Kamis, 10 Agustus 2023

VOL—VII, {2}: PRASASTI KUNO DI GOA MATI.

SEBUAH GOA MENGALIHKAN perhatian Hala saat membuntuti Dhavi. Ia langsung teringat tentang perkataan Danar padanya. Goa terlihat sunyi, lembab, dan juga gelap. Hala tak bawa penerang apapun kala itu, berbekal cahaya panas matahari terang juga keberanian, Hala masuk. Terasa jika di sana suasana sangat dingin dan luas sekali tempat tersebut. Meski Hala leluasa dalam menggerakkan tubuh, ia perlukan berhati-hati supaya tiada terjadi masalah buruk.

Perut besar goa itu melahap Hala perlahan dengan sangat baik. Buktinya tak ada luka meskipun banyak serpihan batu tajam di sekitar yang tak sengaja Hala sentuh dalam kegelapan. Hala bergerak begitu kaku, ia sedikit mengkhawatirkan teman-temannya namun apabila Haki masih di sana mungkin tidak masalah apabila ditinggal sebentar.

“Halo?” Hala memastikan bahwa tidak ada penghuni lain di goa itu.

Tidak ada jawaban, lantas ia menyentuh kembali dinding goa itu menggunakan sedikit tekanan. Seketika dinding menjadi lebih cerah dan berwarna coklat. Pasti ada yang berbeda dengan goa ini, batin Hala. Sinar sekitar menjadi terang seolah berada di ruangan penuh lampu-lampu silau.

Hala mulai kembali bawa langkah agar menelusuri goa tersebut. Netra kelilingi goa, sayangnya ia hanya temukan dinding dengan garis-garis aneh. Tapi jika dilihat baik-baik, garis tersebut tidak biasa. Di sana terbentuk gambaran tipis. Punggung Hala pun ditegapkan. Ia merasa ada suatu hal yang hendak goa ini tunjukkan.

Dinding mulai dipenuhi pahatan bahasa-bahasa kuno tak biasa, semacam petunjuk. Tulisan manusia mungkin ditulis langsung dengan pahatan batu atau kayu, khas sekali buatan tangan. Secara mengejutkan, ia bisa membacanya. Entah darimana ia mengerti bahasa itu, belajar saja tidak pernah.

“Oh tidak ...” Hala tercengang. “Prasasti kuno?!” Ia menutup mulutnya saat tahu apa yang ada di hadapan. Kemudian Hala coba menoleh kanan-kiri memastikan apakah penglihatan tersebut benar atau tidak.

Prasasti kuno sendiri diartikan sebagai tempat pusaka. Biasanya orang-orang tertentu menulis ini di atas batu, dinding, atau tempat-tempat keras serta padat. Pusaka di sini dimaksudkan berisi tentang pengetahuan yang belum tentu ada di buku sejarah ataupun ilmu di mana dapat dibeli melalui seorang ahli atau peneliti pintar.

Prasasti kuno yang sejauh ini Hala ketahui terbagi menjadi dua jenis. Prasasti Hitam juga Prasasti Biru. Biasanya jarang atau hampir tidak pernah seseorang berhasil menemukan Yang Hitam. Kebenarannya diragykan dan jujur saja Hala tidak percaya hal-hal mistis seperti hal tersebut ada. Sedangkan Prasasti Biru lebih banyak untuk ditemukan meski keberadaan cukup langka. Karena itu barang siapa menemukan Yang Biru bisa menjualnya dengan harga tinggi.

Tapi tak sembarang orang bisa membuat beserta menemukan Prasasti. Karena tempat ajaib itu, tidak dicari. Melainkan datang sendiri. Intinya, bersifat rahasia.

Jantung Hala mencelos ke bawah, ia coba menelaah apa yang ia dapat. Semoga saja tidak Yang Hitam. Ia berangan-angan.

Marjinal tak dikutuk, kamilah yang terkutuk.

Kami?

Lalu pulau mana yang dimaksudkan hidup?

Lamat-lamat gadis berambut hitam panjang itu memerhatikan. Kutukan apa? Dan siapa kami? Lantas Hala menelusuri lebih jauh goa ini, mungkin saja ada petunjuk lebih jauh. Tidak ada rasa takut menghantuinya, karena ia sendiri yakin pada dirinya sendiri, ia masuk goa juga karena memiliki tekad.

Terdapat gambar mahkota, lalu gambar seperti kerumunan orang, gambar silangan padang, hingga gambar lingkaran yang di dalamnya bertuliskan ‘MARJINAL’. Adalagi gambar uap panas, kemudian ombak besar beserta dua lumba-lumba seolah berdiri di atasnya, satu kapal bajak laut terbelah dua, dan gambar dari segerombolan serigala menghadap satu orang tengah berdiri di puncak bukit. Paling menarik perhatian Hala adalah tulisan berartikan ‘bebaskan’, atau bisa juga diartikan sebagai ‘lepaskan’ karena tulisan tersebut terlihat lebih besar ukurannya dibandingkan kata-kata lain.

Hala berusaha menafsirkan Prasasti itu, sepertinya hitam. Ia sedikit lega. Mungkin.

“Raja? Pangeran? Bangsawan? Mahkota ini sudah pastilah berbau kerajaan.”

Namun, ia kembali membaca tulisan kuno tersebut, “Penyesalan, penuh amarah, jiwa kami tak memiliki arah. Yang tersisa hanya rasa penderitaan, beberapa dari kami tak pernah puas akan pelampiasan mereka.”

Seribu dari kami setara dengan tiga puluh monster laut di seluruh penjuru samudera.

Apa artinya?
Siapa yang harus dibebaskan?
Bagaimana maksud dari ‘mereka’ ini?

Atau mungkin ini hanya karangan belaka. Isinya memang terlalu rumit jika dicerna.

Tidak ada petunjuk lebih lanjut, hanya ada benda berkilauan yang pasti Arung sukai, berlian tetapi berwarna hitam. Tak pernah sebelumnya Hala lihat berlian hitam di tempat manapun, termasuk pasar gelap. Lalu tulisan kembali muncul tepat itu juga.

Siapapun jika melihat Yang Hitam maka hidupnya tidak akan pernah beruntung.

Seketika napas Hala tercekat, dirinya terperanjat akan tulisan itu. Yang Hala lihat kali ini adalah hitam, akankah hidupnya tak beruntung? Bagaimana dengan pelayaran nanti? Mengapa ada tulisan seperti ini?

Kemudian Hala bisa merasakan sesuatu bersinar dari gelang yang diberikan oleh Livana. Goa mulai bergetar. Hala mulai panik, takut langit-langit runtuh. Ia lalu melepaskan gelang dan menggenggam gelang tersebut erat. Saat cahaya di sekitar mulai redup perlahan, matanya terkesima melihat tulisan di goa melayang sampai berjejeran rapi. Menyusun kalimat berbeda dari sebelumnya, gambar pun ikut berkilau.

Kini Hala mengernyit, seolah semua terlihat jelas. Apa semua prasasti butuh sesuatu seperti benda untuk dijadikan sebagai kunci membuka yang aslinya?

“Hala.”

Semua pun menghilang dan Hala kembali ke suasana nyata. Ia sibuk dengan pikiran sampai tak sadar jika Dhavi mulai menepuk pundaknya. Seketika dinding goa yang tadi cerah kembali berubah gelap dan suram, sepertinya sesuatu serius telah terjadi.

“Se ... sejak kapan kau di sini?” Hala sedikit tergagu karena Dhavi memergokinya.

“Baru saja,” jawab Dhavi, “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dhavi datar.

“Aku hanya berkeliling,” ucap Hala dengan nada yang diusahakan terdengar santai.

“Kau tidak seharusnya di sini,” ucap Dhavi sedikit khawatir. “Memangnya kenapa? Ada apa dengan goa ini? Apakah ada makhluk menyeramkan lain? Apakah ada monster atau apa?” perkataan Hala segera dilanjut oleh Dhavi lantaran tidak berhenti bicara.

“Aku melarangnya karena pulau ini sangat berbahaya. Bisa jadi kau bertemu kawanan Veela lain 'kan? Aku memperingatkanmu, Hala, karena tak seharusnya kau pergi sendiri tanpa pengawasan siapapun.”

Hala menatap Dhavi tegas. Seolah merasa aneh atas sikapnya yang mulai terlihat jika sangatlah temperamental. “Setidaknya aku sudah cukup berhati-hati dan berani dalam menghadapi situasi apapun.” Hala ingin sekali menjelaskan bahwa dirinya mampu, tapi Dhavi tidak memerlukan penjelasan itu.

“Ini bukan soal berani atau tidaknya, tapi asal muasal pulau yang pasti tak kau tahu. Sebuah goa selalu menyimpan cerita di dalamnya, kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum itu. Bisa jadi ada kekuatan magis atau apapun hal berbahaya, bahkan bukan untukmu saja, seluruh penghuni pulau, atau seluruh dunia.” Dhavi memberi penjelasan pada Hala, berharap peri itu memahaminya. “Kau juga sendiri, jika tidak ada orang lain yang ikut, tidak akan ada jejak tertinggal, tidak ada yang bisa membantu. Pulau ini asing bagimu, bukan? Kau tidak tahu ada apa saja di sini.”

Hala terdiam. Ia terlarut oleh suara-suara dalam kepala, lemah, tidak bisa sendiri. Ia kapten bodoh, egois, termasuk tak punya pengetahuan apapun. Kenapa juga ia bisa menjadi kapten padahal dirinya tidak sekuat teman-temannya yang lain?

Dhavi yang mempunyai kemampuan untuk membaca pikiran orang tentu bisa dengar berisik di pikiran Hala. Dirinya berniat untuk membantu Hala dan komplotan bajak laut mereka dalam mengarungi lautan, berharap ia bisa menuntun jalan menuju tujuannya.

“Aku akan ikut denganmu,” ucap Dhavi.

“Apa maksudmu?” tanya Hala yang kini sudah kembali sadar.

“Aku ikut berlayar denganmu, mencari petinggi itu. Aku bisa menjadi pengendali kapal juga mengontrol kemampuanku nanti, pasti Suha sedikit kesulitan karena banyak keterbatasan.” Dhavi sedikit menggugah hati Hala, “Aku abadi, Hala, bukankah itu alasan yang sangat kuat bahwa aku tak akan membahayakan nyawaku sendiri?”

Hala menghela napas. “Baiklah, kau akan aku rekrut menjadi kru kapalku,” kata Hala yakin, di antara kawanannya yang bisa saja dibilang kolot, sangat perlu penghuni pintar lain. Maka Dhavi Dja, sebuah opsi brilian.






SETELAH KEMBALINYA HALA, semua kru menatap gadis itu dengan tatapan aneh. Hala yang merasa ditatap begitu pun mulai bingung kenapa teman-temannya menatap seakan dia telah berbuat hal buruk. “Hala, darimana saja kau? Kami tadi mencarimu karena kau tidak kembali, kami khawatir kau terkena masalah,” ucap Anggun sambil mendekat ke arah Hala dengan pandangan cemasnya. Dengar penuturan Anggun buat kedua alis Hala mengerut, dahi keluarkan guratan samar tanda ia berpikir keras. 

“Apa yang kau katakan, Anggun? Aku hanya pergi sebentar, mungkin hanya sekitar 20 menit.” Semua kru yang mendengar itu semakin menatap Hala dengan bingung. 

“20 menit?? Itu tidak mungkin, kami bahkan telah mencarimu selama satu jam lebih!” seru Araf buat Hala terpaku diam. Melihat suasana semakin tegang dan canggung hingga Arung dan kru lain tidak nyaman. 

Ia tertawa canggung. “Mungkin Nona Hala salah menghitung waktu, hal-hal seperti itu seringkali terjadi jika fokus melakukan sesuatu bukan?” ucap Arung, membuat suasana kembali mencair dan melupakan hal aneh yang baru saja terjadi.

Setelahnya, Hala dan para kru bersiap untuk kembali berlayar sebelum malam kembali menghampiri relung. Sebab dirasa cukup menurut Hala informasi yang ia dapat dari mencari petunjuk di sana. Dengan bantuan Gauri juga Suha, beberapa barang diperlukan pun dibawa naik ke kapal sekaligus mereka merapihkan peralatan di atas. Ketika selesai mereka mulai bentangi layar agar sukses berlayar pergi.

Sebelum mereka hendak mengangkat jangkar sebab Dhavi sudah siap di posisi menjadi pilot kapal mereka menggantikan Suha. Kapten perompak tersebut turun sebentar untuk mengungkapkan salam selamat tinggal kepada Anum. Tetapi di luar dugaan, justru ia memiliki niat yang sama macam Dhavi yaitu berpetualang ke laut.

“Hala, biarkan aku ikut dengan kalian. Aku rasa, aku dapat membantu kalian,” ucapnya dengan lugas juga senyuman tak pernah pudar, takut mengecewakan Anum juga menghancurkan harapan maka Hala pun sepakat agar Anum ikut bersama mereka.

“Selamat bergabung, Anum, semoga hal yang ingin kau tuju tercapai bersama kami.” Kemudian kapal meninggalkan pulau juga membawa kru baru di dalamnya. Perjalanan kembali ditempuh entah apa rintangan akan mereka hadapi, semoga saja Loka Dè Janitra selalu diberkahi keberuntungan.






PAYODA BIRU TETIBA berubah menjadi kelabu. Angin kencang datang dan ombak tidak tenang, dengan keras gelombang menghantam kapal milik Loka Dè Janitra. Semua orang panik, pergi mengamankan posisi agar kapal tidak tenggelam. Seolah kalah telak, Dhavi diam-diam mengumpat setelah tidak percaya bahwa tak ada badai laut sebelumnya. Ternyata mereka jujur.

Saat tengah sibuk dengan riuh gemuruh, putri musim dingin yaitu Anggun Keninggar menyadari bahwa ombak itu hanya terjadi di dekat area kapal mereka. Ia mencoba beritahu akan hal ini kepada salah satu kru kapal. “Gauri, aku rasa ombak ini hanya mengguncang di sekitaran kapal kita saja.” Anggun memberitahu Gauri yang sedang sibuk merapikan barang.

“Apa kau yakin?” tanya Gauri. 

“Aku sangat yakin, kau bisa pergi untuk memeriksanya.”

“Baiklah, kau bisa tunggu di sini dan jangan sampai terluka,” ucap Gauri.

Gauri menyusuri setiap sudut kapal, memeriksa semuanya tanpa tertinggal. Sampai ia menemukan seseorang berambut hitam legam baru saja loncat ke kabin kapal padahal datang dari laut. Jelas orang itu bukan salah satu kru dalam kapal ini. Ia pun mengejar kemudian diam-diam ia serang dari belakang untuk menarik telinga dan menggaetnya masuk ke aula utama kapal. Seketika, badai berhenti mengguncang. “Aduh, telingaku!!! Hei ini sakit! Lepaskan aku?!!!” keluhnya mengaduh kesakitan.

“Diam!” Gauri masih betah menarik telinga orang itu. “Jelaskan dulu kepada kami dan mengapa kau sembunyi di sana? Hah? Mau maling, ya?” tanyanya mulai mengintrogasi.

“Hei, gadis aneh, jaga bicaramu!” ucapnya tak terima, “Kau pikir aku tak punya harta sehingga merampok dengan cara seperti itu??” mendengarnya Gauri jelas sudah geram dengan orang yang ia temukan ini. “Itu jelas tidak mungkin! Aku ini seorang pangeran asal kau tau!” lanjutnya memberi pengakuan.

“Siapa yang aneh? Kau yang aneh!!” balas Gauri lempar protes. “Dan kau bilang tadi? Pangeran? Apa aku tak salah dengar?” Gauri membuat reaksi tak percaya.

“Jika telingamu masih berfungsi dengan baik, kau benar tak salah dengar.”

Tak lama kemudian para kru lain mulai berdatangan. Mereka pun terkejut dengan kehadiran seseorang yang mengaku pangeran ini. Lalu tanpa menunggu celah mereka pun ikut dalam introgasi.





BERSAMBUNG ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...