Minggu, 13 Agustus 2023

VOL—VIII, {2}: KEAJAIBAN DI KEGELAPAN.

MATAHARI BERSINAR DENGAN cahaya yang lebih terik dari biasanya. Raja siang tengah memimpin dunia tengah berikan sinar dia dengan andil. Samudera nampak terbentang luas, terlihat mengilap oleh pantulan kilau mentari. Hampir sukses memanggang satu kapal saat mengapung di atas permukaan air tanpa layar peneduh.

Sebagian kru Loka Dè Janitra mengeluh kepanasan, bahkan mereka sedikit takut akan mati karena panas hingga kehausan. Tetapi biar begitu, Kapten Hala, sedikit penasaran bagaimana Pierce sangat tahu tentang Anorah. “Hei, Pierce, bagaimana kau bisa tahu soal Anorah? Padahal baru bertemu dengannya tiga kali,” tanya Hala.

Pierce kepanasan dan menyibakkan baju ke atas sembari kehausan setengah mati menoleh saat jari menggaruk-garukkan tenggorokannya. “Aduh, aku sangat kepanasan sekali, nona. Setidaknya beri aku satu buah kelapa supaya menyegarkan tenggorokanku. Saking panasnya, aku sampai merasa ingin meleleh seperti lilin.” Pierce memang tidak suka panas, sungguh.

“Jawab dulu pertanyaanku, hei! Kau bukan manusia salju yang bisa meleleh begitu terkena sinar matahari,” kata Hala sembari berdecak lalu memukul pelan pundak Pierce. Sedang yang dipukul hanya membalas dengan tatapan sinis, lalu menoleh ke arah lain, tidak peduli. “Aku akan menjawabnya kalau cuaca sudah bagus. Diamlah, jangan berisik.”

Beberapa menit berlalu, Hala sudah tak tahan akan gerah. Maka dibukanya jaket yang menyelimuti bahu si nona. Sampai baru detik-detik berlalu, Arung terbangun karena suhu begitu tinggi. Uap panas pun memeluk tubuh tuan. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak jikalau begini. Bandit itu akhirnya bangkit sambil mengusap mata hingga ia melotot lihat Hala tak memakai jaket. “Nona Hala, kenapa kau lepas?! Kenakan kembali jaketnya!”

Hala mengernyit. Ia sedang berkipasan di bawah payung sembari menikmati indah lelautan sana meski hanya pemandangan membosankan. Tidak ada pulau ataupun perbukitan menghiasi. Ditambah cuaca semakin panas, jadi Hala memakai baju sedikit terbuka. “Sekarang ini panas, dasar bodoh. Lagipula aku suka bajunya.”

“Ucapanmu sangat kejam, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, angin laut itu berbahaya! Kau bisa sakit dibuatnya!”

Haki muak melihat perdebatan itu dan hanya menggeleng pelan pada keduanya. Ia tak masalah dengan cuaca karena Anggun duduk di sampingnya. Jadi ketika angin bertiup, Haki seperti punya pendingin otomatis. Walau sedikit ogah-ogahan tadi Anggun dekat-dekat Haki, di akhir pun luluh juga. Kini si putri terlelap nyaman.

“Panas sekali, aku bisa mati kepanasan!” Araf menutupi tubuhnya dengan baju yang ia lepas. Gerah itu menyiksa sampai ke ulu.

Gauri mengusap peluh di pelipis. Sambil memerhatikan sekitarnya, lalu memandang ke arah langit. “Apa jalan menuju ke telaga memang sepanas ini?” Pierce menjawab dengan anggukan. Lalu tiba-tiba Araf berdiri dari posisi terlentang hingga buat baju itu jatuh. Secara cekatan Arung di dekat Araf mengambil kain tersebut agar Araf menutupi dadanya. “Pakai yang benar, tidak sopan sama Nona Hala dan lainnya.”

Pierce seketika mengingat ide brillian di kepala. Meski ragu sedikit menghampiri, ia tetap menoleh pada teman-teman kru kapal tersebut. “Sebenarnya aku ingat ada jalan pintas untuk sampai ke Telaga Api dengan cepat!” Mendengar hal itu, Jagau nampak tersenyum senang, “Tunjukkan jalannya!”

Mereka dibuat bingung oleh telunjuk Pierce yang mengarah ke bawah. “Kita menyelam, berenang ke telaga itu,” jawab Pierce. Buat semua kru langsung terdiam membisu.

Hala tertawa canggung, ia mengusap-usap tengkuknya sendiri. “Selain lupa caranya terbang, aku tidak pandai dalam berenang.”

Araf dan Haki menjatuhkan rahangnya. Si bangsawan buangan itu memijit pangkal hidung, seolah ia salah pilih regu. Sedang Araf meraup wajah frustasi. “Bagaimana ceritanya seorang bajak laut tidak bisa berenang?!” sahut Araf tak percaya. 

“Ehm ... aku tidak berencana untuk menjadi bajak laut sebelum itu. Gunakan pelampung saja!” Hala mendengus sebal. Bajak laut yang tidak berenang masihlah normal tapi anggota bersikap seolah ini masalah besar.

Arung menepuk dahinya, merasa lelah dengan sang kapten. “Kalau kita gunakan pelampung, sia-sia saja. Kita bahkan bisa selamanya mengapung di lautan ini.”

Perut Pierce tergelitik, ia mendorong dahi Hala menggunakan telunjuk panjangnya. “HAHAHAHA, bajak laut yang tidak bisa berenang adalah aib!” Bagi dia, lucu sekali mengetahui ada perompak sulit berenang.

Dhavi berdecak sinis, pemuda itu menarik kerah belakang Pierce dan mendorongnya menghadap lautan. “Kau, daripada tertawa mengejek. Coba kau beri contoh yang benar pada mereka. Berenang sana!”

Pierce mengangguk dengan angkuh. Ia pun langsung melompat bersama gaya paling keren ala atlet perenang kemudian masuk ke dalam permukaan air. Beberapa rintik air tak sengaja menyiprati wajah mereka, lalu kaki Pierce muncul. Ia mengayunkan kedua kakinya, bising percumbuan air jua telapak tidaklah seberapa. Anum jadi ingin meninju wajah menyebalkan Pierce, pasalnya dia tidak memberikan kemajuan sama sekali.

Seperti ... berenang di tempat.

Anggun tidak tahan lagi untuk berteriak. “Anak Poseidon yang tidak bisa berenang adalah aib!” Semua kru reflek menertawai tingkah Pierce tersebut bersama-sama.

“Kau ingin mati, hah?!” tanya Pierce sembari menatap sinis Anggun. Membuat Anggun langsung panik. “AKU HANYA BERCANDA! KENAPA PEMARAH SEKALI!” Pierce jadi sibuk beradu mulut dengan Anggun. Haki tidak ingin mendengarnya. Padahal hanya beberapa memilih untuk keluarkan suara tapi ramai macam pasar.

Haki menoleh ke arah Jagau yang sedari tadi hanya terdiam menyimak interaksi kru lain, bangsawan itu menepuknya pelan. “Kau bisa berenang, 'kan?” tanya Haki. 

Seluruh tubuh Jagau mendadak kaku. Lebih sulit bicara sekarang. “Aku? Bisa,” jawab Jagau dengan hati sedikit ragu. Membuat Haki langsung memukul bahunya. Baiklah, setidaknya laki-laki serigala ini masih bisa diandalkan. Haki merasa lega sejenak.

Pierce menunjukkan raut bangga. “Karena aku baik hati, aku akan memberikan kalian gelembung ajaib ini!” ucap si Anak Dewa laut itu sembari jemari membentuk huruf O, kemudian meniupnya hingga menjadi satu buah gelembung seukuran kepala mereka. Gelembung ajaib tersebut bisa melayang dan lapisi kepala masing-masing kru. “Ya, dengan gelembung milikkulah, kalian bisa bernapas di dalam air. Hebat 'kan?”

“Apa? Kau ingin aku bertepuk tangan?” ujar Hala dengan nada sarkas. Nampaknya gadis itu masih menyimpan dendam. Tapi jangan khawatir, Arung selalu ada untuk memisahkan mereka walau harus terkena imbas. Pierce jadi ikut sinis, “Kaku sekali, galak pula. Bersyukur jika kau itu cantik.”

Satu-persatu dari mereka mulai melompat setelah mendapat gelembung di kepala. Sesuai kesepakatan, hewan-hewan milik para anggota dibiarkan tinggal agar bisa menjaga kapal. Dan ketika Jagau hendak melompat, Gauri menarik lengannya cepat. “Jagau, pakai alas kaki,” suruh Gauri.

Jagau hanya menatap sebentar, lalu ia menggeleng. “Tidak mau!” Jagau menolak keras, membuat gadis pemanah ini heran. 

“Aku sudah memperingatkanmu, Jagau. Ini perintah kapten juga. Kenakan alas kaki!”

Jagau menggeleng lagi. “Tidak mau, jangan memaksaku, Gauri. Aku lebih suka begini.” Mendengar itu, Gauri hela napas lelah. Yah, terserah Jagau saja ingin seperti apa.

Saat Gauri mengikat ulang sepatu agar tali lebih kencang, Jagau lebih dulu melompat. Rasanya Gauri akan meledak. Namun, tak lama kemudian Jagau kembali muncul ke permukaan. Ia mengangkat kedua kaki di udara agar Gauri bisa melihat hasil.

Bahwa dia terkena bulu babi.

Jagau hanya meringis lalu meminta maaf. Sedangkan Arung menoleh pada Haki yang terdiam, sang bandit merasa akan ada hal tak beres dengan perjalanan mereka. “Kau pikir ini akan berjalan dengan baik, Haki?” keluh Arung sembari memegangi kepala.

Pemuda di sampingnya tengah menunggu Gauri menyelesaikan urusan, hanya beri balas helaan napas. “Aku meragukan itu.”






CAHAYA PANAS MENYENGAT bahkan tetap bisa menembus di dalam air. Tapi karena itu, terumbu karang hingga rumput laut juga hewan-hewan kecil lainnya menjadi pemandangan indah. Nampak sangat menenangkan buat mata sukar mengedip.

Mereka sudah mulai menyelam perlahan. Pierce memang tidak pandai berenang tapi karena berkah yang ia punya, dia bisa menggerakkan arus di sekeliling. Semua jadi terlihat lebih mudah. Para anggota pun mengikuti sebagai tanda terima kasih kepada Pierce sebab mau memberikan gelembung ajaib agar mereka dapat bernapas saat menyusuri gelapnya lautan.

Ya walaupun, tidak semua anggota dapat berenang dengan lancar. Mereka berbaris membuat lima barisan. Di barisan pertama ada Hala memegangi kaki Haki, lalu di belakangnya Jagau bertumpu ke Arung walau sedikit memeluk, setelah itu barulah ketiga Livana dan Anggun yang bertaut tangan bersama Pierce, setelah itu Gauri dan Suha digandeng oleh Dhavi, sedang barisan terakhir Araf merangkul Anum.

Mereka terus berenang, perjalanannya jelas berantakan jika Pierce tidak membantu. Beberapa kali arus air berusaha mendorong mereka jatuh ke dasar jurang, namun Pierce masih mampu mengatasi itu semua. Buat diam-diam para kru bersyukur padanya.

Kaki Jagau masih berdenyut selama masih perjalanan dilakukan. Tak henti-henti ia meringis. Karena keadaannya dipantau. Sedang Haki berenang sambil membawa seorang gadis yang tidak mau lepas dari kaki. “Kau mau kutendang, ha? Jangan pegangan di situ!” Haki jadi mengomel saat merasakan jika dirinya kesulitan bergerak.

Hala berdecak. “Kupecahkan gelembungmu kalau kau berani menendangku!” Mereka memang bisa berbicara didalam gelembung walaupun agak kedap tetapi masih dapat berkomunikasi dengan sangat baik.

Tangan Haki kemudian menarik lengan Hala hingga tubuh perempuan itu mendekatinya, karena ringan di dalam air maka mudah jika Hala berpindah. Haki melingkarkan tangan Hala pada lehernya, posisi tersebut lebih baik daripada Hala benar-benar tertendang nanti. “Pegangan yang erat, tapi jangan sampai mencekik.” Hala angguki patuh.

Setelah keributan kecil, mereka kembali menelusuri lautan. Arus yang membawa mereka berenang semakin deras, pun lebih cepat untuk menyelam ke dasar. Perlahan tapi pasti, presensi mulai meninggalkan keindahan lautan menjadi kehampaan tanpa cahaya apapun. Lautan begitu gelap, buat mereka hampir tidak bisa melihat sekitar. Hanya dapat memandang ke depan di mana Pierce memimpin jalan, meski redup kecil.

Tidak ada yang kembali berbicara, mereka masing-masing tenggelam dalam dunia. Fokus untuk menuju ke Telaga Api dengan jalan pintas, namun mereka tahu bahwa setiap perjalanan lebih efektif biasa selalu mendapatkan risiko. “Berhati-hatilah, aku tidak tahu predator mana yang menghuni laut ini,” ujar Pierce pelan kepada para kru.

Di saat mata mereka mulai sakit dan lelah, ada suara gelembung milik ikan. Bunyinya tidak hanya satu, melainkan banyak. Apa mungkin, Ikan ini datang bergerombol? Buat mereka semua terdiam, menunggu apa yang akan terjadi. Sampai salah satu dari anggota memilih berteriak heboh.

“WAAAA!!!” Haki menjerit kencang. Takut.

Ternyata benar ada ikan predator. Berupa anglerfish namun anehnya mereka tidak melihat cahaya lampu dari ikan itu datang. Sekarang mereka dilanda panik karena akan dimakan hidup-hidup semua perompak ini.

Gauri baru kali ini merasakan khawatir tak membawa apa-apa, mana mungkin pula ia bisa memanah di dalam air? Kedua tangan kini makin memeluk Suha sekaligus Dhavi. Sedangkan Anggun terkejut karena tiba-tiba datangnya serangan tersebut, ia beri tatapan tajam lalu melepas genggaman dari Livana. “Tidak, Anggun! Kembali ke sini!”

Perempuan gila berduel itu mencoba agar membekukan seluruh lautan nampaknya. Pierce dibuat terkejut, insting dengan cepat menekuk kaku saat es itu meraih. “Apa kau ingin bertarung sekarang, hah?! Anggun!”

Anum berenang menjauh bersama Araf, ia berusaha menghindari ikan yang justru mengejar daripada membeku bersama kuasa Anggun. “Kenapa harus kami?!” Mereka perlahan mulai merasakan sensasi dingin mendadak karena kekuatan Anggun. Sempat terkejut juga saat gelegar dari hasta Hala menyerang ikan dengan petir.

Bagai menyelami tinta, mereka tak dapat melihat apa-apa setelah ikan itu pergi. Lalu Anum meraba sesuatu yang keras di mana ia yakini sebagai batu karang agar Anum berhasil bersembunyi. Tetapi Anum tak bisa memandang apapun, hanya suara kru lain.

“Kalian jangan bergerak, tenang dulu!” teriak Pierce. Laki-laki itu merasa bulu kuduk mulai merinding tanpa alasan, dia harus mengumpulkan mereka yang sudah terpencar. Entah kenapa, rasanya ketika semakin menyelam ke dasar permukaan. Maka napas lebih berat, lubang hidung mereka seakan sulit menarik oksigen dari gelembung buatan Pierce.

“Kubilang jangan bergerak!”

“Kami tidak bergerak!” suara Dhavi lantang mewakili siapapun teman-temannya.

Fokus Pierce mulai kacau, ia ingin menarik mereka mendekat dengan kekuatan yang dimiliki. Tapi ada kejanggalan datang dari mana entah sejak kapan, atau mungkin ia baru menyadari sekarang. Pierce tentu menyatu bersama lautan sebab dirinya dilahirkan di bawah air, berarti Pierce tahu siapa saja orang-orang berada di dekatnya. Aneh, jumlah kehidupan selain para kru kapal itu mulai bertambah satu-persatu. Seolah sesuatu bergerak cepat, tak dapat diterka. Terus berjumlah banyak, Pierce sampai menggertakkan gigi. Apalagi saat merasa aliran ait berubah, sekumpulan ikan macam mengelilingi kawasan tersebut.

Perasaan panik kini melanda semua tanpa terkecuali, bahkan salah satu dari mereka mulai pasrah jika nanti akan jadi santapan para makhluk mengerikan di sini. “KALIAN SEMUA, DENGARKAN ARAH SUARAKU DAN MENDEKATLAH, CEPAT!” teriak Pierce keras memanggil teman-temannya.

Arung mengumpat, sungguh, pemuda itu mendapati pandangan gelap padahal mata terbuka lebar. “Sial, aku tidak bisa melihat apapun! Jagau! Jangan lepas pegangan tanganmu! Kalian semua ini di mana?!”

Anum mendengus kesal, ia pun keluar dari balik terumbu karang untuk berenang ke arah suara Pierce. Namun, sebelum ia merentangkan tangan, kembali dirasakan bahwa jari-jemari mengenai sesuatu yang licin sekaligus kasar sisik suatu makhluk. Gadis dengan rambut merah itu meneguk saliva diam-diam, tangan meraba dan benda tersebut bergerak lebih dekat.

Firasat Jagau sangatlah buruk. Karena ia istimewa, Jagau bisa sedikit melihat dalam gelap. Nampak memicingkan mata, untuk meyakini apa yang ia lihat. Meskipun dari jarak jauh, Jagau yakin ekor ikan barusan melintas terlihat menyeramkan dan sangat besar. Pemuda itu menahan napas kala sadar ada sebuah duri pada ikan tersebut. “Apa-apaan, mahluk apakah?” tanya Jagau, membuat semua menoleh ke arah suara.

Gauri berdesis dan memberikan tanda untuk mereka semua diam terlebih dahulu, gadis pemanah itu menutup kedua telinga. “Jangan berteriak dan membuat suara, lalu tutup kedua telinga menggunakan tangan.”

“Mengapa lakukan itu?” tanya Jagau. 

“Jagau, kau bisa tidak menurut pada kami? Lebih baik turuti apa yang dikatakan Gauri dan diamlah, mereka sudah datang,” sahut Anggun. Jika saja mereka bisa melihat, sudah pasti Jagau dipukuli oleh Gauri. 

Livana berusaha tidak membuat suara ketika merasakan sesuatu melewati mereka, bisa dirasakan karena gelombang arus yang berbeda dari sebelumnya. “Hei, sepertinya ... kita sudah masuki kawasan mereka. Itu sebabnya mereka mengepung,” cicitnya pelan. Dhavi pun menyetujui, ia dapat mendengar jelas bisikan alunan lagu di mana belum pernah didengarnya.

Nyanyian para penghuni laut kesepian.

Jagau sudah terpisah dengan Arung sedari tadi. Dirinya hendak mencari tetapi kakinya sulit diayunkan apalagi setelah terkena bulu babi. Dan pada kenyataan, Jagau belum pernah berenang sebelum itu. Ia biarkan tubuh melayang oleh arus, tidak ada yang bisa dipegang sekarang. Hati mulai tidak tenang, haruskah dia jujur saja kalau tak dapat berenang? Tapi itu memalukan, dan Jagau tak sudi mengiris harga dirinya.

Arung juga membeku saat merasakan sesuatu lewat mengenai kakinya. Sang bandit merengek pelan, “Aku merasa ada sesuatu yang mengenai kakiku.”

Suha juga mendengarnya, nyanyian samar-samar itu mulai terdengar dengan jelas seakan suara mendekati mereka terus. Ia kebingungan, kenapa Pierce diam saja?

Hala menyadari sesuatu. Sedari tadi gadis itu tidak mendengar suara teman-temannya yang lain. “Tunggu, di mana yang lain? Aku tidak mendengar suara Anum, Dhavi? Aku harus mencari mereka sekarang!”

“Jangan seenaknya, diam dulu!” suruh Haki dengan nada tinggi saat Hala mencoba lepas pelukannya pada leher. Ia menarik pinggang si kapten semakin mendekat.

Pierce yang sedari tadi diam saja akhirnya membuka suara, “Kalian semua, dengarkan aku. Lebih baik kita naik ke atas, sekarang. Kumohon untuk kali ini jangan bertanya mengapa, ikuti saja.atau kalian memang mau mati jadi santapan ikan-ikan di sini.”

Nyanyian itu terus bertambah naik volume suaranya. Mengalir masuki telinga, tembusi kepala mereka. Alunan memabukkan serta mematikan. Kala mereka perlahan mundur menjauhi kawasan tersebut, akhirnya bisa melihat permukaan kembali. Udara di dalam gelembung semakin tipis. Lalu Pierce menarik mereka semua ke permukaan.

Setelah sampai di permukaan laut, mereka cepat-cepat meraup udara sebanyak mungkin. Haki menyibak rambut ke belakang, melirik para teman-teman di sampingnya. Namun, ia tidak melihat presensi dari lima temannya; Arung, Jagau, Anum, Dhavi, sekaligus Araf.

Lalu Haki langsung menghampiri Pierce. Suasana hati bangsawan itu langsung buruk. Ia menatap sinis ke lawan bicara ketika Pierce tengah meremas pakaiannya. “Hei, Anak Dewa!” Pierce menoleh, hanya mengangkat dagu. Kemudian Haki menarik kasar bahu Pierce. “Kau sengaja, ya?!”

Raut wajah Pierce yang tadi kebingungan berubah menjadi seringaian licik. “Kau pikir, hanya kalian yang punya tujuan?”

Hala mendengar itu merasa terkejut lalu ikut menghampiri Pierce. “Apa yang tengah kau rencanakan dengan membiarkan teman-temanku tertinggal? Bagaimana aku bisa ke sana jika tanpa teman-temanku?!”

“Tenang saja, rencanaku tidak merugikan kalian.” Pierce menyingkirkan Hala dengan ombaknya. Haki pun segera menarik Hala ke permukaan lagi agar tak tenggelam. Bangsawan itu sendiri pun heran, bukankah tujuan Pierce hanya mengambil kerang? Kalau kerang tersebut ada pada Arung dan sekarang ia menghilang, bukankah Pierce harusnya akan merasa rugi?

Suha hampir akan meninju wajah Pierce kalau saja Anggun tak melerainya. Melihat aksi tersebut, Pierce tertawa geli. “Kau ingin ke Telaga Api, 'kan? Ikuti aku, sebentar lagi kita akan sampai.” Bisa-bisanya bocah itu masih tertawa dalam situasi genting begini.

Livana sendiri menyiprati wajah Pierce menggunakan air. “Kami tidak bisa jika membiarkan mereka tertinggal!”

Manik biru laut itu bergerak, menoleh ke Livana dengan aura mengintimidasi. “Asal kau tahu ya, mereka itu sedang dibawa ke dasar Telaga Api, bodoh.”

Hala tepis rangkulan Haki. “Oleh siapa?”

“Para Siren.”

Ketegangan menghimpit perdebatan mereka. Sedang ekor mata Gauri melihat sebuah kapal bersembunyi di balik goa besar belakangnya mercusuar. Di mana sumur Telaga Api itu berada. “Teman-teman,” panggil Gauri tiba-tiba, membuat semuanya menoleh ke arah si gadis.

“Kurasa Anorah sudah sampai lebih dulu.”





BERSAMBUNG ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...