Sabtu, 17 Juni 2023

VOL—V, {3}: HARTA KARUN YANG HILANG.

PERTUNJUKKAN DARI SANG pencuri tahta bersama perebut mahkota. Tentang dua bunga yang berhasil tumbuh serta bermekaran di halaman belakang istana pecah menjelma kepingan bunga layu.

Salah satu bunga paling gelap semakin diterjang kegelapan, melewati hirap untuk ditelan tanah negeri seiring perang bermuara. Sedang bunga yang paling terang akibat diberi banyak air penuh puja-puji kasih. Makin diterjang kebahagiaan berlimpah, hingga berhasil terbang mencapai langit bertemu dengan lebah serta kupu-kupu kelas atas surga sana.

Seseorang pernah berkata bahwa bunga si pemilik sinar redup tersebut sedikit cacat karena memiliki lagak bak manusia tamak. Hati nurani, rasa kasihan, serta perasaan buruk manusia sekalipun. Itu membuat bunganya semakin istimewa lalu mekar dengan indahnya guna mempercantik diri bagi siapapun mata akan memandang. Maka ia berusaha keras, dalam persaingan kekuasaan. Bunga tersebut bergumam inginkan keadilan. Sang pemilik sinar terang pun bergerak, berusaha keras menjatuhkan pion-pion catur pengganggu saingan di sebelahnya supaya para monyet bawahan raja beri atensi lebih pada bunga redup itu. Lalu, pangeran, apakah berhasil?




ALUNAN MELODI BERPUTAR dalam kedua rungu. Semakin larut, kian meluap berjibun misteri yang hendak terungkap keesokan paginya. Tetapi kini, mereka merayakan kehadiran bulan dengan penuh sukacita. Seolah-olah perjamuan itu tak'kan ada lagi di waktu lain. Warga hanya dapat berpuas-puaskan diri dengan berpesta sedang si raja kelesah-karut mencari pasangan dansa. Tanpa sadar sedikit menyesal pada perlakuan tak sopan diri sendiri kala mana Nabeel mungkin merasa terganggu. Ia berniat meminta maaf sehabis pesta berakhir.

Dalam netra Haki, ia menangkap salah satu pasangan tengah beradu mulut kecil. Ketika mereka hendak berdansa, menurutnya itu bukanlah etiket baik dalam mengajak sesosok nona cantik secara hormat dan lembut untuk berdansa hingga sudi menerima jikalau badan dapat remuk sesudah menari bersama. Maka Haki beri inisiatif, mendatangi kedua pasangan tersebut dengan kurva manis terukir di bibir. Lebih spesifik lagi, menyeringai tipis.

“Ekhem,” dehaman Haki berhasil interupsi kedua sejoli tengah berdansa itu. Mereka menoleh ke arah yang mulia raja sembari tersenyum canggung. Dalam hati sudah bertanya-tanya semenjak kapan si raja baru ini mengamati mereka. 

Haki yang sudah merasa tidak tahan pun memandang ke segala arah. Hingga balik menatap Aruna Mala—gadis di hadapan. “Aku pikir kau memiliki janji untuk simpan dansa pertamamu denganku, Aruna Mala Kasturi.” Gadis itu, Aruna, merasa bahwa dirinya dapat sukses diselamatkan. Jikalau Aruna berhasil akan kode akting Haki di mana nampak sangat dipaksakan. Maka Aruna selamat dari satu hal jahat yaitu penipuan jati diri. “Maafkan aku, yang mulia Sabilal Mehaki. Pria ini berhutang budi padaku tadi,” ucap Aruna tanpa berniat merendahkan si pihak lelaki. 

Haki melirik sekilas pada lelaki di hadapan nona. “Oh, sorry, Rajo. Did I steal your line?” Pemuda Halinggar tersenyum meski dalam hati telentung. Berakhir pada Rajo meninggalkan Aruna ke aula besar, mulai pergi membiarkan mereka berdua memijaki lantai dansa di berisik kemelut. Lalu benci dilanda canggung berlama-lama, Haki pun sungguhan berdansa dengan Aruna Mala.

Gadis pelaut tersebut nampak tak nyaman, belum lagi kedatangan dia ke sini hanya untuk sayembara justru terlibat pula pada anggota kerajaan terutama sang raja. Aruna merasa ia terima kesialan tiada dua. “What do you want?” tanya Aruna skeptis, tatapi Haki di depan bersama gondok menyelimuti kepala. Aruna pula berasumsi jika Haki tak pernah puas serta menganggap urusan mereka selesai sejak pertemuan perdana. Benar, ini bukan perjumpaan pertama dua di antaranya. “Go ahead, insult me.”

Aruna memutar bola malas sedang Haki tersenyum miring. “I don’t take commands from my people.” Keduanya berputar, bak menguasai lantai dansa, kerumunan bahkan memberikan jalan bagi mereka berdua.

Cahaya di sudut-sudut aula berubah jadi lebih cerah. Aruna tersenyum sumringah. “So you’re going to say something nice? I don’t thinks so. A king would never lie.”

Haki mendecih tanpa suara. “Tell me, where are you going to lead next?” Aruna mengernyit. “I don't want to tell you about that, for what?” Haki mengerang kecil. Tapi genggaman jemari si tuan makin mengerat pada pinggang Aruna. Haki padahal benar membetulkan informasi itu, Setidaknya jika ia tahu tujuan Loka Dè Janitra apakah tetap menemui petinggi culas atau ke tempat yang mungkin Haki sudah tahu—tujuan dari destinasi Aruna Mala sekaligus kru kapal lain—Bara Fajar. “You really hate me don‘t you?” Aruna semakin mendengus enggah. Ia menjawab dengan netra menatap jengah. “Almost as much as you hate me.”

Haki melirik pada kerumunan di sekitar. Ia bisa peka jikalau semua kawanan warga menatap ke arah Aruna sekaligus Haki. Dan sebentar lagi muncul pembicaraan paling ditunggu-tunggu siapakah gadis yang ia ajak berdansa bahkan pertama di acara penobatan sang penguasa istana. Haki tak ingin menjawab perkataan Aruna kembali, sedang mereka sama-sama sadar bahwa suasana semakin canggung pasalnya buai melodi dari musik pengiring dansa justru menguasai keheningan anantara Haki nan Aruna. Tak nyaman dalam diam bersarang merasuki relung tuan sampai nona.

Ketika musik selesai diputar, perhentian yang dinantikan itu tiba. Haki melepas pinggang Aruna tepat pada dentingan piano berhasil diagihkan. Dengan hormat kecil sebagai tanda mengasihi. Haki beri pada Aruna sambil tersenyum tipis di bibir. “Until we spar again.” Sang raja pun pergi.

Dan dalam sudut pandang mata paling sulit ditemukan, ada Hala bersama Arung di tengah kerumunan orang-orang bercengkrama nampak tengah sibuk mendiskusikan misi terakhir mereka. Tetapi kau bisa dilanda gerun melihat betapa kesal Arung dengan gaun yang dipakai Hala.

“Nona, cepat pakai jasku. Nanti kau bisa sakit karena kedinginan!” Arung berkata demikian bukanlah tanpa alasan. Ia sungguh terkejut Hala datang menemui setelah pemencaran mereka di pasar dengan gaun tanpa lengan, terlebih di bagian bahu sekaligus dada lebih terbuka. Arung sebagai lelaki tak ingin sang nona dipandang oleh mata jelalatan. Jadi ia berikan jas khas kostum pangeran—ditambah itu berwarna biru, jika ia memakai terus akan diusir oleh pengawal raja.

Karena malas berdebat, Hala menurut ‘tuk memakai jas biru navy milik Arung. Netra Hala sedari tadi mencari keberadaan awak kapalnya. Setelah pergi sebentar dari kamar mandi dengan Arung—lelaki itu sebatas menemani saja. Para anggota Loka Dè Janitra sudah hilang entah kemana. Hala pun bingung harus mencari di sekitaran sisi ruang atau segala tempat di kastil. Lagipula Hala tak memiliki waktu luang banyak demi menemukan para kru-kru kapal.

Hala memandang kedua kaki dengan sedikit gemetaran jari-jemarinya. “Aku cemas,” ujar Hala mulai mengutarakan isi hati. “Aku khawatir kalau keputusan kita pergi ke sini adalah tidak benar, bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi?” Firasat Hala sedari tadi tak tenang. Mereka belum 24 jam singgah pada Aestemore tetapi bahaya sudah nampak di depan mata siang tadi.

Arung menepuk dada. “Jangan terlalu khawatir nona, percayalah semua akan berjalan dengan baik.” Ia pun menatap ke sekeliling secara tenang. “Lagipula kita hanya ingin mengambil peta bukan membuat kerusuhan di tempat ini. Aku yakin jika Haki tidak akan lupa janjinya cuma karena perayaan ini, jadi kurangi sedikit kecemasanmu nona.” Hala cukup berharap bahwa perkataan Arung ada benarnya. Khawatirkan keadaan masa depan dengan asumsi bodong justru bisa membuat Hala semakin hilang akal. Ia perlu bertahan disertai kewarasan akal nan hati.

“Aku harap dia benar benar menepati janjinya dengan memberikan peta itu sehabis dansa.” Hala sudah tak sabar menunggu dan ia ingin segera pergi dari pulau tersebut. “Kita harus cepat pergi dari sini, pulau ini tidak aman.” Arung tunjuki anggukan mantap. 

Sedang dari jauh, kau akan dapat melihat, bagaimana si manusia tersesat—Araf Marat, kemarin baru ditemu justru penuh tekad dalam dekati Tuan Putri di kawasan manis-manisan dihidangkan. Bagaimana si pemuda tahu mengenai hal tersebut sangatlah tidak penting namun etika mengganggu makan dalam kerajaan sangat tak dibenarkan. Araf bisa saja diusir oleh Anggun Keninggar bila tak bersikap sopan.

Langkahnya begitu hati-hati. Ia berdiri di samping tempat duduk Anggun persis. Jika Araf ikut terkejut, ia bisa saja mati konyol. Ketika Araf hendak menyapa sang putri, ia samar-samar pembicaraan tamu yang duduk pada kursi belakangnya. “Aku lihat bajak laut menampaki diri mereka terang-terangan hari ini.” Araf menelan salivanya kasar. Ia tak berani menoleh sedikit pun. Bisa bahaya jika kru kapal Loka ketahuan oleh para militer laut. “Ada juga yang sudah tertangkap saat di luar pulau. Mereka kena tangkap karena diduga menjadi dalang dari pelemparan meriam pada Hutan Crophaya.” Tanpa sadar Araf menghembus napas lega, sebab mereka sempat berhasil kabur lebih dulu sebelum diketahui pengawas.

Kepada salah satu putri di sana, Araf berani membuka tanya. Seolah mencari informasi sangatlah mudah. “Aku penasaran, putri. Kau itu kan bangsawan, menurutmu jika pangeran dibuang dari kerajaan, masalah seperti apa yang sedang mereka hadapi?”

Anggun merasa bahwa seseorang tengah mengajaknya berbicara. Ia menoleh ke samping, penuh bingung serta raut keterkejutan jelas. “Apa kau membicarakan Raja Haki?”

Araf takut jika mengatakan kebenaran, ia bisa masuk penjara. “Jangan keras-keras! Kalau mereka dengar, bisa habis aku.” Araf was-was memandang penjaga pintu aula.

Anggun menatap Araf aneh. “Kau berani memerintahku? Dasar tidak punya sopan-santun! Aku datang ke perjamuan ini untuk menikmati pesta, bukannya membicarakan orang.” Ia berdiri, lalu hendak pergi. Araf tentu tak tinggal diam. Sebut saja tugas tersebut adalah bantu Suha mengulik warta penting di sekitaran kita. “Kau benar-benar, tidak bisa hanya jawab saja pertanyaanku? Aku hanya bertanya, jadi jawab saja. Apa konflik para bangsawan serumit itu?”

Anggun menampakkan raut rupa bingung kembali. “Sebenarnya konflik bangsawan memang sangatlah rumit. Aku hanya bisa berharap bahwa Aestemore baik-baik saja. Jangan seperti kerajaanku.” Araf tak tahu menahu maka bertanyalah. “Memang, darimana kau datang? Maksudku, darimana asal kerajaanmu?”

Anggun gelagapan. “Oh, maaf.” Ia tatapi Araf sedih. “Betapa kasarnya aku. Kenalkan diriku adalah Anggun Keninggar dari Kerajaan Silvrout. Semua menyebutku, putri musim dingin.” Araf mengangguk-angguk. “Pantas saja cantik seputih salju.”

Anggun bingung. “Maaf? Apa maksudmu?”

Araf tahu bahwa kalimatnya bisa ciptakan masalah lain pun menggaruk tengkuk malu. “Kulitmu, sepucat es. Jika di bumi, kau mungkin seperti Putri Snow White, atau Elsa? Kurasa makhluk seperti kalian tidak akan mengerti juga.” Anggun bingung lagi. “Bumi, ya? Kerajaan mana itu?”

Araf melotot lagi. “Tidak, tidak. Itu hanya tempatku tinggal. Aku bukan pangeran.” Anggun pun hanya mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu siapa yang kau maksud, dan apakah itu pujian atau ... maka kuambil secara terhormat.” Perbincangan mereka pun berakhir setelah Araf mengajaknya berdansa, ia sedikit bangga karena berani mengajak tuan putri berkenalan. Araf diam-diam bergerak mencari teman.

Dalam mata yang menyipit, kamu akan temukan Suhailah Laksmi tengah sibuk membuntuti si pencuri gelap—Lesmana Danar. Yang mana penasaran apa alasan dari kedatangan si pemuda ke Aestemore, maka ia ikuti demi mendapatkan informasi baru. Lagipula, Suha tak asing dengan siluet tubuh dia. Pasti salah satu pelanggannya.

Danar menyadari bahwa Suha tengah mengekori, jadi ia langsung berbalik dan berhasil mengageti Suha. “Aku tak percaya akan menemukanmu di sini.”

Suha mengernyit, pura-pura hilang ingatan adalah ide bagus. “Memangnya kita saling kenal?” Danar sendiri terkekeh. “Kau tidak mungkin lupa padaku yang selalu datang tiap malam ke Garda Rum.” Saat itulah mata Suha menyala di ruangan. “Oh! Si pencuri gelap? Apa yang kau cari di Aestemore?”

Danar menyeringai, lalu mendekatkan rupa pada Suha secara sengaja. “Want to tell me first, what is your purpose in coming to this kingdom too, milady?” Suha melirik ke sekeliling aula. “Aku membutuhkan peta untuk mencari di mana goa yang harus didatangi oleh kru kapal. Tanpa itu aku akan buta arah jalan dalam pelayaran.”

Danar nampak berpikir. Ia akhirnya paham tujuan bajak laut gadung ini sebetulnya. “Sepertinya aku paham apa tujuanmu. Kau butuh peta untuk menuntun jalanmu pergi ke arah Samudera Kaegean?”

Netra Suha menyipit, ia mengambil hasta Danar lalu memutarnya hingga berbunyi keretakan. “Berhenti berlagak seperti kau adalah penguasa lautan ini yang tahu segala hal.” Meski meringis kesakitan, rupa Danar yang songong terlihat lebih menyebalkan. “Aku tidak berlagak, tetapi aku memang tahu.” Sedang Suha memutar bola mata malas. “Aku tak percaya dengan seorang bandit.” Danar mencibir. “Yah. Kau memiliki satu di kapalmu.” Sedangkan Suha mendengus kesal. Perbincangan mereka berlanjut pada dansa paling memabukkan.




HALA BARU SAJA keluar merasakan udara segar setelah lantai dansa ia tinggalkan untuk sebentar. Ia di luar sendirian masih dengan jas Arung yang ia dekap erat-erat. Ia bisa tahu jika musik di dalam sudah mulai meredup, pertanda bahwa dansa kedua hendak dilakukan. Kemudian dari jauh, Hala bisa rasakan seseorang datang mendekat. Anak rambutnya disapu angin, percikan api dalam netra Hala mulai menyala. “Siapa di sana?” Dan laki-laki keluar dari bayangan.

Para rakyat bilang perampok tidak akan berani berada di wilayah Aestemore selagi penjagaan ketat di mana-mana. Satu hal terlintas pada kepala Hala adalah orang ini bukanlah asli Aestemore, dia bukan pula orang biasa. Maka Hala bertanya si lelaki yang sudah mencuri pisau milik dia siang tadi. “Kau ini bajak laut itu 'kan?”

Kemudian bajak laut yang entah darimana asalnya itu menyeringai. Hala berharap orang ini tidak melibatkan dalam bahaya. Tetapi dua penjaga tiba-tiba datang pada Hala, menangkap si nona tanpa tahu apa perbuatan salah gadis tersebut.

“Nona Hala Janitra? Anda ditangkap atas kasus pencurian senjata tajam.” Dan pada saat itulah Hala memberikan tatapan tajam bagi lelaki di depannya. Danar. Ia telah dijebak. Seseorang menunggu pada kegelapan dalam lampu temaram, penjara berlatarkan tanah. Tempat pengeksekusian.




UNTUK SATU INI, kau tak perlu susah-susah menyipitkan mata ataupun menggunakan kacamata. Dengan mata telanjang, kau bahkan bisa menemui di sudut dinding-dinding aula dansa, ada pangeran laut yang datang jauh-jauh—sudah diundang oleh raja namun sibuk sendiri dengan urusan. Bukannya mencari pasangan dansa. Tetapi gadis berambut hitam legam dengan netra seindah mutiara hitam, pernah bertemu dengan dia sekali, datang menghampiri presensi si lelaki. “Aku kesini hanya untuk menemui Inir lintang.” Lelaki itu berbicara tentang tujuannya pada si gadis. “Apa kau mengenalnya?” tanya lelaki itu lagi.

“Inir?” gadis di hadapannya mencoba menebak, “Maksudmu ... anak pelaut yang tinggal di dermaga itu bukan!?” terangnya.

“Benar. Sang gadis laut,” ucap lelaki itu. “Aku yakin dia tahu letak di mana kerang ajaib itu berada,” lanjutnya dengan raut muka yang tak bisa dijelaskan. “Aku butuh alat itu untuk memanggil ayahku.” Gadis itu melayangkan tatapan kepenjuru ruang, “Untuk apa?” tanyanya penasaran. Lelaki dengan tinggi semampai itu membuang napas sejenak, “Apa butuh sebuah alasan untuk bertemu dengan ayahnya sendiri?” keningnya mengerut. “Jika kau lupa, dia ayahku,” peringatnya. “Aku tahu ... maaf.” Gadis yang tingginya hanya sebahu lelaki menunduk sungkan, “Aku hanya bertanya.”

“Tidak perlu meminta maaf,” ujar lelaki itu santai. “Tapi, harta karunnya berharga!” kata gadis itu, “Kau tak ingin mengecek barang sebentar saja?” Si tuan nampak menimbang-nimbang. “Mungkin ... kerang ajaib itu ada di sana!” Gadis itu mencoba memberitahu sebuah kemungkinan, “Tapi kerang itu jauh lebih berharga,” lanjutnya.

“Baiklah. Jika kau memaksa, aku pikirkan nanti." Lelaki itu mengangguk setuju, “Aku sangat membutuhkan itu sesegera mungkin sebelum orang lain yang mendapatkannya atau lebih buruk lagi berpindah tempat,” pikirnya jika ditemukan lebih cepat maka lebih baik. “Aku setuju. Baiklah ... kau boleh pergi.” Gadis itu menepuk pundak lelaki di depannya dengan senyum simpul.

Pada kacamata misterius setajam detektif bisa kau temukan di deretan barisan para dua orang tengah disibuki penyelidikan. Entah apa misi mereka, hanya Dewa sendiri mengetahui hal tersebut. “Diam-diam aku mengasihani perpisahan tak mengenakkan antara kakak dan adik itu. Untung saja mereka dapat kembali bersatu.”

Si gadis membalas. “Betapa mengejutkan bahwa dirinya kembali bahkan setelah tiga hari menghilang. Mengapa tak ada yang menjemputnya?” Lelaki di samping pun tertawa pelan. “Pasti dibuang dengan sengaja.” Sedikit meringis, balasan kembali terlontar. “Apa kita perlu membantu mereka?” Pemilik mata merah hanya mendengus geli. “Tunggu sajalah waktunya. Definisi membantu manusia tidak sesederhana itu meskipun kita bukan bagian dari mereka. Kita tak perlu menyusuri samudera lalu membantu sesama. Jadi diam sajalah.” Wanita di samping tersenyum maklum. “Lagipula, mereka tidak ada hubungannya dengan kita, tak perlu berupaya mengerahkan semua tenaga, kan?” Lelaki di sebelah mengangguk membenarkan perkataannya.

Nabeel mendengarkan pembicaraan dari tuan nan puan barusan. Batin menahan keki luar biasa meski tak dapat mengelak jika sungguh memrioritaskan dongkol yang meradang. Tapi Nabeel masih bisa simpan dengki nanti, ia harus segera mencari gadis untuk diajak menari, kemudian netranya mendapati Mahika Gauri berdiri sendiri, maka ia menghampiri hendak menemani. Senyum manis terpatri. “Mahika Gauri, ya?”

Yang dipanggil terlonjak kaget. Ia berbalik dan membalas sapaan Nabeel dengan mata memandang bingung. Saat Gauri sadar bahwa lelaki di hadapan adalah seorang pangeran, ia mulai menundukkan badan tetapi Nabeel menghentikan pergerakan. “Tolong, kau tidak perlu melakukannya,” kata si tuan. Kemudian ia sendiri berikan penghormatan kecil. “Pangeran Nabeel.”

Gauri mengangguk spontan. “Aku tahu.” Kemudian menyengir lebar. Tetapi sedetik selanjutnya wajah Gauri berubah kaget. “Kau tahu namaku?” Nabeel mengangguk langsung. “Tentu. Aku mengenali semua teman-teman Haki.” Diam-diam hati Gauri meringis, karena ia sendiri tak merasa jika Haki adalah temannya. Begitupun kru kapal lain sebab bangsawan itu berhati busuk. 

Netra Nabeel mengelilingi seluruh pusat aula. “Kemana perginya yang lain?” Gauri pun menjentikkan jari sambil mata kanan berkedip sekilas. “Aku juga sedang mencari mereka. Mungkin aula istana ini terlalu besar sampai sulit sekali ditemukan.” Atas perkataan Gauri, sontak Nabeel tertawa ringan. Ia sendiri bahkan menyetujui. Dulu ketika Haki kecil mengeluhkan hal yang sama. Tiba-tiba Nabeel jadi nostalgia.

Gauri lantas bercerita mengenai anggota Loka Dè Janitra yang berhasil membuat elf kesepian ini menjadi lebih aktif dan makin merasa hidup. Sedikit tersentuh tentu saja perasaannya begitu. Lalu Gauri pula mulai memberitahu tujuan bajak laut ini, sebuah informasi penting di mana bersifat rahasia maka Gauri tak patut menyebarkan pada pangeran. Nabeel kemudian menatap Gauri dengan sangat dalam. “Gauri. Menurutmu mengganti pemerintahan adalah hal yang salah?” Gauri sendiri terkejut atas tanya tanpa rencana. Ia mengernyit. “Sistem, pemerintahan?” Nabeel mengangguk. 

Gauri tiba-tiba mengingat soal dongeng dari petinggi Marjinal yang dulu tamak. Di mana jelas sekali hal tersebut bukanlah dongeng semata. Maka ia membalas tatapan Nabeel dengan keseriusan. “Aku percaya, itu bukanlah hal yang salah. Tapi kebijakan apapun lebih baik tidak diubah.”

Nabeel tersenyum atas jawaban Gauri yang memuaskan dan mengesankan pandangan Nabeel. Kemudian si tuan ajak berdansa. “Baiklah. Aku apresiasi jawabanmu. Para teman-temanmu belum kembali. Apakah kau ingin berdansa denganku, Gauri?”

Gauri tak menyangka hal tersebut akan terjadi pun tetap menyetujui. Bila ada kesempatan mengapa pula tak digunakan, pikirnya. Gauri menyambut uluran tangan sang pangeran. Dengan lembut, si pemuda mencium punggung tangan Gauri. Mereka pun berdansa selaras bersama alunan melodi yang masih tersuara. Perlahan-lahan kaki keduanya berjalan mengarah ke lantai dansa, mereka berputar indah ikut menguasai aula, seolah melupa atas segala misteri belum terpecah pada pulau ini.

Sedang di sudut aula lain ada Jagau dan Livana tengah mendiskusikan ramalannya. “Jagau, aku siang tadi berhasil membeli kartu untuk menebak masa depan. Dan kau tahu? Kartu itu menunjukkan bahwa ada seseorang yang berkhianat.”

Jagau pun menggaruk tengkuk ragu. Ia sedikit bingung bagaimana bisa Livana paham akan hal-hal tersebut. “Lalu, ada apa dengan pengkhianatannya?”

Livana memberikan tatapan tajam. “Kau ini! Jika salah satu kawan kita berkhianat, kita tak dapat keluar hidup-hidup dari pulau ini, Jagau.” Sedang Jagau meringis. Ia pelan sekali menggumamkan kata maaf. Lalu Livana melanjutkan ucapan. “Firasatku mengatakan bahwa Hala dan Inir yang mengkhianati kita.” Jagau kemudian terpikir, ia seperti pernah mendengar nama itu. Tapi tak ingat kapan dan di mana. 

Jadi ia menanyakan hal tak masuk akal. “Apakah Inir itu sejenis beruang?”

Livana yang malas meladeni ketidaktahuan Jagau hanya mengangguk. “Benar.”

“Aku benar?!” nada bicaranya terdengar antusias, Livana jadi kasihan.

“Tentu saja tidak! Inir itu bajak laut yang tengah menyamar. Temannya Hala.” Lalu Jagau mengangguk-angguk paham. Livana menatap pintu aula dengan sedih. “Semoga hal buruk tidak terjadi.”




HALA DIBAWA KE penjara bawah tanah. Ia hampir menangis tapi Hala harus bersikap tenang. Sedikit menyesal jika alasan keluar untuk mencari Gauri adalah kesalahan besar. Arung benar, ia seharusnya didampingi bukan pergi sendirian.

Suasana bawah penjara sangatlah senyap. Hala tidak bisa fokus menyelam ke arah rencananya. Kepala semakin pusing oleh kebisingan dari seorang nona dalam sel yang sama. “Kau bajak laut, ya?” Entah bagaimana Hala berakhir menanyakan sesuatu padahal tak memiliki nafsu untuk berbicara sebab frustasi menggilai kapita.

“Benar. Aku adalah bajak laut keren, dan aku bisa buktikan jika aku akan keluar dari sel ini sebelum kepalaku digantung!” Mimik ramah itu terlihat menyenangkan bagi Hala.

Hala kebetulan mengingat bahwa salah satu kru kapalnya sempat menyebutkan satu nama. “Siapa namamu?”

“Aku Inir Lintang.” Ia tersenyum manis hingga kedua netranya membentuk bola sabit. “Dan sepertinya aku datang terlalu dini dari bajak laut lain.”

Hala mengernyitkan alis. “Kau cari mati?”

Inir menyeringai. “Kau tak tahu, Hala? Esok pagi, Nabeel akan mengeluarkan harta karun kuno yang sudah lama ia simpan. Para bajak laut sangat mengincarnya. Kesempatan ini datang setiap kali Aestemore menobatkan raja baru.”

Terkejut menimpa si peri berambut cokelat. Hala tak tahu-menahu sama sekali soal hal ini. Kemudian ia menatap Inir serius. “Apa yang akan kau lakukan dengan harta karun itu?” Tentu saja Inir tak akan menjawab pertanyaan tersebut. Namun, ia berikan sebuah clue. “Percayalah, di luar sana masih ada teman lelakiku sedang meminta bantuan seseorang untuk bebaskan kita di sini. Aku akan membantumu jika kau juga melakukan hal yang sama Hala.” Hala memikirkan ucapan Inir. Kemudian si pemudi menanyakan sesuatu. “Apa yang kau butuhkan Hala?”

Tersenyum tipis ia berikan. “Peta untuk mencari petinggi culas yang hilang.”

Inir memasang ekspresi terkejut. “Kau ... ikut sayembara Marjinal itu?” Dan Hala mengangguk. Inir menggeleng tak percaya. Lalu menjulurkan telapak tangan kanan. “Jadi bagaimana? Kita bisa saling berikan bantuan sekaligus bertukar informasi baru.”

Hala tertarik oleh penawaran tersebut. Ya, bantuan itu bisa berupa apa saja dan relasi mereka dapat bertahan kapanpun. Maka, Hala pun menjabat tangan Inir. Gelang di tangan kanannya mengilap seiring dengan pergerakan lampu goyang pada penjara.




PAGI INI RAKYAT Aestemore berbondong-bondong datang ke pelabuhan. Antusias akan kesempatan melihat harta karun kuno secara langsung tidak mereka sia-siakan. Penasaran menguasai relung, apa yang ada di dalam peti tersebut? Sampai seantero bajak laut sudi mampir untuk merebut. Tapi mereka tidak takut, meski ramai datangnya angkatan laut, dan kabar laksamana kemarin meminta tambahan pasukan itulah kenapa mereka merasa aman.

Rakyat Aestemore masih memasang tampang gembira. Tanpa ada orang menyadari bahwa salah satu dari mereka lelah dengan senyuman palsu yang dibuat-buat selama ini. Jika lebih teliti, ada orang-orang baru sudah menjelma jadi rakyat Aestemore. Ada juga bebaris di antara pasukan militer, bahkan menyamar dalam bentuk bangsawan kelas atas. Lalu terdapat seseorang sembunyi di tugu lonceng, ketika Nabeel membuka kotak peti—dia akan memukul lonceng sebanyak tiga kali. Saat itulah aksi mereka dimulai.

Livana, Jagau dan Araf sudah bersiap-siap di depan sebuah toko roti, menunggu tanda-tanda keberadaan Danar lewat dengan Suha. Mereka tengah menunggu pertukaran pakaian sebagai penyamaran mereka. Sebab jika tidak, mereka bisa saja tertangkap oleh pengawal para raja.

Kemudian setelah selesai mereka pun membagi tugas. Livana sekaligus Araf dipercaya untuk mencari kapten mereka. Yang mana sudah pasti dipenjara gara-gara Danar sendiri terlalu menumbalkan kapten mereka sebagai umpan berjalannya rencana dengan lancar. Lalu Suha dan Danar akan mengawasi gerak-gerik Nabeel di podium tempat duel dilaksanakan. Jagau sendiri ikut pada pihak Suha, menjaga-jaga saat lonceng dibunyikan—Jagau menyerang.




SEBILAH PEDANG DICENGKRAM olehnya, tak mau longgar barang sedikit pun. Mata Haki mengilap di antara bayangan gelap ruangan. Rahang nampak terjulur gagah, semakin tajam bila dipandang. Sang raja sesungguhnya dari Aestemore. Ia bukan buta dalam rencana para perompak tersebut, hanya memilih tak ikut andil. Juastru memilih untuk beritahukan rencana mereka pada Nabeel hari ini agar dapat mereka membusuk dalam penjara.

Semalam ia bukan sekadar terlelap. Ia justru mendengar setiap kalimat yang dikatakan mereka selama di penjara bawah tanah. Jangan berpikir jika Haki tak peduli. Masalahnya tindakan itu menyangkut nasib rakyat Aestemore sekaligus keluarga Haki. Sebagai keturunan asli keluarga pemimpin, Haki tak akan membiarkan petaka terjadi.

Ia pikir Loka Dè Janitra itu berbeda, mereka hanya inginkan peta yang Aestemore punya daripada ikut mengincar harta karun. Dan rupanya semua bajak laut pada inti dasar pun membagikan pemikiran sama. Paling dibenci Haki adalah Hala sudi turut serta dalam keberhasilan rencana tersebut, kapten bodoh akan melakukan apa saja demi mendapatkan informasi tak bermutu.

Seperti dugaan, tidak ada penjaga pada lorong gelap istana menuju kamar sang ayah. Hanya di lantai bawah saja mereka bertugas. Padahal termasuk ke dalam hal berbahaya, pengawal bisa kurang waspada. Ia mencemaskan keadaan ayahanda walau terakhir kali bertemu ia terlihat sehat. Dan saat Haki memeriksa kamar, ruangan bernuansa putih kecokelatan tidak ada tanda-tanda beliau bersinggah di dalam.

Tetapi, aneh. Ia justru menemukan dayang sang ayahanda menaburkan bunga-bunga layu dengan bentuk melingkar di sisi-sisi kasur. Pada tradisi Aestemore, ketika suatu keluarga bangsawan meninggal maka pada kamarnya akan terdapat bunga duka yang sudah layu. Lalu apa maksudnya tadi? Haki baru saja hendak bertanya bahkan mungkin hampir memarahi kalau tidak berdiam di depan pintu seperti menyadari sesuatu.

“Haki?”

Jantung Haki mendadak merosot saat dengar suara yang datang dari arah berlawanan. Tangan Haki bertumpu pada dinding dan berbalik segera. Di tengah tempo nadi berpacu kencang ia melihat sesosok ayah terhormat dalam bentuk sekacau-kacaunya. Rambut berantakan, lingkaran mata menghitam, bibir pucat. Nir Sabilal Sembada berjalan tertatih-tatih hampiri si bungsu. Beliau berlari meraih leher Haki saat putranya menunduk untuk memeluk. “Haki, sayang, kau tak keluar?”

Haki menggeleng pelan. Bulir air mata yang sejak lama dipendam pun rintik dengan deras. Tekanan masalah semakin hari kelak menghimpit dada, membuat Haki merasa berada di titik terendah. Tiga hari ditinggal sendirian pada pulau asing, kini barulah ia dapat merasakan pelukan sang ayah. Lalu Sembada menggenggam kedua pipi Haki secara gemetaran. “Maafkan ayahmu, nak. Ini semua salahku.” Air mimik pria di depan Haki terlihat ketakutan bahkan menyimpan cemas berlebihan. “Ayah, ada apa?” Netra Haki bergerak tak nyaman. Biasa ayahnya adalah seorang bangsawan paling rapi dan siap ketika ada acara penting apapun itu. Tapi sekarang dia bahkan tak menyiapkan apa-apa pada penampilan untuk saksikan pengumuman duel merebut harta karunnya.

Alih-alih menjawab pertanyaan, sang ayah tidak bereaksi apa-apa. Ia diam dengan air mata yang mengalir begitu deras, lalu suara langkah seseorang memasuki lorong tiba menginterupsi mereka. “Ayah! Di sana kau rupanya, aku khawatir.” Nabeel tergesa-gesa datang sambil memakai pakaian formal seperti seorang pangeran resmi. Ia mendekat, netra terkejut melihat ayah dalam pelukan Haki. “Ayah, lihat, Haki sudah pulang. Bukankah senang rasanya?”

Terlintas tujuan Haki datang kemari, ialah membocorkan rencana dari aliansi tak resmi dari Inir sekaligus Hala sang bajak laut. “Kak Nabeel! Ada banyak bajak laut yang menyamar di sekitar acara pembuka. Ketika lonceng berbunyi tiga kali, mereka akan merebut harta karun itu.” Kemudian terdengar batuk-batuk dari arah ayah, Haki mendadak kaku. Saat kepala menunduk, kemeja jingga terdapat bercak darah segar dari mantan raja. Emosi Haki tiba-tiba naik tanpa alasan. “Ayah? Ayah, kau tidak apa-apa, 'kan?! Ayah!” Tangan tadi mendekap Haki kini melonggar, dengan cepat si bungsu menangkap tubuh ayah. Meremat lengan lemas tersebut dengan kuat.

Raja Sabilal Mehaki menangis dengan mata terbuka. Bernapas saja ia perlu upaya, bahu bergetar tanpa dipinta. Haki mendongak tiba-tiba, tidak peduli seberapa banyak mutiara lagi akan jatuh. Kali ini kesedihan di matanya berubah menjadi kekosongan. Sedang kakak lelakinya menatap iba, air mata pun ikut mengalir.

Saat ini, ia tidak bisa berpikir hal baik dari apa yang sudah terjadi. Kepala digerogoti hal-hal mengerikan, ia menatap Nabeel sambil mendekatkan mayat dingin itu ke dekapannya. “Kak, tubuh ayah dingin.” Ia menatap penuh dengan terluka. “Kak, ayo bantu aku memapahnya. Kita harus bawa ayah cepat-cepat ke hadapan tabib.” Ia mengungkapkan perkataan dengan suara lirih. Sedang Nabeel menatap adik satu-satunya. “Kau memang cengeng Haki, tapi informasi yang kau beri cukup berguna.”

Nabeel mengusap pipi basahnya, senyum manis terpaut pada bibir. Seperti petir menyambar istana di siang hari, suasana duka berubah menjadi petaka seketika. Mata Haki kehilangan cahaya, redup bersama buih gembira yang dibawa hilang terbang oleh gelombang angin. Kejadian begitu tiba-tiba, bangsawan malang tidak tahu harus bereaksi apa dan untuk yang mana. “Kak Nabeel ...” di saat itu juga, ia merasa telah jatuh ke dalam lubang hitam tanpa pernah diijinkan naik keluar.




DI SUDUT PALING terpencil, belakang istana Kerajaan Aestemore. Terdapat duo paling berisik di dunia. Mereka baru saja lari dari kejaran rakyat Aestemore lagi. Lantaran kepala si bandit masih saja diburu mereka.

“Ini semua gara-gara kau, Arung!”

Arung mendelik protes. “Apa-apaan kau, nona? Kau yang memerintah seenaknya.”

“Seharusnya matamu betulan aku congkel, dasar matre! Gara-gara tidak bisa menjaga nafsu, kau berusaha mengambil perhiasan itu. Kita jadi hampir ketahuan! Ingat, kita harus segera mencari Haki.”

“Kalau mencari Haki itu di dalam istana, sudah kubilang 'kan? Tetapi kau memasuki diam-diam saja tidak bisa, nona.” Arung mendengus sebal. Sebetulnya Gauri hampir berhasil menyusup ke istana tetapi karena Arung tak bisa diam lihat benda berkilau, sehingga mengacaukan rencana mereka.

Keduanya mundur dan mencari tempat sembunyi, sial mereka justru tersesat. Tiba-tiba sudah sampai memasuki ruangan gelap, di mana mereka berharap bahwa penjaga tak akan memeriksa ke sana. Heran sekali, kenapa lokasi sepi minim penjaga untuk bertugas padahal ruangan penting.

Bau busuk menyengat tiba-tiba datang, serangga hinggap di antara tumpukan raga yang sudah kehilangan nyawa di depan mereka. Entah siapa pemiliknya, tidak tahu. Namun, jika dilihat dari pakaian mayat-mayat tersebut. Pastilah rakyat biasa.

Arung merinding melihatnya. “Apa mereka semua rakyat Aestemore? Kenapa semua bisa dibantai begini?” Arung menutupi hidung dengan kedua jari. Kalau mereka kriminal sudah pasti mati digantung, tapi kenapa ini seolah disembunyikan publik.

Gauri merasa ia tidak sengaja menginjak rambut seseorang. Rupanya itu adalah rambut milik wanita dewasa. Dugaan ia kira semakin benar saat melihat pakaian mewah terpasang pasa tubuh beliau. “Arung, lihat. Dia seorang ratu.” Gauri menunjuk takut.

Arung menarik lengan Gauri, bulu kuduk menegap saat gadis itu berkata demikian. Sementara Gauri menepis tangan kotor si tuan dari lengannya. Mayat sebanyak ton, mungkin bisa muat dalam satu aula besar. “Mereka yang ada di luar bukanlah rakyat asli. Kita sudah hadir di balik layar, Arung.”

Mendengar itu Arung semakin mendekati Gauri hingga dia kesulitan bernapas di tempat mengerikan tersebut. “Lebih baik kita cepat-cepat pergi dari sini!” Gauri justru menggeleng. Tetapi Arung berjalan mengitari ruangan, berharap akan ada sebuah pintu atau celah untuk keluar dari sini kecuali pintu utama. Karena kelalaian mereka berdua, penjaga memilih tinggal dan berjaga di depan. Kini mereka tak dapat keluar, beruntunglah dinding dari bebatuan cukup tebal sehingga penjaga luar tak mendengar celotehan keduanya.

Namun, tak lama kemudian pintu kembali dibuka. Kini terdapat satu mayat dengan seseorang mendekap mayat tersebut. Pengawal nampak tak tega tetapi ia terpaksa melakukan. Netra Gauri menangkap kejadian itu semua. Ia bahkan tak sengaja menggumamkan sesuatu yang terlintas di dalam kepalanya. “Hanya ada satu Raja Aestemore yang memonopoli negeri sendiri.” Sedangkan netra Arung menangkap sesuatu tak asing. Ternyata Haki mendekap erat-erat mayatnya.

Sorot mata Haki tidak setajam biasanya. Ia benar-benar terlihat rapuh di sana. Arung dan Gauri bersembunyi di balik tumpukan mayat, melihat interaksi mereka sampai pintu ditutup kembali. Gauri ingin sekali menghampiri, Arung malah mencegah gadis itu untuk tidak memerkeruh suasana. Pasti Gauri akan menanyakan sesuatu, tapi bisa disimpan nanti. Demi simpati.

Meski Arung adalah pengacau, ia cukup mengerti bahwa orang di sana tidak ingin ditemani saat ini. Arung paham arti tatapan lukanya. “Dia sedang berduka, Ri.” Gauri menatap Arung lebih dahulu, sebelum akhirnya kembali duduk, pandangi Haki dengan sendu. Beberapa saat berlalu pula teriakan pilu mengudara, Arung alihkan pandangan. Tak tega menatap pemandangan di hadapan.

Setelah kesedihan mereda, digantikan aura tak menyenangkan di sekeliling mereka. Arung dan Gauri menampakkan diri, netra amber milik Haki terkejut. Kemudian, ide licik terlintas dalam pikiran setelah kenal akan tumpukan mayat di ruangan ini. Yah, cukup menimbulkan luka trauma yang dulu sudah disembunyikan dalam-dalam.

“Hei, bandit dan gadis hutan. Bajak laut itu boleh membunuh, ‘kan? Kalau begitu, aku akan bergabung dengan kalian. Kita ke sana.” Meski suara terdengar masih serak, namun badannya tegak dan siap untuk jatuh kesekian kali. “Aku butuh penjelasan.”

Arung dan Gauri saling menatap dengan wajah bingung. Sebelum akhirnya mereka keluarkan seringaian yang sama.




MOMENTUM PERAYAAN SEMAKIN ramai, bajak laut itu terhambat pergerakannya karena jarak nampak rapat. Rakyat Aestemore terus melayangkan perkataan sama, hanya terdengar pujian dan tidak sabar akan sayembara dimulai demi pemenang harta karun dapat diumumkan. 

Semua telah diatur oleh pangeran mereka, yang sudah melakukan semua tanpa ragu. Melaksanakan rencana dengan sangat baik. Meski dalam tempo singkat. Benar, sudah. Pangeran berhasil menjalankan panggung sandiwara itu penuh bersama siasat.

Saat kaki Nabeel melangkah ke depan podium, rambutnya tersapu oleh udara. Setelah selesai urusannya menyapa para rakyat tengah sabar menunggu. “Terima kasih telah menunggu semua, akan lebih menarik lagi bukan acaranya jika tamu istimewa kita diberikan jamuan!” Entah diberi berkat apa sampai Nabeel berhasil melangsungkan rencana dengan begitu mulus tanpa goresan apapun. Para suruhan dengan kasar menarik para perompak naik, terbongkar dari penyamarannya. Sorak keramaian semakin bergemuruh.

Si bangsawan palsu, rakyat baru, pedagang samaran, dan penyamaran lainnya. Apalagi seseorang bersembunyi di balik lonceng pun tertangkap. Mereka terkejut oleh aksi penanggulangan dari orang Aestemore yang bertugas, mengernyit sebab rencana mereka dengan teledor sudah bocor. Salah satu berada di atap menahan lainnya agar tidak ikut mengacau. “Diam dulu, Suha!” Lawan bicara di hadapan menepis tangan itu kasar dari pundak. “Jagau dalam bahaya dan aku tak mungkin diam saja!”

Persengitan di antara keduanya tak kunjung mereda. Walau pria itu sudah berkepala dua—Lesmana Danar. Tetap saja ia harus mencegah gadis di hadapan untuk tidak bertindak lebih jauh. “Jagau bisa menahan penyerangan sebentar. Dan kau harusnya percaya padaku dan dirimu. Supaya dapat menambah kesempurnaan, sesuatu butuh yang namanya perbaikan.” Danar tunjuk benda di hadapan. “Bidik dengan benar, lalu aku akan melompat.”

Suha nampak ragu-ragu. “Aku hanya punya ketapel. Menurutmu akan berhasil?”

Danar menggeleng. Tangannya menarik bahu Suha kasar kemudian mengguncang pundak si nona brutal. “Bukan perkara tak berhasil atau sukses. Kau harus bisa!” Danar memberikan Suha semangat dalam memberikan kepercayaan diri. “Tidak ada harapan lain, kau ingin mereka semua digantung termasuk kawan serigalamu itu? Tidak 'kan?!” Tanggung jawab Suha nampak berat untuk dipikul, bila bidikan meleset maka kekalahan telak tak akan dinyatakan sesegera mungkin. Lalu Danar berujar kembali, “Gugup itu hanya tipuan semata, apa yang kau capai sudah di depan mata. Kau tidak perlu alasan apapun untuk gugup. Kau bisa lakukannya, percayalah!”

Sorot mata Suha berubah, gejolak tak menyenangkan itu hilang begitu saja. Lutut bertumpu pada salah satu lantai pilar, sementara tangan mengeratkan pegangan panah. Mata ia pejamkan sebelah, fokus pada target di depan. Ia pasti berhasil.

Sedangkan di sisi lain, sebelum Suha dapat menyelamatkan kawan-kawannya. Mereka harus segera pergi dari Aestemore sebab seseorang yang hendak merebut harta miliknya itu sudah datang kembali. Tak lupa bawa pasukan besar. Kemenangan atau kegagalan, mana yang akan didapat?

Sementara di salah satu kapal bajak laut yang sudah habis diterjang ombak. Layar sobek, serta awak kapal tidak diketahui kehadirannya, suasana sepi serasa makin menegangkan. Di tengah kehampaan kabut, seseorang menapaki kaki lembab pada dek basah oleh air Laut Kambera. “Apa yang menjadi milik samudera, tidak pantas dimiliki oleh manusia.” Setelah mengucap kalimat itu, laki-laki muda tanpa dikenal identitasnya menghilang dengan sekali hembusan. Tentu pergi mengambil benda miliknya, milik laut, milik para dewa-dewi.







BERSAMBUNG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...