Senin, 14 Agustus 2023

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka dan pandangi wujud keindahan itu, dirinya menyadari bahwa sedang berada di tempat lain. Asing.

Arung terkejut tubuhnya diikat dengan tanaman laut berduri kecil secara kencang, gelembung dari Pierce juga semakin kecil ukurannya. Ia melihat ke samping kanan, Dhavi tak sadarkan diri bersama kondisi mengenaskan. Kulit semakin pucat. Serta Araf nampak energi lemas mungkin karena dia kekurangan asupan makan. Sedangkan ke sisi kiri ada Anum sekaligus Jagau. Miliki kondisi yang sama.

Hal lain berhasil membuat napasnya Arung semalin sesak adalah, mereka diawasi oleh makhluk bersirip tajam pada ekor tersebut. Rupa menakutkan beserta tatapan dingin. Duri pada punggung, telinga runcing. Dan jangan lupakan jari berselaput tapi miliki kuku tajam di sana. Sial, kalau terus-terusan diam seperti ini maka Arung bisa mati dengan kejam. Lalu dilupakan oleh semua orang ke dasar laut terdalam.

Ia pun inisiatif untuk membangunkan teman-temannya lebih dulu. “Psst, Jagau, bangun!” Arung khawatir apakah mereka ini pingsan atau justru tertidur dalam keadaan berbahaya seperti ini? Macam tak mungkin.

“Manusia ... kenapa bisa sampai kemari? Kalian menginginkan keabadian?”

Siren laki-laki itu berbicara pada mereka. Bahkan berenang menuju ke arah tempat penyekapan manusia. Keberanian Arung sontak luntur tiba-tiba, mulut mendadak kaku untuk sekadar berbicara. Makhluk tersebut sungguh mengerikan dipandang. Taring yang terlihat di giginya tadi sangat tak bersahabat. Ekor bak tombak tajam di mana siap mengoyak apapun sekitarannya, sisik licin namun pinggiran kasar pun tetap bisa melukai. Lebih baik Arung bertemu ikan berlampu daripada makhluk di depan.

Dalam keheningan lama, Araf menyahuti dengan nada mengesalkan. “Jangan sok tahu deh!” Arung mendengar itu semakin panik, lantas Jagau ikut-ikutan dalam membocorkan rencana mereka. “Kami ke sini ingin menjemput Anorah,” katanya.

“Bedebah, darimana kau mengenal nama itu?! Apa kau bajak laut Baldomar?!” tanya Bada Ameru kasar, pemimpin klan siren.

“Dia teman kami!” Anum menjawab lantang.

Para siren di belakang pria itu terkejut, mereka kembali mengacungkan tombak dan mengencangkan taring-taring mereka. Seolah tengah berkomunikasi bersama kepala kru-kru tersebut, Dhavi bersumpah bahwa kepalanya dipenuhi serapah berisik.

“Teman? Apa yang kalian inginkan setelah merebut dia dari kami, hah?! Bunuh saja!”

“Tunggu, aku tidak mengerti! Apa maksud mereka?” Dhavi mengerutkan dahi. Dia benar-benar bingung sekarang. Makhluk tanpa ampun itu masih berusaha menuju ke arah mereka. Jantung kembali berpacu.

Meski berada di ujung maut, Araf jadi ingin memanfaatkan kesempatan ini. Anggap saja peralihan waktu sekaligus menggali informasi baru. “Kami bukan bagian dari Baldomar! Me ... memangnya, apa yang sudah dilakukan oleh bajak laut itu?” Araf tetap mencoba tersenyum walau bibir tidak berhenti gemetar akibat takut salah bicara.

Bada kembali menatap sinis. “Sepuluh tahun yang lalu, Telaga Api dihancurkan oleh manusia. Pasti kalian akan melakukan hal sama jika kami tidak mencegahnya!”

“Maksudmu, aku telah membantu mereka yang telah menghancurkan rumahku?”

Tiba-tiba orang yang para perompak itu cari muncul dari belakang kerumunan siren di bawah kuasa Bada. Suara itu, Jagau sangat mengenalnya. Namun, tatapan kini jauh terlihat lebih berbeda. Ia seperti bertemu dengan orang lain. Bukan teman yang mencari celah agar dapat saling beri bantuan. Seolah, Anorah baru saja pulang.

Tatapan gadis itu menyimpan kebencian penuh. Hati Jagau terasa perih. Mungkin Anorah sudah terhasut oleh kaum mereka. “Wah. Kenapa kalian bisa datang kemari? Aku muak melihat wajah kalian. Duh. Pasti Anak Poseidon itu membocorkannya.”

Tinggal menunggu waktu agar gelembung tersebut segera pecah jika digunakan bagi anggota kru kapal untuk bernapas selagi berbicara. Tapi mereka seolah tak peduli, nyawa kini bergantung akan bagaimana Anorah harus berpihak pada komplotan perompak. Apakah kru Loka Dè Janitra sanggup dalam melawan kawan sendiri?

Ngomong-ngomong tentang kerusakan Telaga Api, sebetulnya apa saja yang telah dilalui Anorah Masaid hingga ia sebenci ini?






WILAYAH INI TIDAK TERSISIR dengan mudah. Banyak hambatan berisiko yang menghalangi manusia-manusia untuk menjadikan tempatnya sebagai tujuan. Telaga Api, terbentuk dari air mata seorang siren yang tak pernah menangis. Telaga dengan pasir-pasir di sekelilingnya terasa panas macam tanah neraka bila kau pijak. Telaga miliki nama asli, Riuh Suar Ameru.

Telaga mempunyai air berkilau meski sinar mentari ditutupi oleh pepohonan. Sumur menjadikan telaga begitu apik menghiasi pertengahan laut. Legenda mengatakan air dari Telaga Api dapat mendatangkan keabadian, itulah kenapa banyak sekali orang mengincar. Apalagi bajak laut hingga manusia tamak, demi kepentingan serta nafsu berupa hal buruk. Tapi, kenapa bisa telaga itu tetap mengalir lagipun berseri padahal sang pencipta tidak lagi menangisi hidup sendiri yang selalu sepi? Tentu saja, mereka selalu menjaganya dari bahaya.

Telaga itu adalah pusaka milik para kaum siren dan duyung. Yang menjaga adalah mereka, termasuk Sang Penjaga. Suatu hari, sang Dewa Laut penguasa seluruh samudera datang berkunjung. Ia berikan berkat pada salah satu anak emasnya, Anorah Masaid. Pencapaian bagus paling membanggakan bagi Anorah selama hidup.

“Aku melihat sesuatu dalam dirimu, Anorah. Gunakanlah berkah dariku untuk kebaikan bangsa kalian. Juga kebaikan Telaga Api nantinya.” Orang itu adalah Dewa Poseidon. Dewa Laut yang sangat diagung-agungkan oleh kehidupan masyarakat di bawah laut.

Anorah meragu. “Tapi, bukankah Bada lebih berhak atas berkah ini? Aku hanyalah orang biasa,” jawabnya dengan sangat sopan.

“Tolong jangan merendah diri begitu. Kau sungguh pantas mendapatkannya, Anorah. Bada sudah memiliki berkah sesuai dengan porsi dia sendiri. Jadi tidak masalah untuk dirimu terima anugerah dariku.”

Poseidon menatap Anorah serta para siren dengan aura bijaksananya, mereka hanya bisa terpukau oleh cahaya yang dimiliki oleh Poseidon. Berbeda dengan Anorah dan Raina di mana bangsa duyung, penampilan warga siren lain seperti Bada lebih terkesan bak binatang buas sebab menyeramkan sekaligus mengintimidasi. Namun, pada dasarnya mereka cuma makhluk hidup kesepian serta penuh kesedihan. Jelas mereka masih mempunyai hati nurani.

“Apa kau menerima berkahku, Anorah?”

“Te ... tentu! Aku dengan bangga akan menerimanya, Yang Mulia Poseidon!”

Setiap nama mempunyai arti sendiri. Sama halnya dengan Anorah Masaid di sana.

Anorah, diartikan sebagai ruh dari segala jiwa-jiwa penjaga yang hidup untuk melindungi telaga api. Ia dibanggakan sebagai kesayangan Poseidon karena Masaid sangatlah istimewa. Itulah mengapa ia betah tinggal di rumahnya ini. Ia menjaga Telaga Api sepenuh hati, menyerahkan seluruh jiwa kepada pengendali ombak. 

Dengan hati gembira menjaga Telaga. Senyum terus merekah. Ia juga banyak bercanda, ia menikmati semuanya. Ia merasa bangga dengan dirinya atas pencapaian yang Ia dapat.

Setelah persembahan itu, beberapa hari kemudian datanglah sesosok anak yang lebih muda dari dirinya. Anak itu mengaku sebagai putra Sang Dewa Poseidon di mana sudah menganugerahkan kelebihan pada Anorah. Tentu ia bisa masuk ke sumur karena statusnya sebagai pangeran laut.

Anorah terkejut kala ada seseorang yang terlihat menghampirinya. “Siapa kau?” tanya Anorah waspada. Dia terlihat kesal.

“Di mana ayahku?! Siapa di sini yang berani menemuinya? Jawab aku!” Bocah itu secara kasar bertanya lantang sekaligus meremat jari sendiri saat menatapi penghuni telaga.

Anorah menggeleng pelan. Kemudian ia menjawab penuh ketegasan. “Dia tidak ada di sini, Dia sudah lama pergi.”

“Memangnya kau ini siapa sampai ayahku repot-repot menemuimu daripada datang padaku!” Nampaknya emosi yang ia tahan dalam perjalanan hendak meledak juga.

“Apakah itu salahku jikalau ayahmu lebih memilih bertemu denganku, hah?” Anorah mengernyit. Tidak habis pikir oleh orang yang baru pertama kali bertemu ini. “Aku hanya seorang penjaga telaga.”

Pierce mendecih. “Kau, penjaga? Sudah merasa dirimu hebat, huh?” sudut bibir kanannya sedikit terangkat. “Pasti ayahku sangat menyayangimu, bukan? Tidak adil sekali, kalau ketemu awas saja.” Namun, sebelum anak itu benar-benar pergi ia sempatkan waktu menanyakan nama pada Anorah yang menundukkan wajah karena merasa tak enak. “Namamu siapa?”

“Aku Anorah.” Tanpa malu-malu, ia pun memberikan senyum hangat. “Jangan marah-marah lagi, ya. Nanti kau sendiri yang kesusahan. Semangat mencari ayahmu kalau begitu!” Ia pun melambaikan tangan kanannya. “Kalau namamu, siapa?”

Mungkin karena baru pertama kali merasa diperlakukan seperti ini, anak Poseidon itu tanpa sadar membiarkan semu merah menghiasi wajahnya. “Pierce!”

Anorah mengangguk. “Baiklah, Pierce. Aku senang bertemu dirimu. Hati-hati di jalan!”

Saat itu Pierce menyadari, seharusnya ia tidak langsung pergi. Kemudian habiskan waktu untuk mengobrol dengan Anorah lebih lama, sebagai teman pertamanya. Pierce berpikir demikian karena beberapa minggu setelahnya, Telaga Api sudah habis diporak-porandakan oleh para perompak haus harta. Sebenarnya apa yang terjadi?






TIGA TAHUN SETELAH persembahan dari Poseidon dilakukan. Datang desas-desus di pembicaraan para siren bahwa Bada miliki mantra misterius yang dapat mengubah mereka bisa menjadi manusia. Anorah, datang dari manusia asli dahulu kala kemudian lupa tentang kehidupannya sendiri setelah berubah siren. Ia tentu penasaran akan rasa rindu yang belum dirasa selepas kian lama tak bertemu kaki.

Sampai keinginan untuk menjadi manusia, terwujud. Anorah begitu senang saat tahu bisa mencuri mantra tersebut setelah Bada diculik oleh bajak laut jahat kemudian tak kembali lepas Telaga Api dihancurkan. Ia bahagia, tetapi sebelum pergi ke daratan. Anorah memantapkan hati bahwa tugas ke daratan juga, adalah mencari jejak terakhir Bada yang hilang agar dapat ditemukan.

Perlahan, Anorah naik ke daratan, dengan sekejap ekornya berubah menjadi sepasang kaki manusia. Anorah tak kuasa atas kebahagiaannya, sampai Ia lupa bahwa dirinya terekspos tanpa busana. Tak jauh dari tempat Anorah berada, Anorah melihat ada begitu banyak pakaian tergantung, ia menengok ke kiri dan kanan untuk melihat apakah ada yang melihatnya. Begitu dirasa aman, Anorah segera mencuri pakaian yang manusia butuhkan. Anorah juga masuk ke dalam gua demi memakai pakaian itu. Lalu dirinya belajar berjalan sampai berhasil pergi ke tempat-tempat asing baginya.

Anorah kemudian merasa bosan, ia terus berjalan tanpa tahu arah tujuan. Anorah tak tahu harus kemana mencari Bada. Ia tidak mengerti sedang di mana dan apa yang harus dilakukannya sekarang. Bertahun-tahun ia berkelana mengelilingi seluruh tempat, tanpa kunjung pulang. Anorah akhirnya tersesat sendirian. Sampai lupa bahwa ia harusnya mencari jejak Bada.

Suatu hari pada tengah malam, Anorah menyelami lautan yang tak ia kenali titik kawasannya. Ia bertemu seekor paus 52, jelas Anorah sangat mengenal dia. Nampak nyanyian itu terdengar sendu, reflek ia sadar bahwa luka Anorah tidak sedalam dengan paus 52 tersebut. “Rasanya pasti menyakitkan, ya? Sendirian sepanjang sisa hidupmu. Aku baru merasakan itu, dan aku sangat ingin pulang sekarang. Tapi aku tak tahu jalan.” Anorah berbicara dengan paus paling kesepian di dunia, hidup serta terus berenang tanpa arah tujuan, tanpa koloni bahkan pasangan. Walaupun ia tahu paus itu tak akan mengerti bahasanya, Anorah tetap mengajak ngobrol sepanjang jalan. Mengisi hati sunyi di tengah lautan dingin.

Sadar bahwa itu tak akan membawa hasil apapun, Anorah berpamitan. Membiarkan suara dengan 52 Hertz menjauh dari rungu. Dan di tengah keputusasaannya, Anorah bertemu manusia. Ketika ia sampai di satu dermaga sebuah pulau yang memiliki nama papan tempat ‘Pasar Gelap Ragnarok’. Cukup terdengar berisiko jika dihampiri tapi Anorah harus mencari cara bertahan hidup.

Maka Anorah didekati oleh seorang pria tak dikenalnya itu. “Halo nona, aku tak pernah melihatmu di sini sebelumnya. Apa kau baru datang ke pulau ini?” Pertanyaan tersebut buat Anorah takut tanpa sadar. Tapi sang pembicara langsung keluarkan kata-kata agar perempuan di hadapan mau berbicara. “Apa kau tersesat? Dari mana asalmu? Biar aku antarkan ke tujuan!”

Kalau Anorah memberitahukan asalnya, pasti pemuda yang ingin menolong ini bisa mengincar air mata duyung dan para siren juga jadi lebih baik Anorah menutup diri. “Aku ingin pulang sendiri saja, tidak ingin diantar. Tapi aku tak tahu jalan ke rumah.”

Pria itu tersenyum sambil menjentikkan jari, “Kalau begitu, kau cari pekerjaan sajalah dulu. Jika kau sudah mendapatkan uang cukup, itu berguna untuk bayar sewa.” Mata Anorah sontak berbinar. “Namamu siapa? Aku Lesmana Danar, panggil Danar.”

“Anorah,” bisiknya kecil. Malu karena baru pertama kali melihat manusia baik.

Akhirnya Anorah belajar banyak. Danar pun sangat membantu Anorah agar mendapat pekerjaan dengan mudah. Sekaligus sudi mencarikan penginapan baginya. Walau Anorah sempat putus asa, pada akhirnya Ia memilih agar terus berjuang. Anorah begitu senang saat pekerjaannya menjadi seorang bartender. Lagi-lagi Anorah jadi melupakan semua hal di telaga, ia terlalu asik bermain di dunia yang sama sekali bukan milik dia. Bahkan pergi ke acara pesta dansa karena ajakan Danar. Jadi ia harus bertemu Pierce.

Sampai pada akhirnya Anorah bertemu dengan anggota Loka Dè Janitra. Satu ide terlintas pada pikiran Anorah. Daripada menyusup ke kapal lain atau membayar uang sewa agar mendapat tumpangan. Kenapa Anorah tak langsung menumpang di kapal? Dari situlah ia mulai membantu perompak itu agar mendapat balasan juga.






HANCUR DAN BERANTAKAN. Kondisi yang menggambarkan kerajaan Aestemore saat ini adalah kacau-balau. Mayat berserakan serta dermaga sudah tidak utuh lagi sebab kerusakan di banyak tempat. Setelah memporak-porandakan Aestemore, Pierce duduk di atas puing-puing reruntuhan sebagai tumpuan, wajahnya setengah memerah, alis menukik tajam serta netra menatap nyalang pada sebuah kapal yang kian menjauh dari dermaga.

Tangannya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menandakan ketidakstabilan emosi yang dialami. Sekali lagi, dia pejamkan mata dan hembuskan napas perlahan, merilekskan tubuh dan pikirannya. Dia tidak boleh menyerah, semua akan berjalan sesuai rencana meski harus menghancurkan Aestemore untuk mendapatkan harta karun itu sia-sia. 

“Sedikit lagi ... sedikit lagi aku berhasil mengambil harta karun itu. Tapi sial, aku justru kalah oleh sekelompok bajak laut gadungan itu.” Pierce menggeram marah lalu menendang apa saja yang ada disampingnya. Kembali ia mengatur napas guna menenangkan diri. “Tenang, Pierce. Tidak masalah jika aku gagal hari ini, setidaknya berkat bantuan Kraken, aku bisa menghancurkan separuh kerajaan ini.”

Setelah cukup tenang dan merasa puas memandangi hasil karyanya, Pierce Carter yang kini tengah duduk di atas puing-puing reruntuhan pun beranjak berdiri kemudian pergi meninggalkan dermaga sebab tak ada lagi yang harus ia lakukan. 

Kakinya membawa tubuh itu lurus kearah barat menuju lautan, sepertinya Pierce harus lebih banyak bersabar hari ini. Langkahnya terhenti kala ia melihat sosok gadis yang dikenalinya tengah berjalan seorang diri. gadis itu berbelok ke arah Utara, sepertinya dia akan pergi menuju pasar gelap. 

“Anorah!”

Tanpa pikir panjang, Pierce memanggil gadis itu dan sontak membuat si pemilik nama berbalik. Sedikit terkejut melihat gadis didepannya ini, sebab seharusnya gadis ini sudah pulang dari beberapa waktu lalu.

“Pierce?” Anorah mengernyitkan dahinya bingung, “Kau masih di sini?” kembali gadis itu lontarkan sebuah pertanyaan. 

“Kau sendiri? Kenapa kau masih di sini? Dan kenapa kau belum pulang juga?” seperti biasa, bukannya menjawab, Pierce justru membalikkan pertanyaan yang buat Anorah jengah. Pierce tetaplah Pierce, dia tidak akan menjawab jika pertanyaannya belum mendapatkan jawaban. 

Mendengar rentetan pertanyaan itu, Anorah pun menarik napas lalu menghembuskan perlahan. Dengan sangat terpaksa gadis itu tersenyum lalu menjawab pertanyaan Pierce. “Pierce, bagaimana aku bisa pulang jika tak ada tumpangan? Lagipula, mereka juga tidak akan membiarkanku pergi dengan mudah.” Mereka yang dimaksud sudah pasti Danar beserta Inir.

Dengan santai, Pierce bersandar pada dinding yang berada di sana. Menatap Anorah dengan alis sedikit terangkat kemudian kembali lontarkan pertanyaan. “Kenapa tidak kau coba untuk mengambil kapal milik orang lain saat aku sibuk mengacaukan kota? Lagipula, bukannya kau bisa berenang? Mengapa harus repot mencari kapal jika kau bisa saja pulang dengan cara berenang.”

Anorah mendecak sebal. Dengan sabar, gadis itu kembali menjelaskan. “Aku sudah mengikuti saranmu untuk mencari kapal, hanya saja aku menunggu waktu yang pas untuk pergi. Dan untuk pertanyaanmu yang itu, aku tidak bisa menjawabnya! Sudahlah, lupakan. Sekarang jawab pertanyaanku!”

Pierce tertawa kala melihat lawan bicaranya terlihat kesal, terlihat jelas dari raut wajahnya yang kian memerah menahan kesal. Ia pun mengangguk, mempersilahkan gadis itu untuk bertanya. “Bagaimana dengan harta karun itu?" kembali diingatkan tentang peristiwa tadi, membuat Pierce kembali merasa jengkel. 

Ia memalingkan wajah sambil menggerutu. “Mereka berhasil membawanya pergi, aku gagal.” Anorah terkekeh, mulutnya kembali melontarkan pertanyaan. “Dan kau pasti akan merebutnya kembali, benar?” kata gadis itu.

Pierce mengangguk mantap. Ia merasa tertantang, sudah pasti Pierce tak akan membiarkan siapapun memiliki apa yang seharusnya menjadi miliknya. “Tentu saja, itu milikku. Mereka tak berhak.” Terlalu percaya diri, tapi Pierce memang selalu seperti itu. Anorah mengangguk tanda mengerti, gadis itu menepuk pundak Pierce memberinya sedikit semangat. “Kau tak gampang menyerah, berusahalah.”

Kini keduanya tampak berjalan beriringan, membicarakan banyak hal dan juga tentu saja Pierce menanyakan perihal kemana gadis itu akan pergi setelah ini. Akankah ia langsung pulang kembali ke Telaga Api atau justru dia menetap di pasar gelap. Pierce tidak perduli. Sore itu ditutup oleh dua orang dengan perbedaan tujuan. Pierce yang hendak berenang ke lautan, dan Anorah yang hendak pulang entah kemana.

Tapi mungkin kalian sudah tahu bagaimana jalan pilihan Anorah Masaid. Ia tetap ikuti saran Danar, barulah menumpang di kapal suatu komplotan perompak. Begitu cerdik.






JAGAU PUN MEMBALAS makian Anorah ke kru kapal. Ia sedari tadi hanya diam sambil meneruskan pandangan kekecewaan. “Jadi selama ini ... kau adalah siren, Anorah?”

“Bukan, dasar bodoh. Kau lihat 'kan aku ini berbeda dengan yang lainnya. Kenapa? Kau akan menertawakanku karena itu?” tutur kata Anorah penuh tekanan hingga buat nyali Jagau ciut. Seolah Anorah benar-benar membencinya kini.

Anum pun membalas, “Aku hanya kecewa, kenapa kau menyembunyikan rahasia itu dari kami. Bukankah kita semua, teman?”

Anorah berdecih. “Kita? Tidak ada kita, kau dan aku, itu bukan teman!”

Jagau tak masalah dengan kata-kata kasar Anorah. Tapi nada bicaranya begitu dingin. Ia bersikap seolah mereka adalah musuh sungguhan. Padahal Bada sudah ceritakan bahwa Baldomar yang menghancurkan Telaga Api, bukan Loka Dè Janitra.

“Lalu, apa benar kau hanya memanfaatkan kami sebagai alat transportasi? Waktu yang kita habiskan bersama bagimu itu sia-sia?” Arung bertanya dengan nada kecewa.

“Bukankah itu sudah jelas? Jangan-jangan kalian masih berharap aku kembali ke kapal kotor itu?” Perut Anorah mendadak terasa geli, ia tertawa. “Kalian ini masih saja naif.”

Setelah itu Arung tak lagi berbicara. Tiba-tiba atmosfer pun berubah saat reuni penuh haru itu lebih mendominasi. Jauh dari yang dibayangkan, Anorah terlihat begitu bahagia dapat bertemu dengan saudara-saudaranya kembali di sana.

Raina menyambut Anorah dengan bahagia, “Anorah. Kau masih hidup?” Ia mendekap.

“Tentu, Raina. Aku bersyukur sebagian dari kita masih hidup! Apalagi mengetahui jika Bada sudah kembali ke telaga.” Kerumunan para siren itu menjadi hening. Tapi mereka tersenyum saat tahu jika Anorah mencari.

“Aku tidak lama untuk pergi, hanya saja melindungi telaga di perbatasan.” Dengar itu, seketika Anorah merasa bodoh karena sempat berupaya mencari Bada di daratan walau tidak benar-benar dilakukan. “Nah, sebagai perayaan, mari kita bunuh mereka semua dan menenggelamkannya ke jurang.”

Mereka pun kembali menoleh ke area penyekapan itu, manusia-manusia itu masih menjaga kehidupan. Walau napas mereka semakin terkikis oleh gelembung yang hendak pecah beberapa menit kemudian.

Anorah mulai menunjukkan gigi taring, saat Araf hendak menyerang. Jagau terlihat menggeleng kuat-kuat, menandakan bahwa ia tetap tidak mau teman mereka terluka. Jadi Araf menurunkan tangan. Sedikit kecewa tetapi setuju akan pendapat Jagau.

“Kurasa inilah akhir dari kisah kita, aku bahkan tidak menyangka akan membunuh kalian di sini.” Anorah segera mencapai mereka, meski dalam dasar hati ia masih rasakan sesuatu janggal. Tapi, sebagai Penjaga Telaga, sudah seharusnya dia menyingkirkan orang-orang yang telah merusak kedamaian tempat keajaiban.

“Matilah saja kalian!” Raina tertawa puas, Anorah semakin ragu. Apa tindakannya itu benar untuk dilakukan sekarang ini?

“Sialan, jangan berani kalian menyentuh kru kapalku!” teriak Hala yang baru sampai.

Selanjutnya apa yang akan terjadi? Manusia dengan hati mulia ingin menyelamatkan para kawan-kawan, sekaligus Anak Poseidon serta ksatria kebanggan Loka Dè Janitra sudah datang. Peperangan sebentar lagi hendak dimulaikan di depan mata.





BERSAMBUNG ...

Minggu, 13 Agustus 2023

VOL—VIII, {2}: KEAJAIBAN DI KEGELAPAN.

MATAHARI BERSINAR DENGAN cahaya yang lebih terik dari biasanya. Raja siang tengah memimpin dunia tengah berikan sinar dia dengan andil. Samudera nampak terbentang luas, terlihat mengilap oleh pantulan kilau mentari. Hampir sukses memanggang satu kapal saat mengapung di atas permukaan air tanpa layar peneduh.

Sebagian kru Loka Dè Janitra mengeluh kepanasan, bahkan mereka sedikit takut akan mati karena panas hingga kehausan. Tetapi biar begitu, Kapten Hala, sedikit penasaran bagaimana Pierce sangat tahu tentang Anorah. “Hei, Pierce, bagaimana kau bisa tahu soal Anorah? Padahal baru bertemu dengannya tiga kali,” tanya Hala.

Pierce kepanasan dan menyibakkan baju ke atas sembari kehausan setengah mati menoleh saat jari menggaruk-garukkan tenggorokannya. “Aduh, aku sangat kepanasan sekali, nona. Setidaknya beri aku satu buah kelapa supaya menyegarkan tenggorokanku. Saking panasnya, aku sampai merasa ingin meleleh seperti lilin.” Pierce memang tidak suka panas, sungguh.

“Jawab dulu pertanyaanku, hei! Kau bukan manusia salju yang bisa meleleh begitu terkena sinar matahari,” kata Hala sembari berdecak lalu memukul pelan pundak Pierce. Sedang yang dipukul hanya membalas dengan tatapan sinis, lalu menoleh ke arah lain, tidak peduli. “Aku akan menjawabnya kalau cuaca sudah bagus. Diamlah, jangan berisik.”

Beberapa menit berlalu, Hala sudah tak tahan akan gerah. Maka dibukanya jaket yang menyelimuti bahu si nona. Sampai baru detik-detik berlalu, Arung terbangun karena suhu begitu tinggi. Uap panas pun memeluk tubuh tuan. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak jikalau begini. Bandit itu akhirnya bangkit sambil mengusap mata hingga ia melotot lihat Hala tak memakai jaket. “Nona Hala, kenapa kau lepas?! Kenakan kembali jaketnya!”

Hala mengernyit. Ia sedang berkipasan di bawah payung sembari menikmati indah lelautan sana meski hanya pemandangan membosankan. Tidak ada pulau ataupun perbukitan menghiasi. Ditambah cuaca semakin panas, jadi Hala memakai baju sedikit terbuka. “Sekarang ini panas, dasar bodoh. Lagipula aku suka bajunya.”

“Ucapanmu sangat kejam, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, angin laut itu berbahaya! Kau bisa sakit dibuatnya!”

Haki muak melihat perdebatan itu dan hanya menggeleng pelan pada keduanya. Ia tak masalah dengan cuaca karena Anggun duduk di sampingnya. Jadi ketika angin bertiup, Haki seperti punya pendingin otomatis. Walau sedikit ogah-ogahan tadi Anggun dekat-dekat Haki, di akhir pun luluh juga. Kini si putri terlelap nyaman.

“Panas sekali, aku bisa mati kepanasan!” Araf menutupi tubuhnya dengan baju yang ia lepas. Gerah itu menyiksa sampai ke ulu.

Gauri mengusap peluh di pelipis. Sambil memerhatikan sekitarnya, lalu memandang ke arah langit. “Apa jalan menuju ke telaga memang sepanas ini?” Pierce menjawab dengan anggukan. Lalu tiba-tiba Araf berdiri dari posisi terlentang hingga buat baju itu jatuh. Secara cekatan Arung di dekat Araf mengambil kain tersebut agar Araf menutupi dadanya. “Pakai yang benar, tidak sopan sama Nona Hala dan lainnya.”

Pierce seketika mengingat ide brillian di kepala. Meski ragu sedikit menghampiri, ia tetap menoleh pada teman-teman kru kapal tersebut. “Sebenarnya aku ingat ada jalan pintas untuk sampai ke Telaga Api dengan cepat!” Mendengar hal itu, Jagau nampak tersenyum senang, “Tunjukkan jalannya!”

Mereka dibuat bingung oleh telunjuk Pierce yang mengarah ke bawah. “Kita menyelam, berenang ke telaga itu,” jawab Pierce. Buat semua kru langsung terdiam membisu.

Hala tertawa canggung, ia mengusap-usap tengkuknya sendiri. “Selain lupa caranya terbang, aku tidak pandai dalam berenang.”

Araf dan Haki menjatuhkan rahangnya. Si bangsawan buangan itu memijit pangkal hidung, seolah ia salah pilih regu. Sedang Araf meraup wajah frustasi. “Bagaimana ceritanya seorang bajak laut tidak bisa berenang?!” sahut Araf tak percaya. 

“Ehm ... aku tidak berencana untuk menjadi bajak laut sebelum itu. Gunakan pelampung saja!” Hala mendengus sebal. Bajak laut yang tidak berenang masihlah normal tapi anggota bersikap seolah ini masalah besar.

Arung menepuk dahinya, merasa lelah dengan sang kapten. “Kalau kita gunakan pelampung, sia-sia saja. Kita bahkan bisa selamanya mengapung di lautan ini.”

Perut Pierce tergelitik, ia mendorong dahi Hala menggunakan telunjuk panjangnya. “HAHAHAHA, bajak laut yang tidak bisa berenang adalah aib!” Bagi dia, lucu sekali mengetahui ada perompak sulit berenang.

Dhavi berdecak sinis, pemuda itu menarik kerah belakang Pierce dan mendorongnya menghadap lautan. “Kau, daripada tertawa mengejek. Coba kau beri contoh yang benar pada mereka. Berenang sana!”

Pierce mengangguk dengan angkuh. Ia pun langsung melompat bersama gaya paling keren ala atlet perenang kemudian masuk ke dalam permukaan air. Beberapa rintik air tak sengaja menyiprati wajah mereka, lalu kaki Pierce muncul. Ia mengayunkan kedua kakinya, bising percumbuan air jua telapak tidaklah seberapa. Anum jadi ingin meninju wajah menyebalkan Pierce, pasalnya dia tidak memberikan kemajuan sama sekali.

Seperti ... berenang di tempat.

Anggun tidak tahan lagi untuk berteriak. “Anak Poseidon yang tidak bisa berenang adalah aib!” Semua kru reflek menertawai tingkah Pierce tersebut bersama-sama.

“Kau ingin mati, hah?!” tanya Pierce sembari menatap sinis Anggun. Membuat Anggun langsung panik. “AKU HANYA BERCANDA! KENAPA PEMARAH SEKALI!” Pierce jadi sibuk beradu mulut dengan Anggun. Haki tidak ingin mendengarnya. Padahal hanya beberapa memilih untuk keluarkan suara tapi ramai macam pasar.

Haki menoleh ke arah Jagau yang sedari tadi hanya terdiam menyimak interaksi kru lain, bangsawan itu menepuknya pelan. “Kau bisa berenang, 'kan?” tanya Haki. 

Seluruh tubuh Jagau mendadak kaku. Lebih sulit bicara sekarang. “Aku? Bisa,” jawab Jagau dengan hati sedikit ragu. Membuat Haki langsung memukul bahunya. Baiklah, setidaknya laki-laki serigala ini masih bisa diandalkan. Haki merasa lega sejenak.

Pierce menunjukkan raut bangga. “Karena aku baik hati, aku akan memberikan kalian gelembung ajaib ini!” ucap si Anak Dewa laut itu sembari jemari membentuk huruf O, kemudian meniupnya hingga menjadi satu buah gelembung seukuran kepala mereka. Gelembung ajaib tersebut bisa melayang dan lapisi kepala masing-masing kru. “Ya, dengan gelembung milikkulah, kalian bisa bernapas di dalam air. Hebat 'kan?”

“Apa? Kau ingin aku bertepuk tangan?” ujar Hala dengan nada sarkas. Nampaknya gadis itu masih menyimpan dendam. Tapi jangan khawatir, Arung selalu ada untuk memisahkan mereka walau harus terkena imbas. Pierce jadi ikut sinis, “Kaku sekali, galak pula. Bersyukur jika kau itu cantik.”

Satu-persatu dari mereka mulai melompat setelah mendapat gelembung di kepala. Sesuai kesepakatan, hewan-hewan milik para anggota dibiarkan tinggal agar bisa menjaga kapal. Dan ketika Jagau hendak melompat, Gauri menarik lengannya cepat. “Jagau, pakai alas kaki,” suruh Gauri.

Jagau hanya menatap sebentar, lalu ia menggeleng. “Tidak mau!” Jagau menolak keras, membuat gadis pemanah ini heran. 

“Aku sudah memperingatkanmu, Jagau. Ini perintah kapten juga. Kenakan alas kaki!”

Jagau menggeleng lagi. “Tidak mau, jangan memaksaku, Gauri. Aku lebih suka begini.” Mendengar itu, Gauri hela napas lelah. Yah, terserah Jagau saja ingin seperti apa.

Saat Gauri mengikat ulang sepatu agar tali lebih kencang, Jagau lebih dulu melompat. Rasanya Gauri akan meledak. Namun, tak lama kemudian Jagau kembali muncul ke permukaan. Ia mengangkat kedua kaki di udara agar Gauri bisa melihat hasil.

Bahwa dia terkena bulu babi.

Jagau hanya meringis lalu meminta maaf. Sedangkan Arung menoleh pada Haki yang terdiam, sang bandit merasa akan ada hal tak beres dengan perjalanan mereka. “Kau pikir ini akan berjalan dengan baik, Haki?” keluh Arung sembari memegangi kepala.

Pemuda di sampingnya tengah menunggu Gauri menyelesaikan urusan, hanya beri balas helaan napas. “Aku meragukan itu.”






CAHAYA PANAS MENYENGAT bahkan tetap bisa menembus di dalam air. Tapi karena itu, terumbu karang hingga rumput laut juga hewan-hewan kecil lainnya menjadi pemandangan indah. Nampak sangat menenangkan buat mata sukar mengedip.

Mereka sudah mulai menyelam perlahan. Pierce memang tidak pandai berenang tapi karena berkah yang ia punya, dia bisa menggerakkan arus di sekeliling. Semua jadi terlihat lebih mudah. Para anggota pun mengikuti sebagai tanda terima kasih kepada Pierce sebab mau memberikan gelembung ajaib agar mereka dapat bernapas saat menyusuri gelapnya lautan.

Ya walaupun, tidak semua anggota dapat berenang dengan lancar. Mereka berbaris membuat lima barisan. Di barisan pertama ada Hala memegangi kaki Haki, lalu di belakangnya Jagau bertumpu ke Arung walau sedikit memeluk, setelah itu barulah ketiga Livana dan Anggun yang bertaut tangan bersama Pierce, setelah itu Gauri dan Suha digandeng oleh Dhavi, sedang barisan terakhir Araf merangkul Anum.

Mereka terus berenang, perjalanannya jelas berantakan jika Pierce tidak membantu. Beberapa kali arus air berusaha mendorong mereka jatuh ke dasar jurang, namun Pierce masih mampu mengatasi itu semua. Buat diam-diam para kru bersyukur padanya.

Kaki Jagau masih berdenyut selama masih perjalanan dilakukan. Tak henti-henti ia meringis. Karena keadaannya dipantau. Sedang Haki berenang sambil membawa seorang gadis yang tidak mau lepas dari kaki. “Kau mau kutendang, ha? Jangan pegangan di situ!” Haki jadi mengomel saat merasakan jika dirinya kesulitan bergerak.

Hala berdecak. “Kupecahkan gelembungmu kalau kau berani menendangku!” Mereka memang bisa berbicara didalam gelembung walaupun agak kedap tetapi masih dapat berkomunikasi dengan sangat baik.

Tangan Haki kemudian menarik lengan Hala hingga tubuh perempuan itu mendekatinya, karena ringan di dalam air maka mudah jika Hala berpindah. Haki melingkarkan tangan Hala pada lehernya, posisi tersebut lebih baik daripada Hala benar-benar tertendang nanti. “Pegangan yang erat, tapi jangan sampai mencekik.” Hala angguki patuh.

Setelah keributan kecil, mereka kembali menelusuri lautan. Arus yang membawa mereka berenang semakin deras, pun lebih cepat untuk menyelam ke dasar. Perlahan tapi pasti, presensi mulai meninggalkan keindahan lautan menjadi kehampaan tanpa cahaya apapun. Lautan begitu gelap, buat mereka hampir tidak bisa melihat sekitar. Hanya dapat memandang ke depan di mana Pierce memimpin jalan, meski redup kecil.

Tidak ada yang kembali berbicara, mereka masing-masing tenggelam dalam dunia. Fokus untuk menuju ke Telaga Api dengan jalan pintas, namun mereka tahu bahwa setiap perjalanan lebih efektif biasa selalu mendapatkan risiko. “Berhati-hatilah, aku tidak tahu predator mana yang menghuni laut ini,” ujar Pierce pelan kepada para kru.

Di saat mata mereka mulai sakit dan lelah, ada suara gelembung milik ikan. Bunyinya tidak hanya satu, melainkan banyak. Apa mungkin, Ikan ini datang bergerombol? Buat mereka semua terdiam, menunggu apa yang akan terjadi. Sampai salah satu dari anggota memilih berteriak heboh.

“WAAAA!!!” Haki menjerit kencang. Takut.

Ternyata benar ada ikan predator. Berupa anglerfish namun anehnya mereka tidak melihat cahaya lampu dari ikan itu datang. Sekarang mereka dilanda panik karena akan dimakan hidup-hidup semua perompak ini.

Gauri baru kali ini merasakan khawatir tak membawa apa-apa, mana mungkin pula ia bisa memanah di dalam air? Kedua tangan kini makin memeluk Suha sekaligus Dhavi. Sedangkan Anggun terkejut karena tiba-tiba datangnya serangan tersebut, ia beri tatapan tajam lalu melepas genggaman dari Livana. “Tidak, Anggun! Kembali ke sini!”

Perempuan gila berduel itu mencoba agar membekukan seluruh lautan nampaknya. Pierce dibuat terkejut, insting dengan cepat menekuk kaku saat es itu meraih. “Apa kau ingin bertarung sekarang, hah?! Anggun!”

Anum berenang menjauh bersama Araf, ia berusaha menghindari ikan yang justru mengejar daripada membeku bersama kuasa Anggun. “Kenapa harus kami?!” Mereka perlahan mulai merasakan sensasi dingin mendadak karena kekuatan Anggun. Sempat terkejut juga saat gelegar dari hasta Hala menyerang ikan dengan petir.

Bagai menyelami tinta, mereka tak dapat melihat apa-apa setelah ikan itu pergi. Lalu Anum meraba sesuatu yang keras di mana ia yakini sebagai batu karang agar Anum berhasil bersembunyi. Tetapi Anum tak bisa memandang apapun, hanya suara kru lain.

“Kalian jangan bergerak, tenang dulu!” teriak Pierce. Laki-laki itu merasa bulu kuduk mulai merinding tanpa alasan, dia harus mengumpulkan mereka yang sudah terpencar. Entah kenapa, rasanya ketika semakin menyelam ke dasar permukaan. Maka napas lebih berat, lubang hidung mereka seakan sulit menarik oksigen dari gelembung buatan Pierce.

“Kubilang jangan bergerak!”

“Kami tidak bergerak!” suara Dhavi lantang mewakili siapapun teman-temannya.

Fokus Pierce mulai kacau, ia ingin menarik mereka mendekat dengan kekuatan yang dimiliki. Tapi ada kejanggalan datang dari mana entah sejak kapan, atau mungkin ia baru menyadari sekarang. Pierce tentu menyatu bersama lautan sebab dirinya dilahirkan di bawah air, berarti Pierce tahu siapa saja orang-orang berada di dekatnya. Aneh, jumlah kehidupan selain para kru kapal itu mulai bertambah satu-persatu. Seolah sesuatu bergerak cepat, tak dapat diterka. Terus berjumlah banyak, Pierce sampai menggertakkan gigi. Apalagi saat merasa aliran ait berubah, sekumpulan ikan macam mengelilingi kawasan tersebut.

Perasaan panik kini melanda semua tanpa terkecuali, bahkan salah satu dari mereka mulai pasrah jika nanti akan jadi santapan para makhluk mengerikan di sini. “KALIAN SEMUA, DENGARKAN ARAH SUARAKU DAN MENDEKATLAH, CEPAT!” teriak Pierce keras memanggil teman-temannya.

Arung mengumpat, sungguh, pemuda itu mendapati pandangan gelap padahal mata terbuka lebar. “Sial, aku tidak bisa melihat apapun! Jagau! Jangan lepas pegangan tanganmu! Kalian semua ini di mana?!”

Anum mendengus kesal, ia pun keluar dari balik terumbu karang untuk berenang ke arah suara Pierce. Namun, sebelum ia merentangkan tangan, kembali dirasakan bahwa jari-jemari mengenai sesuatu yang licin sekaligus kasar sisik suatu makhluk. Gadis dengan rambut merah itu meneguk saliva diam-diam, tangan meraba dan benda tersebut bergerak lebih dekat.

Firasat Jagau sangatlah buruk. Karena ia istimewa, Jagau bisa sedikit melihat dalam gelap. Nampak memicingkan mata, untuk meyakini apa yang ia lihat. Meskipun dari jarak jauh, Jagau yakin ekor ikan barusan melintas terlihat menyeramkan dan sangat besar. Pemuda itu menahan napas kala sadar ada sebuah duri pada ikan tersebut. “Apa-apaan, mahluk apakah?” tanya Jagau, membuat semua menoleh ke arah suara.

Gauri berdesis dan memberikan tanda untuk mereka semua diam terlebih dahulu, gadis pemanah itu menutup kedua telinga. “Jangan berteriak dan membuat suara, lalu tutup kedua telinga menggunakan tangan.”

“Mengapa lakukan itu?” tanya Jagau. 

“Jagau, kau bisa tidak menurut pada kami? Lebih baik turuti apa yang dikatakan Gauri dan diamlah, mereka sudah datang,” sahut Anggun. Jika saja mereka bisa melihat, sudah pasti Jagau dipukuli oleh Gauri. 

Livana berusaha tidak membuat suara ketika merasakan sesuatu melewati mereka, bisa dirasakan karena gelombang arus yang berbeda dari sebelumnya. “Hei, sepertinya ... kita sudah masuki kawasan mereka. Itu sebabnya mereka mengepung,” cicitnya pelan. Dhavi pun menyetujui, ia dapat mendengar jelas bisikan alunan lagu di mana belum pernah didengarnya.

Nyanyian para penghuni laut kesepian.

Jagau sudah terpisah dengan Arung sedari tadi. Dirinya hendak mencari tetapi kakinya sulit diayunkan apalagi setelah terkena bulu babi. Dan pada kenyataan, Jagau belum pernah berenang sebelum itu. Ia biarkan tubuh melayang oleh arus, tidak ada yang bisa dipegang sekarang. Hati mulai tidak tenang, haruskah dia jujur saja kalau tak dapat berenang? Tapi itu memalukan, dan Jagau tak sudi mengiris harga dirinya.

Arung juga membeku saat merasakan sesuatu lewat mengenai kakinya. Sang bandit merengek pelan, “Aku merasa ada sesuatu yang mengenai kakiku.”

Suha juga mendengarnya, nyanyian samar-samar itu mulai terdengar dengan jelas seakan suara mendekati mereka terus. Ia kebingungan, kenapa Pierce diam saja?

Hala menyadari sesuatu. Sedari tadi gadis itu tidak mendengar suara teman-temannya yang lain. “Tunggu, di mana yang lain? Aku tidak mendengar suara Anum, Dhavi? Aku harus mencari mereka sekarang!”

“Jangan seenaknya, diam dulu!” suruh Haki dengan nada tinggi saat Hala mencoba lepas pelukannya pada leher. Ia menarik pinggang si kapten semakin mendekat.

Pierce yang sedari tadi diam saja akhirnya membuka suara, “Kalian semua, dengarkan aku. Lebih baik kita naik ke atas, sekarang. Kumohon untuk kali ini jangan bertanya mengapa, ikuti saja.atau kalian memang mau mati jadi santapan ikan-ikan di sini.”

Nyanyian itu terus bertambah naik volume suaranya. Mengalir masuki telinga, tembusi kepala mereka. Alunan memabukkan serta mematikan. Kala mereka perlahan mundur menjauhi kawasan tersebut, akhirnya bisa melihat permukaan kembali. Udara di dalam gelembung semakin tipis. Lalu Pierce menarik mereka semua ke permukaan.

Setelah sampai di permukaan laut, mereka cepat-cepat meraup udara sebanyak mungkin. Haki menyibak rambut ke belakang, melirik para teman-teman di sampingnya. Namun, ia tidak melihat presensi dari lima temannya; Arung, Jagau, Anum, Dhavi, sekaligus Araf.

Lalu Haki langsung menghampiri Pierce. Suasana hati bangsawan itu langsung buruk. Ia menatap sinis ke lawan bicara ketika Pierce tengah meremas pakaiannya. “Hei, Anak Dewa!” Pierce menoleh, hanya mengangkat dagu. Kemudian Haki menarik kasar bahu Pierce. “Kau sengaja, ya?!”

Raut wajah Pierce yang tadi kebingungan berubah menjadi seringaian licik. “Kau pikir, hanya kalian yang punya tujuan?”

Hala mendengar itu merasa terkejut lalu ikut menghampiri Pierce. “Apa yang tengah kau rencanakan dengan membiarkan teman-temanku tertinggal? Bagaimana aku bisa ke sana jika tanpa teman-temanku?!”

“Tenang saja, rencanaku tidak merugikan kalian.” Pierce menyingkirkan Hala dengan ombaknya. Haki pun segera menarik Hala ke permukaan lagi agar tak tenggelam. Bangsawan itu sendiri pun heran, bukankah tujuan Pierce hanya mengambil kerang? Kalau kerang tersebut ada pada Arung dan sekarang ia menghilang, bukankah Pierce harusnya akan merasa rugi?

Suha hampir akan meninju wajah Pierce kalau saja Anggun tak melerainya. Melihat aksi tersebut, Pierce tertawa geli. “Kau ingin ke Telaga Api, 'kan? Ikuti aku, sebentar lagi kita akan sampai.” Bisa-bisanya bocah itu masih tertawa dalam situasi genting begini.

Livana sendiri menyiprati wajah Pierce menggunakan air. “Kami tidak bisa jika membiarkan mereka tertinggal!”

Manik biru laut itu bergerak, menoleh ke Livana dengan aura mengintimidasi. “Asal kau tahu ya, mereka itu sedang dibawa ke dasar Telaga Api, bodoh.”

Hala tepis rangkulan Haki. “Oleh siapa?”

“Para Siren.”

Ketegangan menghimpit perdebatan mereka. Sedang ekor mata Gauri melihat sebuah kapal bersembunyi di balik goa besar belakangnya mercusuar. Di mana sumur Telaga Api itu berada. “Teman-teman,” panggil Gauri tiba-tiba, membuat semuanya menoleh ke arah si gadis.

“Kurasa Anorah sudah sampai lebih dulu.”





BERSAMBUNG ...

Sabtu, 12 Agustus 2023

VOL—VIII: PENGELANA SI TUAN KESEPIAN.

BADAI MENGAMUK SIAP menghantam segala yang berurusan dengannya. Penyulut amarah badai tak lain adalah putra dari Poseidon. Netra mengarah kepada kapal tengah melintas tak gentar di dalam badai. Itu sukses membuat ia tertarik untuk mendekat dan melemparkan pertanyaan pada para kru di atas kapal tersebut.

Ombak masih mengguncang kapal besar ini, perlahan tapi pasti Pierce sampai di pinggir kapal. Tangannya meraba sisi kapal kemudian dengan sekuat tenaga yang ia punya. Pierce melompat melewati perbatasan kapal kemudian mendarat dengan sempurna di atas kabin yang terasa dingin. 

Ia berjalan dengan hati-hati, mengendap-endap bagaikan seorang pencuri kecil, sedang netranya tak henti menelisik seluruh sudut kapal sambil terus berdecak kagum. Kakinya terus membawanya berjalan sampai ia tak menyadari ada seseorang yang menghampiri dirinya, terlihat gadis cantik namun berperawakan tegas kini sudah berada di hadapan. 

Gadis itu memandang sinis seakan telah mendapati keberadaan pencuri yang baru saja menyentuh kabin kapal, tanpa banyak bicara lagi, sang gadis langsung menarik telinga dan menggaet Pierce masuk ke aula utama. Rasa sakit mulai mendera telinganya, Pierce pun merintih dan berusaha melepaskan tangan gadis itu dari telinganya namun gagal. 

“Aduh, telingaku!! Hei, ini sakit! Lepaskan aku?!!” Pierce mengaduh kesakitan.

“Diam!” Gadis itu berteriak, “Jelaskan dulu kepada kami, mengapa kau sembunyi di sana? Hah? Mau maling ya?” Rentetan pertanyaan mulai ia berikan, Pierce menggerutu dalam hat. Harga dirinya runtuh sehingga dia enggan menjawab jika telinganya saja masih ditarik seperti ini.

“Hei, gadis aneh, jaga bicaramu!” Pierce yang disebut hendak maling pun sudah pasti merasa terhina. “Pikirmu aku tak punya harta sampai merampok dengan cara seperti itu? Jelas tidak mungkin! Asal kau tahu, aku ini seorang pangeran!” Pierce menggeram tak suka.

Tibalah sosok lelaki berpostur tinggi, Haki menyahuti ucapan Pierce yang dinilainya tidak sopan “Hei, jangan sok. Aku raja di sini!”

“Oh, benarkah?” Pierce tersenyum remeh, “Apa aku terlihat peduli? Aku bahkan tak ingin tahu!” Ia tergelak menahan tawa, mulai memandang rendah lawan bicaranya. 

“Jika kau bukan pencuri, lalu untuk apa kedatanganmu ini?” Muncul seorang wanita cantik lainnya, Hala bertanya dengan nada santai namun terkesan dingin. 

“Tentu saja mengambil apa yang harusnya menjadi milikku,” jawab lelaki yang mengaku sebagai pangeran dengan tegas. “Berikan kerang itu padaku atau akan aku tenggelamkan kapal ini,” ancam Pierce. 

“Tunggu, apa tadi katanya?” Gadis dengan rambut pirang, Anggun, terlihat mengerut kening, ia dibuat bingung oleh permintaan Pierce. “Kerang? Kerang apa?” Pemuda yang memiliki kulit pucat, Dhavi, pun terlihat sama bingungnya, namun tiba-tiba, “Puja kerang ajaib!” seseorang dengan penampilan aneh yang tak lain adalah Araf, menimpali perkataannya dengan bahasa tidak masuk akal.

“Kami tidak punya kerang yang kau maksud itu.” Gauri segera menyela ucapan Araf. Mendengarnya buat Pierce menjadi marah. 

“Pembohong!” Ia berteriak, “Kau pikir aku buta sampai aku tidak bisa melihat ketika kalian membawa pergi kerang itu dari tangan perampok di Aestemore?”

Mereka terdiam setelahnya saling lempar pandangan. “Bagaimana kau bisa tau...?” Jagau bertanya dengan nada pelan namun berhasil membuat orang di samping, Arung, tersenyum sinis. “Bocah ini rupanya teliti juga dalam mengawasi kita, ya.”

Mendengar kata bocah dari mulut orang asing, membuat Pierce melayangkan protes. Ia pun memberi tatapan tajam dengan seringai khas bocah nakal. “Jangan panggil aku bocah, paman!”

“Jangan panggil aku paman juga! Aku masih muda tahu, enak saja!” Arung yang tak terima dipanggil paman pun ikut protes. Ia hendak hampiri Pierce dan memukulnya, namun tak jadi akibat Suha si navigator kembali menyela ucapan. “Tapi, kami memang tidak membawa benda itu.”

Suasana kapal mulai terasa sedikit mencekam akibat perseteruan kecil ini. Haki sang pangeran buangan pun mendecih, itak habis pikir dengan isi kepala para makhluk kapal. “Kalian yang tidak sadar atau memang bodoh?" Haki menyindir kemudian bertanya ke Anum, “Anum, apa kau menemukan benda itu?”

Gadis bernama Anum itu mengangguk, “Tentu, aku melihatnya bertumpukan bersama baju dan beberapa barang lain,” ucapnya sambil menunjuk sisi kapal yang berisi barang dimaksud.

Pierce tersenyum senang, ia merasa memenangi kepemilikan kerang itu. “Bagus! Sekarang, berikan padaku. Cepat!” Pierce mengulurkan tangannya namun ditepis oleh seseorang secara kasar. “Eits, tenang dulu, boy. Apa yang akan kami dapat jika kami memberikanmu ini.” Dhavi bersandar pada dinding kapal, ia menyeringai puas sambil menggoyangkan sebuah kerang yang Pierce inginkan.

Dengan malas Pierce merotasikan bola matanya, ia kemudian melipat kedua tangan di dada dan menatap Dhavi jengah. Kesabarannya sedang diuji. “Kalian bisa pinta apapun saat ayahku datang nanti.” Sang kapten mulai angkat bicara, “Untuk apa kami harus menuruti omong kosongmu ini?” Hala memberikan tatapan membunuh.

“Mengapa pula kau tak percaya padaku? Apa wajahku ini terlihat seperti seorang kriminal laut?” Lagi-lagi Pierce semakin dibuat geram oleh kapten dan seisi kru.

“Loh, itu terlihat jelas sekali!!” ucap Suha dengan tawa tipis bermaksud mengejek. “Dan kau masih bertanya?!” Jagau pun ikut menimpali ucapan Suha. Seakan mendapat mainan baru, dia menikmati kegiatan mem-bully si pangeran tengil tersebut. “Bikin heran saja.” Haki menggelengkan kepala tak habis pikir. Setelahnya Suha, Jagau beserta Haki tertawa bersama membuat Pierce makin merasa jengkel menganggap dirinya dipermalukan. “Cepatlah, aku tak punya banyak waktu untuk meladeni kalian! Mana kerangnya?!”

“Kau serius? Cukup sulit bagi kami untuk mendapatkan kerangnya,” ucap gadis lain bernama Livana yang kemudian dibenarkan oleh Arung. “Bukan cukup sulit lagi, tetapi itu sangat sangat sangat sulit!” Arung berucap dengan dramatis agar terkesan meyakinkan. “Oh, kasihan sekali.” Wajah Pierce berubah memelas, hingga seketika kembali acuh tak acuh. “Sayangnya aku tak peduli dengan kesulitan kalian.”

Pierce sudah lelah pada drama yang dibuat oleh mereka, jadi ia mulai membuang nafas panjang kemudian bergerak ke sisi aula utama untuk bersandar. Kakinya ia luruskan dan netra menatap tajam para komplotan itu satu-persatu. “Cepat berikan kerangnya padaku, manusia-manusia bodoh! Aku tak punya banyak waktu saat ini,” ucap Pierce memperingati. 

Anum yang tak terima sebab dikatai manusia bodoh mulai protes, “Maaf, tapi aku bukan manusia.” Ia kemudian melirik ke arah Dhavi dan Jagau. “Terutama aku beserta Jagau, kami bukan manusia,” tambah Dhavi yang diberi anggukan tanda setuju dari Jagau. “Terima kasih sudah mewakiliku, Dhavi,” kata Jagau, setelahnya mereka berdua melakukan tos. 

Haki menatap Pierce dalam diam, ia kemudian berdiri lalu mendekati Pierce, ikut bersandar di sampingnya. Sekejap ia perhatikan Pierce sebelum akhirnya lontarkan pertanyaan. “Seolah aku tidak asing denganmu, apa kau tinggal di perairan Laut Kembara?” Haki bertanya kepada Pierce.

Pierce menoleh ke sumber suara, ia melihat Haki yang ikut bersandar di sampingnya, ia pun mengangguk membenarkan ucapan pangeran itu. “Betul sekali, tumben kau pintar. So, tell me Prince Haki— ....” Belum sempat selesai bicara, perkataannya dipotong oleh pemuda itu. 

“It’s king,” koreksi Haki. 

Pierce malah jadi bingung karena perkataan Haki, sebab itu ia mengulangi pertanyaannya. “Pardon me?”

“It's King Haki from Aestemore actually,”  katanya membanggakan diri. 

Pierce yang mendengarnya pun merasa tersinggung, “Tak ada raja selain Posiedon di sini.” Tatapan tajam yang ia utarakan seolah memberitahunya bahwa hanya Poseidon-lah berkuasa besar. Namun ia berusaha menekan protesnya, ”Whatever. Beritahu aku, kemana kalian akan pergi mengembara selanjutnya?” Pierce kembali bertanya hendak kemana mereka semua pergi. 

Anum tak suka topik pembicaraan Pierce pun berkata, “Itu bukan urusanmu untuk tahu.” Jagau yang ada didekat Anum pun menyenggol pelan lengannya. “Kami ingin pergi ke Telaga Api tempat tinggalnya.”

Pierce menautkan kedua alisnya, tunggu sepertinya ia tahu hendak kemana kapal ini menemukan tuju. “Tempat tinggalnya? Tunggu, siapa yang kau maksud? Apakah itu Anorah? Kalian mengenal dia?” tanya Pierce secara beruntun.

Anggun yang mendengar rentetan pertanyaan dari Pierce pun berusaha menjawab sebisanya. “Dia teman kami, sekaligus kru kapal ini. Kenapa kau bisa mengenalnya?” Pierce mengangguk tanda mengerti. “Aku pernah bertemu Anorah tiga kali. Dulu, minggu lalu dan juga tadi,” kata Pierce dengan lagak tak minat. 

“Dulu? Apa kau sedekat itu dengan dia?” Kini Arung melayangkan pertanyaan, diberi gelengan tidak meyakinkan oleh Pierce. “Tidak juga, tapi kami cukup mengenal satu sama lain.” Suha langsung balas menimpali, “Itu bukan termasuk pertemanan yang akrab.” Suha mendengus. Sebelum ia melanjutkan kalimat, sang kapten sudah memotong kembali ucapan.

“Akan kuberikan kerang itu jika kau mau memberitahu kami jalan menuju ke Telaga Api.” Hala berbicara dengan nada serius membuat orang di sekitar mulai merasa tidak nyaman. “Kapten! Keputusan yang kau pilih sangat ilegal. Itu melanggar aliansi kita dengan Inir!” protes Haki sebagai wakil kapten karena tak terima pada usulan sang kapten, lagi-lagi Hala mengelak. “Haki, mereka sudah bukan urusan kita lagi.”

“Tetap saja tidak boleh dilakukan, karena itu melanggar perjanjian!” Kini giliran Jagau ikut memprotes tindakan si kapten. Hala terdiam sejenak. Ia lamat-lamat memikirkan kembali apa yang telah ia katakan. “Tapi ... semuanya demi Anorah, 'kan?”

“Lakukan sama selagi itu benar bagimu.” Livana hanya pasrah langsung meng-iyakan perkataan sang kapten membuat Pierce yang ada di sana mulai tertawa. “Apa kau yakin dengan itu?” tanyanya main-main. 

Tentu saja Hala yang dipermainkan merasa harga dirinya diinjak. “Apa aku terlihat ragu sedikit pun? Tidak. Aku serius tentang itu,” tegas Hala sudah membulatkan keputusan. 

Pierce yang melihat keseriusan dalam raut wajah Hala seketika tersenyum lalu mengangguk setuju. “Baik, kutunjukkan jalan kesana.” Sebelum melanjutkan kalimat, Pierce menatap satu-persatu awak kapal dengan raut wajah bingung. “Sebentar, aku ingin bertanya satu hal. Bagaimana cara kalian bisa sampai sini? Dengan keadaan masih hidup lagi?”

Namun pertanyaan Pierce membuat Araf sedikit tersinggung, pemuda itu kini berdiri dan berkacak pinggang di hadapan Pierce sambil mengatainya. “Hei kau, si kepala puding! Aku sudah tidak peduli makhluk jenis apalagi yang akan menghalangi kami nantinya! Asal kau tau saja, kami tidak akrab dengan kata menyerah!” ucap Araf berapi-api. 

“Jaga bicaramu wahai makhluk aneh yang entah darimana!” Pierce menatap nyalang kepada Araf. Bung, harga dirinya seketika hilang dikatai kepala puding. “Berani sekali kau memanggilku dengan sebutan hina seperti itu.”

“Tentu saja kami berani, memangnya kau ini siapa?” Dhavi mulai tersulut emosi. Pierce yang ditanya seperti itu pun langsung terkejut, tak percaya mereka semua tidak ada mengenalinya. Maka secara bangga, berkata bahwa ia adalah anak kesayangan sang penguasa lautan. “I’m Pierce Carter, Son of Posiedon.”

Lagi-lagi makhluk bumi itu tak memercayai, “Alah bohong! Kami tak percaya.”

Pierce merasa dirinya tidak dipercayai kini berdiri dari acara duduknya dan tatap Araf tak suka. Ia mulai mengeluarkan sesuatu dari leher yang tertutup oleh kerah baju. “Untuk apa aku berbohong? Kau lihat kalung ini? Ya, ini adalah buktinya.” Pierce menunjukkan sebuah kalung, bertengger manis di leher. Kalung perak dengan trisula kecil berwarna biru sebagai liontin. Adalah bukti nyata bahwa ia putra Posiedon. 

“Bisa saja itu palsu.” Dhavi yang sempat melihat bentuk kalung Pierce pun masih merasa tak yakin, sebab kalung tersebut banyak dijual di pasaran pikirnya. 

Mendengar itu, Pierce menggeram rendah. Baru kali ini orang berani permainkannya. “Kalian benar-benar kelewatan! Lihat ini, kau tahu? Aku juga punya senjata beliau!” Pierce menarik kalungnya dan benda itu dengan sekejap mata berubah menjadi sebuah Trisula emas besar. 

Jagau penasaran pun mendekati Pierce, “Apakah itu garpu taman?” Ia menyentuh Trisula dan bertanya hal yang membuat Pierce naik pitam sekali lagi.  

“KEPALAMU GARPU TAMAN! INI TRISULA, DASAR BODOH!” teriak Pierce tak terima sebab kuasanya secara hina disebut garpu taman. “Oh, benarkah? Lalu benda itu digunakan untuk apa?” pertanyaan polos kembali terucap dari mulut Jagau. 

Pierce mendesah pasrah, kenapa ia bisa terjebak dengan sekumpulan makhluk bodoh ini. “Tentu saja untuk mengendalikan laut.” Setelah menjelaskan tentang tata cara penggunaan Trisula, mereka percayai bahwa ia benar putra sang penguasa laut. Pierce kembali merubah Trisula menjadi sebuah kalung dan memakainya lagi. 

“Karena kita akan pergi ke tempat Anorah, jadi kalian semua harus bisa menahan napas untuk pergi ke bawah sana.” Pierce memberikan sedikit informasi mengenai tata cara pergi ke telaga itu. Anum yang tak mengerti pun mulai bertanya maksud dari perkataan Pierce. “Apa maksudnya?”

Haki melirik Anum sekilas, ia yang melihat raut kebingungan di wajah gadis itu pun segera menjelaskan. “Telaga Api, tempat di mana keindahan hanyalah menjadi racun mematikan.”

Pierce tersenyum senang akan kepintaran pangeran itu, “Benar, Haki. Tumben sekali kepala bisa berpikir, bangsawan buangan.” Perkataan Pierce sukses membuat Haki memalingkan wajah tapi itu justru membuat Pierce tertawa karena merasa menang. 

Semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing, Pierce berjalan sedikit menjauhi kerumunan itu dan kini ia berdiri di sisi kapal sambil netranya melihat lautan lepas. Ia kemudian teringat akan kejahilannya beberapa saat lalu. “Oh iya, tentang badai tadi ... sejujurnya itu bukan salah cuaca. Tapi karena ulahku akibat sedang tak ada kerjaan.” Pierce berkata lantang membuat kerumunan yang tadi sempat diam, larut dalam pikirannya masing-masing. Kini kembali heboh akibat pengakuannya. 

Gadis yang pertama berteriak tak terima adalah Anum, ia tak terima sebab keusilan bocah ini hampir membuat seluruh barang saat sudah ia bereskan kembali berantakan. “Dasar bocah, berani-beraninya kau main-main dengan kapal Loka di saat kami sibuk sendiri supaya tak tenggelam?!”

“Asal kau tahu, ya, Pierce. Aku hampir jatuh dari atas! Bagaimana jika nanti aku tertimpa layar kalau saja aku tak berpegangan selama badai buatanmu itu berlangsung?!” Anggun, gadis itu berteriak tak terima sebab kejahilan Pierce bisa saja membuat dirinya dalam bahaya. Hei, siapa yang tak merasa ngilu jika kau terjatuh dari atas ketinggian dan tertimpa layar? Pikirkannya saja sudah buat Anggun bergidik ngeri. 

“Dan harta kami di kapal hampir jatuh ke laut gara-gara ombakmu itu, bocah nakal!” Kini giliran Arung yang berteriak tak terima sebab harta berharganya jadi taruhan, setelahnya lelaki itu mendapat pukulan kasih sayang dari Gauri sampai meringis. “Kau ini, masih sempat-sempatnya pikirkan harta, ya!” tegur Gauri, pelaku pemukulan terhadap kepala belakang milik Arung. 

“Aw, kasihan sekali. Tapi aku tak peduli,” ucap Pierce. Ia segera memalingkan posisi lalu meminta maaf walaupun terkesan tak sungguh-sungguh. “Maaf, deh. Aku tak berpikir sampai ke sana. Lagian seru juga melihat kalian yang panik, hahaha.”

Ketiganya mendengus dengar permintaan maaf Pierce kesannya sangat amat tidak bersungguh-sungguh. 

“Aku baru tahu kalau anak Dewa bisa gabut juga.” Araf menyeletuk, buat Dhavi yang berada tak jauh darinya ikut menyeletuk. “Mungkin karena dia masih kecil.”

Suha tak mengerti percakapan antara Araf dengan Dhavi pun bertanya, “Gabut itu apa?” langsung dijawab oleh Jagau sok tahu. “Mungkin sejenis garam.”

“Artinya kurang kerjaan! Dasar komplotan kolot.” Araf menjelaskan kepada Suha dan Jagau mengenai arti gabut yang ia bawa dari bumi. 

Di sisi lain, Pierce menatap penuh minat kepada benda yang berada di tangan Haki. Ia mulai mendekati Haki, tengah berbicara dengan sang kapten, Hala. “Maaf apabila menganggu, aku hanya ingin bertanya lagi. Tujuan kalian ingin kemana sebenarnya? Dengan peta dan juga ... apa itu? Sebuah poster sayembara?”

Hala menyadari keberadaan Pierce pun menjawab, “Kami ingin mencari petinggi itu,” katanya dengan yakin tetapi hal itu malah membuat Pierce terkejut. 

“Kau bercanda?” kini Pierce menatap Hala penuh tatapan menyelidik.

“Tak, aku serius,” jawab Hala meyakinkan. 

Seketika wajah Pierce berubah masam, ia mendecih tak suka. “Maafkan aku kapten yang terhormat, lebih baik kalian pulang saja. Petinggi culas itu tak pantas untuk kalian cari! Biarkan dia menghilang dan tak payah ditemukan.” Pierce menjelaskan menggunakan penekanan.

“Kau ini tak tahu apa-apa, jadi sebaiknya kau diam saja.” Jagau menyela ucapan Pierce, telinga serigala itu sangat tajam ternyata. Anum mengerti arah pembicaraan Pierce dan Jagau, maka membela Hala. “Lagipula kalau kita bisa mencari petinggi itu, mereka bisa mengembalikan kedamaian di dunia ini.”

Perkataan yang dilontarkan Anum sontak buat Pierce tertawa terpingkal-pingkal. Ia baru saja tak salah dengar tadi? Lelucon apa sedang mereka bicarakan sekarang?

“Apa? Pfft, dia? Mengembalikan kedamaian dunia? HAHAHAHA. Lelucon bagus, nona.” Pierce berkata sambil tertawa, tentu saja tawanya itu mengundang tatapan tajam dari Gauri. “Hei, memangnya apa yang lucu?” Gauri bertanya kepada Pierce. 

Pierce menoleh ke arah Gauri. “Kalian ini salah kira. Ramalan prasasti hitam itu sudah ada sejak seribu tahun lalu dan tak pernah tergantikan. Mereka mengatakan bahwa yang berhasil mengembalikan ramalannya adalah bajak laut gadungan, bukan petinggi itu,” jelas Pierce tanpa ada satu pun kebohongan. 

“Tidak masuk akal!” Araf pun protes karena bingung. “Bagaimana bisa komplotan ini yang jadi pahlawan?” Ia kembali bertanya kepada Pierce. 

Pierce mengangkat bahunya tanda tak mengerti, “Aku juga tak percaya. Tapi itu benar adanya, bung. Kalian tak percaya? Kalau iya, coba kalian tanyakan pada si penyihir itu.” Pierce menunjukkan gadis bernama Livana, kini berdiri tanpa ekspresi. “Ia berlagak tak tahu apa-apa, padahal ia tahu segalanya.” Pierce berkata mengejek. 

Hala terkejut dengan ucapan Pierce, “Liv? Apa benar kau tahu soal ini? Mengapa tak memberitahu kami?!” Hala melirik Livana penuh sangsi, ia menuntut balasan, namun gadis itu hanya tersenyum lantas tak beri jawaban apapun. “Maaf, aku akan pergi tidur,” ucap Livana, setelahnya ia pergi masuki ruangan tempat para kru istirahat. 

“Mungkin kapten yang memang tak peka.” Dhavi menyindir Hala yang mana membuat Hala tersinggung. “Apa maksudmu itu?!” Hala melirik Dhavi dengan tajam.

Arung melihat akan terjadi pertikaian pun mendekati Hala dan menenangkan gadis itu. “Sudahlah, Nona Hala. Tak apa. Jangan diambil hati perkataan Dhavi tadi.” Arung berucap lembut untuk menenangkan sang kapten. 

Puas melihat pertengkaran, Pierce kembali menegaskan bahwa mereka tak boleh melintas di wilayah kekuasaannya ini. “Kalian tak boleh berlayar untuk mencari petinggi itu, pulanglah. Kalian bukan bajak laut resmi,” ucap Pierce mutlak. 

“Lah kok ngatur?” Araf bertanya, pastinya ia tak terima dengan penuturan Pierce tadi. 

“Tentu saja, aku yang punya laut! Kalian harus menuruti perintahku,” ucap Pierce, ia tak ingin perintahnya diganggu gugat. 

Siapa sangka ternyata ucapannya berhasil membuat Jagau emosi, ingin sekali pemuda itu memukul Pierce. Di sisi lain, Anggun pun sudah siap menyerang Pierce. Terbukti muncul adanya tombak es di tangan kanan, gadis itu siap bertarung. 

Pierce menatap remeh Jagau beserta Anggun, dalam hati ia bersorak kegirangan karena bisa membuat mereka terpancing. Pierce pun hendak melawan mereka guna kekuatan petirnya, namun semua itu digagalkan oleh Dhavi. Makhluk berkulit pucat tersebut merasakan hawa mencekam dari ketiga makhluk di depan. Angin mulai kembali berhembus kencang dan awan mulai menggelap. Maka tanpa aba-aba, ia menarik Pierce dari hadapan Jagau serta Anggun agar menghindari kejadian tidak diinginkan. Ia mulai menasehati, jika Pierce memang tulus memperingatkan mereka. 

“Bukan begitu caranya menghalangi kami, Pierce. Kami jelas paham bahwa bahaya menanti kami di depan sana. Tapi daripada kau melarang kami, lebih baik kita saling membantu maka tidak akan ada kekuatan lagi yang menggebu.” Dhavi menjelaskan agar Pierce mengerti. 

Tapi Pierce tetaplah Pierce, anak itu kini tertawa lepas setelah mendengar nasihat panjang dari Dhavi. Setelah dirasa cukup, semua memilih agar bubar dan kembali ke urusannya masing-masing.

Begitupun Pierce, ia merasa urusannya sudah selesai di sini. Jadi anak itu berjalan mendekati sisi kapal berniat untuk pulang lebih dulu, ia sudah siap melompat namun tiba-tiba suara Haki memanggilnya buat ia berhenti. “Hei, Pierce. Bagaimana jika kau ikut berlayar bersama kami?” Haki berjalan mendekati Pierce yang hendak pergi. 

“Haki, tapi dia tidak diajak oleh kapten.” Gadis itu, Suha. Ia menyenggol lengan Haki sebelum sampai agar Haki sadar posisi. Ia hanya seorang wakil kapten, tak harusnya merekrut orang dengan seenak jidat. 

“Tidak, terima kasih. Aku tidak tertarik.” Pierce menggeleng, ia enggan untuk berlayar bersama komplotan bajak laut gadungan yang minim pengalaman ini. 

“Ikut saja dengan kami, jikalau kau butuh teman. Pun, kau berguna bagi kami agar menuntun jalan menuju Telaga Api,” ucap Hala, memberi penawaran menggiurkan.  

Belum sempat ia melompat, perkataan Hala membuat anak itu menyeringai lebar. Ia pun berbalik dan menatap Hala tepat di netra. “Rupanya kau masih ingat janji, ya.” Pierce bersiul dengan tangan menyilang di dada.

“Tentu saja, aku tak pernah mengingkari janji.” Hala tersenyum bangga, wajahnya terlihat dua kali lipat lebih menyeramkan. 

Araf merotasikan bola matanya malas, “Apa iya?” Ia pergi meninggalkan Anum dan Gauri yang tengah berbisik. “Bukankah kapten sudah melanggar janjinya dengan Anorah untuk tidak memberikan kerang itu pada siapapun?” tanya Anum pada Gauri. 

Gauri menganggukkan kepalanya. “Semoga bahaya yang datang tidak sebesar itu.”

Selanjutnya adalah pertarungan antar dua kaum juga dua dunia hingga berhasil akan melibatkan kuasa Dewa-Dewi. Pengelana ke dalam air segera tiba, misteri terungkap tengah menanti depan mata mereka.





BERSAMBUNG ...

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...