SEHABIS SUKSES KABUR dari Pasar Gelap, para awak kapal hendak pergi beristirahat sejenak setelah berlari kencang dalam waktu yang terbilang tidak singkat. Walau begitu, mereka berhasil mengapung di laut lepas. Tetapi badai lain datang mengacau.
Kapal bajak laut gadung berniat seberangi lautan untuk hampiri pulau depan mereka. Badai yang datang bak tamu tak diundang tersebut membuat para kru panik bukan kepalang. Sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan datang cuaca buruk, kemudian langit mendung disertai angin kencang tentu membuat seluruh penghuni kaget.
Sebisa mungkin mereka mempertahankan kapal agar tetap berdiri juga tak mudah bila tersapu ombak sekaligus ribut angin. Pada proses tersebut, kapal sukses berdiri tapi mereka kehilangan awak baru mereka yaitu Anorah yang menghilang. Semua dilanda kekhawatiran serta rasa bersalah tentang ke mana Anorah pergi saat mereka tengah tergesa-gesa mengatur kapal? Apa yang terjadi padanya? Apakah ia jatuh ke laut? Atau mungkin, berhasil pergi ditelan kabut?
Surya berpamitan, menarik gulungan awan untuk menyelimuti. Malam pun kembali tuk sapa dunia, menggantikan mentari yang tengah bersinar lama di langit. Suha tengah bersandar di punggung Gauri, begitu pun sebaliknya. Mereka saling membelakangi tapi fisik masih terkoneksi. “Apa lebih baik kita kembali ke Ragnarok saja? Aku merasa khawatir pada Anorah.” Suha menatap penyebaran koloni bintang-bintang di mana berserakan luas ke angkasa. Ia bergumam sembari membayangkan rupa lugu Anorah.
Elf tanpa sayap itu menekuk lututnya. Dia sembunyikan kepala dalam lipatan tangan. Nampak bermurung hati. Wajahnya sama sekali terlihat tidak senang ketika berhasil bebas dari pengeroyokan pengawal Silvrout karena tak ada guna bila tetap kehilangan kawan mereka. “Seharusnya tadi aku lebih mengawasi Anorah,” ujar Gauri penuh sesal sebab mengaku bekerja sama dengan gadis barista tersebut selama di kapal. Gauri pun mendongak setelah beberapa saat, netra lebih sembab dari sebelum. “Apa Anorah ... baik-baik saja? Ini semua salahku,” lirihnya entah kenapa mendadak hati perih terasa.
Kapal yang berhenti itu semakin terasa sepi sekaligus dingin. Suha berbalik, ia menarik bahu Gauri supaya keduanya berhadapan. “Hentikan pikiran jelekmu. Anorah tidak mungkin bodoh sampai dia ceroboh jatuh dari kapal begitu saja.” Benar. Meski baru mengenal Anorah sehari, Suha sudah bisa memahami sifat teman dan menganalisis cara berpikir orang dengan sangat baik.
“Siapa sangka, 'kan? Tidak ada yang tahu. Kau ingin melanjutkan perjalanan tanpa Anorah? Kapten pun pasti tak bisa tenang saja.” Gauri menunduk, tidak ingin air mata terlihat jatuh di depan kawan. Suha penuh perhatian mengusap punggungnya lembut.
Araf beserta Arung belum membuka suara sejak mereka keluar dari Ragnarok. Padahal keduanya yang seringkali bertengkar. Tapi kini diam mereka menandakan bahwa Loka Dè Janitra sudah terlalu lelah melanjutkan perjalanan. Semangat ikut padam diredupi oleh badai permasalahan terus-menerus. Sedang Jagau terlihat lemas walau perut sudah diisi asupan makan. Mungkin karena terlalu banyak menggunakan tenaga.
Lalu Livana bercerita ke Haki mengenai ruangan lama Nabeel dekat penjara bawah tanah di mana ia temukan setelah bebaskan kapten mereka. Terdapat ketidakwarasan rencana Nabeel yang ternyata memang sangat ingin membahagiakan sang adik. Hal terbodoh pernah dilakukan manusia, setelah Nabeel pergi pun, Haki sama sekali tak merasa bahagia. Kemungkinan ia lepas itu menangis diam-diam sehingga mata sembab tanpa dipinta untuk keluar sendiri.
Bangsawan lain, Anggun, walau sang putri mengaku tak ingin disebut bangsawan lagi. Ia hanya melirik-lirik canggung semua kru kapal. Diri tersebut tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya selain dengan sabar menunggu keputusan Hala hendak kemana. Terlihat Loka Dè Janitra dikerumuni pupus harapan. Bagian mereka sedikit tak lengkap lalu bagaimana agar tetap seimbang dalam melangkah ke atas perairan besar?
Di tengah-tengah itu, Hala akhirnya keluar dari dalam kabin dengan langkah berat. Ia menghela napas panjang sebelum bersiap mengeluarkan kata-kata. “Seperti rencana Danar, kita harus ke pulau seberang. Untuk mencari tempat yang bisa beri petunjuk.”
Dan mereka pun setuju berangkat pagi-pagi sekali setelah setidaknya istirahat cukup.
—
SEMENTARA DI PULAU GEOWYTH, salah seorang penghuni di sana yang sudah lama bertempat di sana mengernyit. Ada satu kapal tengah menuju ke pulaunya dengan kecepatan tinggi. Ia mulai memberikan tatap intimidasi. Pria ini pun mulai beranjak dari lantai dua istana besarnya untuk pergi menyambut atau bersiap mengusir mereka.
“Bajak laut,” gumam pria tersebut sambil menggertakkan gigi. Matanya nampak semakin menyeramkan dan ia hampir tertawa dalam hati karena mengetahui para perompak itu cukup berani datang kemari menggunakan kapal butut yang sangat lama sekali modelnya. Tetapi kelompok mereka terlihat kuat dan tak tergoyahkan.
“Aku belum melihat mereka sebelumnya di pulau ini.” Langkah kakinya yang lebar dan cepat diayunkan kala mengetahui sebuah gerombolan manusia tersebut hendak betul-betul menginjakkan kaki, ia berusaha mencari tahu siapa orang-orang asing itu.
Pria bernama Dhavi Dja, mengernyitkan kedua alis. Sedikit merasa janggal tatkala melihat para perompak itu terlihat seperti gembel dengan pakaian compang-camping. “Mengapa pakaian mereka buruk sekali? Tak seperti perompak pada umumnya, hanya seperti para pengungsi,” ucapnya sambil sedikit merasa lebih baik karena pakaian yang dipakai Dhavi lebih ke khas bangsawan kuno. Dalam hati mampir rasa was-was tapi keberanian tetap terpancar, guna mencari informasi valid di dalamnya.
Saat anggota perompak tersebut mulai turun satu-persatu, mereka pun terkejut saat Dhavi menghampiri dengan penuh terburu-buru. Atau mungkin bisa dibilang terlalu cekatan. “Mengapa kalian kemari, wahai orang asing?” Didekati gerombolan itu, ia menatap salah satu perompak yang paling tak berjarak dari jangkauannya.
“Aku Araf. Di laut ada badai yang besar, apakah kami boleh untuk menunggu badai reda di pulau ini?” jawabannya tenang hanya saja nada bicara Araf terdengar begitu angkuh dengan tatapan nyalangnya. Dhavi semakin dibuat bingung, tak sedikit senang jawaban ketus Araf. Jelas nampak dari pulau bahwa tak ada badai di laut.
“Darimana badai besarnya? Lihatlah itu, tak ada badai dan semuanya baik-baik saja,” kata Dhavi membuat Loka berpikir, namun sayang Dhavi dapat dengan mudah baca pikirannya. Sebelum para Loka menjawab, Dhavi melanjutkan kalimat setidaknya untuk membuktikan bahwa tak ada yang aneh dari pulau ini.
“Ikutlah denganku, aku akan membawa kalian beristirahat.” Dikesampingkannya rasa curiga, maka Dhavi membawa Araf beserta perompak lain untuk pergi ke rumah Anum. Alih-alih membawa mereka dalam istana yang hanya berisi darah dan daging mentah.
Ketika mereka telah sampai pada rumah Anum, dengan sang pemilik yang tengah menari lihai. Kebiasaan dan kemampuan menarinya memang patut diacungi jempol.
“Anum. Berhentilah menari sebentar,” interupsi tiba-tiba dari Dhavi membuat Anum terkejut dan marah. Lantas tubuhnya berubah menjadi Veela dalam bentuk asli, belum sempat Dhavi menghindar tapi nyatanya dia kalah gesit dengan Anum yang kini mencakar Dhavi menggunakan kuku tajam dan menusuk tepat di tangan kiri.
“ARGHHH, ANUM!” pekik Dhavi kala itu.
Hal tersebut tak luput dari pandangan para perompak itu, mereka kaget setengah mati kala melihat betapa bringasnya Anum. Memikirkan bahwa mereka telah salah untuk memercayai Dhavi mencari tempat berlindung. “Aku rasa kita harus kabur sekarang juga. Sebelum kita akan dicakar pula oleh makhluk itu.” Haki berkata penuh keseriusan pada raut wajah.
“Tapi jika kita lari, kemungkinan besar yang kita dapatkan adalah dikejar oleh makhluk itu tanpa ampun. Tidakkah kau lihat betapa kuatnya makhluk itu?” Suha bagi pikirannya demi memikirkan segala hal terburuk jika mereka lebih memilih untuk berlari.
Anum kini mulai mendekat dengan wujud manusianya. Ia seolah lupa akan apa yang dilakukan pada Dhavi. “Apa ada yang bisa aku bantu?” Anum berucap santai, tak ada rasa sungkan atau bersalah di kalimatnya.
“Ah, tak ada. Kami akan pulang, nikmatilah waktumu— ....”
“Benar, kami membutuhkan bantuan. Ada badai di laut, jadi kami perlu untuk sekedar menunggunya reda hingga kami bisa lanjut perjalanan.” Gauri secara terpaksa harus memotong perkataan Haki, menggelengkan kepala pada anggota lain.
“Apa kalian tidak merasa berhutang budi pada Dhavi yang telah berkorban untuk beri perlindungan pada kita? Setidaknya kita tahu cara berterimakasih,” bisik Gauri itu disampaikan pada anggota yang protes.
“Baiklah, ucapan Gauri ada benarnya. Jadi, mari istirahat sebentar.” Haki menyetujui diikuti dengan anggota lain yang perlahan menganggukkan kepala tanda kesepakatan.
Mereka pun akhirnya sudi untuk mampir, dengan baiknya Anum menyiapkan makan untuk mengisi perut-perut yang kosong. Ruangan itu terlihat ramai, para manusia mulai berbagi cerita sembari menikmati makanannya. Berbeda macam Dhavi, ia pilih diam dan tengah mengobati luka sendiri akibat dari Anum si makhluk cantik namun keji itu.
“Boleh aku tahu siapa namamu? Oh iya, aku Arung. Namaku Arung,” suara itu terdengar pada rungu Dhavi, mengalihkan perhatian sebentar pada seorang laki-laki yang duduk di sebelah kursi.
Dhavi mengangguki kepala singkat tanda mengerti, lantas menjawab, “Dhavi Dja.”
“Baiklah, Dhavi, aku sedikit penasaran dengan dirimu saat melihat pertama kali. Dan sepertinya kau bukan orang biasa.” Arung menunggu fakta yang akan keluar dari mulut Dhavi, lantas dibuat penasaran setengah mati.
“Kupikir kau sudah paham siapa aku karena menatap tepat di mata. Aku adalah seorang vampir. Aku pernah berjanji pada iblis bahwa aku ingin mendapat kekuatan. Tapi ternyata setelah kudapatkan kekuatannya membuatku abadi, dan aku menyesalinya. Berkali-kali aku kehilangan teman bahkan keluarga, sedangkan diriku tetap diselimuti oleh keabadian dan itu sangat menyiksa, kau tau? Seperti hanya aku yang tersisa di muka bumi ini.” Arung terdiam, ikut sedih merasakan betapa sulitnya keadaan Dhavi.
Jagau yang duduk tak jauh berada pada keduanya mendengar semua, turut prihatin kala cerita itu terlontar dari bibir Dhavi. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa dia mengetahui Dhavi adalah seorang vampir membuat dirinya ketakutan. “Maafkan aku, Dhavi.” Permintaan maaf Jagau membuat Dhavi bertambah heran, Ia rasa Dhavi baru bertemu dengan Jagau. Lantas, untuk apa permintaan maafnya?
“Untuk apa?” pertanyaan itu terlontar dari bibir Dhavi, menelan kenyataan pahit yang siap didengar.
“Kaumku sebagian mungkin membunuh keluarga beserta kawanmu, Dhavi. Pack Wolf, meski bukan aku yang membunuhnya tetapi aku tetap merasa bersalah karena mereka adalah salah satu bagianku pula. Mohon maafkan aku dan kaumku,” ucap Jagau dengan murung tetapi berhasil menyulut emosi Dhavi.
Sumbunya yang pendek cepat tersulut, menggunakan satu tangan yang tak luka dengan kekuatan melesatnya, Dhavi pun menghempaskan tubuh Jagau pada dinding rumah Anum membuat kericuhan baru tak terduga. Mereka mulai saling beradu seolah pertarungan siapa terkuat di muka bumi ini. Bahkan suara Hala berniat menghentikan saja tak ingin mereka dengar. “HEI! DHAVI, JAGAU! HENTIKAN.” Rungu keduanya bagai tuli, tak memperdulikan sekeliling sehingga mulai berantakan peletakan benda-benda di rumah Anum akibat ulah keduanya.
Sebuah pot melayang begitu saja pada udara dan tepat mengenai kepala Dhavi, sang pelaku utama nampaknya terlihat geram. “Aku akan membantumu Jagau. Dasar vampir tak punya sopan santun.” Emosi Araf rupanya ikut tersulut melihat Jagau yang diserang tiba-tiba oleh Dhavi. Lantas menggunakan kemampuan telekinesis Araf mencoba agar memberi pembelaan pada Jagau demi menemukan jika atmosfer sekitar kian memanas.
Pertarungan ketiganya itu seolah tak ada habisnya, entah sudah berapa cara mereka gunakan untuk melerai. Livana yang terlampau muak, memilih menggunakan sihirnya agar berhasil melerai mereka. “Berhenti kalian para pengacau. Kita adalah tamu di sini, hargailah Anum yang bersusah payah memberikan rumah sebagai tempat berlindung. Jika kalian masih egois dengan mengikuti emosi, baik kalian bertarung di luar saja. Jangan mempersulit keadaan.” Ketiganya berhenti tatkala sihir Livana bekerja beserta peringatan pertama dikeluarkan dari si pemilik sihir.
Dirasa sudah mulai tenang, Jagau dan Araf kembali ke meja makan diikuti dengan Dhavi yang mendudukkan dirinya untuk mengobati luka pada tangan, atau mungkin luka baru tercipta setelah pertempuran mendadak tadi. “Kau tak perlu merasa sendiri Dhavi. Aku jadi teringat dengan kakakku yang memiliki kisah sepertimu.” Arung menerawang ke depan mencoba mengingat pada masa-masa itu.
Sedikit kiranya membuat Dhavi penasaran, kisah seperti apa yang kakak Arung lalui. “Iyakah? Kisah apa?”
Arung mencebikkan bibir. “Kakakku hilang dalam pelayarannya menyusuri samudera. Dia sosok yang begitu gigih dan suka hidup dalam kesendirian. Hilang pun tanpa ada yang mengetahui jejak terakhir, karena dia benar-benar berjuang sendiri. Namun naas, kesendirian itu membawa kakakku pada lubang yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku harap kau tak akan seperti kakakku, oleh karena itu jangan pernah merasa sendiri Dhavi.” Arung menepuk pundak Dhavi pelan, memberi semangat.
—
MASIH BERTEMPAT PADA kediaman yang tak begitu besar milik Anum Maina para kru Loka Dè Janitra berkumpul di antara meja makan. Sebagai niat ambil masa untuk rehat, mereka sibuk menyantap makanan yang sudah Anum sajikan. Ruangan meja makan penuh oleh suara mereka.
Dhavi masih nampak murung, tepat salah seorang di belakangnya yaitu Anum berdiri, “Kau tak sendirian Dhavi, meskipun para kaummu t'lah pergi kau masih ada aku,” sangkalnya.
Si putri musim dingin pun jadi penasaran. “Memang kenapa mereka semua pindah? Apa rumahnya hancur?” tanyanya dengan mulut penuh makanan. Anum pun balas tatapan Anggun teduh. “Tempat tinggal kami yang dulu telah dirusak oleh para iblis tak punya hati, sebagai bayaran atas dosa leluhur Veela lain. Dan kini para Veela mulai belajar sihir agar dapat membalas dendam suatu saat nanti. Begitu juga berpengaruh oleh kaumnya Dhavi karena kami berasal dari daerah yang sama dan juga ... itu sebabnya aku dan Dhavi dekat bahkan saat ia sedih aku pun ikut merasakannya. Ingat semasa kita kecil Dhavilah yang menjadi temanku walaupun kami punya perbedaan,” ucap Anum bercerita penuh.
Anggun mengangguk, ia jadi ikut sedih setelah mengetahui cerita sesungguhnya. Begitupun para kru loka lain yang ikut mendengarkan, mereka semua merasa prihatin. Hala duduk di ujung meja mulai bersuara, “Tak apa, Dhavi dan Anum, ya setidaknya kalian masih bersama satu sama lain dalam kelompok.” Di tempatnya Dhavi mengangguk. “Kau benar kapten, dan juga Anum, terima kasih,” katanya tulus.
Anum tersenyum. “Aku setuju dengan Hala,” ujar Anum, “Aku mungkin bisa mati sendirian jika tak bertemu Dhavi.”
Jika dongeng menceritakan kaum Dhavi dan Anum, akan selalu terlihat seperti antagonis, namun kini yang ada di depan mata adalah sungguh di luar perkiraan. Dua makhluk inu konon katanya dikutuk justru terlihat menyedihkan. Sendirian di pulau antah berantah dengan diburu rasa balas dendam sangat menyulitkan, Anum ingin hidup lebih baik dan layak.
“Kau tinggal dengan siapa?” Gauri bertanya, pertanyaan yang polos karena Anum membalas dengan tawa.
“Aku tinggal sendiri,” jawabnya, walaupun ia datang bersama Veela yang lain, Anum tidak memiliki keluarga atau kerabat. Dia hidup mandiri.
“Kau ini bagaimana, Gauri? Anum bilang sedari tadi kalau ia memang tinggal sendiri,” ucap Araf, Gauri hanya menatap sinis Araf, tidak mau disalahkan.
“Nona, kau tau? Walaupun kami telah berlayar cukup jauh, selalu terselip hal hal memalukan.” Arung membuka suara, suasana berganti menjadi lebih santai.
“Dan kau peran utamanya,” sahut Hala.
“Kapten?!” ucap Arung tidak terima. Walaupun seperti itu, Arung tetap yang paling semangat menceritakan hal bodoh sekaligus memalukan pernah terjadi selama perjalanan. Tidak pernah sebelumnya suhu rumah Dhavi sehangat itu, penuh gelak tawa dan kebahagiaan.
—
ACARA MAKAN ITU telah selesai dengan perut penuh kebahagiaan karena tak ada lagi rasa lapar yang menyerang setelah pengembaraan jauh. “Berkelilinglah sejenak sembari mengenal tempat ini. Mungkin Dhavi bisa menjadi pemandu wisatanya.” Seperti yang diharapkan dari Anum, dirinya akan melimpahkan semua tugas pada Dhavi sedari tadi hanya menyimak.
“Haruskah aku?” Anum memberi anggukan dengan senyum manis namun terlihat sangat menyebalkan di mata Dhavi.
“Kudengar di sini terdapat sebuah istana yang megah. Bisa kita mampir sebentar?” tanya Anggun secara antusias. Lalu Dhavi terdiam, tujuannya mengajak mereka ke rumah Anum adalah untuk menghindari kawasan istana. Justru ingin pergi ke sana.
Maka dengan tegas Dhavi jawabi, “Istana itu sangat privasi, tak sembarang orang bisa berkunjung. Apalagi kalian hanya orang asing yang hanya mampir untuk menghindari badai.” Cukup masuk di akal jawaban Dhavi membuat para anggota mencoba mengerti dan memahami.
Keadaan semakin ramai dengan kesibukan masing-masing yang berusaha mengetahui lebih banyak tentang rumah Anum atau bahkan pulau ini. Karena merasa sudah tak cukup ada urusan, maka Dhavi beranjak dari tempat berdiri supaya bisa pulang ganti pakaian.
Setelah beberapa langkah berjalan keluar dari rumah Anum, Dhavi dapat merasakan seseorang mengikutinya. Hala, orang yang diyakini sebagai kapten para perompak itu tengah membuntuti. “Bagaimana jika aku menyesatkannya?” gumam Dhavi membuat rencana baru agar Hala tak menemukan istana miliknya. Dia mulai berniat memilih jalan berlawanan arah menuju rumah, namun tak sesuai diharapkan justru Dhavi dapat melihat Hala masuki goa sebelum ia berbelok ke arah yang salah.
“Apa yang akan dia lakukan di dalam goa itu?” Ada setitik rasa penasaran sekaligus kasihan apabila terjadi sesuatu pada Hala ketika berada di dalam goa. Langkahnya kembali ingin menghentikan niat Hala, namun urung ketika kepala menyuruhnya untuk bergegas pulang. Maka yang dapat dilakukan Dhavi adalah berdecak, lalu kembali memutar tubuh, pergi secepatnya dari tempat itu. Bergegas pulang ke istana.
BERSAMBUNG ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar