ia pun berbalik dan menatap Hala tepat di netra. “Rupanya kau masih ingat janji, ya.” Pierce bersiul dengan tangan menyilang di dada.

“Tentu saja, aku tak pernah mengingkari janji.” Hala tersenyum bangga, wajahnya terlihat dua kali lipat lebih menyeramkan. 

Araf merotasikan bola matanya malas, “Apa iya?” Ia pergi meninggalkan Anum dan Gauri yang tengah berbisik. “Bukankah kapten sudah melanggar janjinya dengan Anorah untuk tidak memberikan kerang itu pada siapapun?” tanya Anum pada Gauri. 

Gauri menganggukkan kepalanya. “Semoga bahaya yang datang tidak sebesar itu.”

Selanjutnya adalah pertarungan antar dua kaum juga dua dunia hingga berhasil akan melibatkan kuasa Dewa-Dewi. Pengelana ke dalam air segera tiba, misteri terungkap tengah menanti depan mata mereka.





BERSAMBUNG ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...