Senin, 19 Juni 2023

VOL—IV: TANAMAN LIAR HIDUPI MANUSIA.

LIMA JAM TERASA sangat lambat, mungkin karena tidak ada kegiatan lain yang mereka lakukan. Tiada sang penghidup suasana. Kabut yang mengubur Pulau Herbal itu akhirnya kabur. Netra Suha disegarkan oleh pemandangan asri. Pepohonan rindang, tanaman berakar hijau, teratai raksasa, serta rumput-rumput yang menjulang tinggi melebihi ukuran kapal mereka. Sampai pun.

Hala letakkan kepala Arung secara lembut di bantalan kain. Dalam hati berdoa agar ia bisa selamat. “Apakah ada yang tahu akan bagaimana ciri-ciri tanamannya?”

Gauri sedang menampakkan jumlah anak panah, ia menepuk pundak Livana. “Aku tahu. Daunnya tipis, bisa ditemukan di area yang lembab seperti rawa-rawa atau air berlumpur. Yang membedakan tanaman itu dari tanaman lainnya adalah ujung daun berwarna hitam. Bentuk kelopaknya mirip awan, nama tanaman itu adalah Zephia.” Livana menjelaskan rinci, ia memang tahu segalanya. Tetapi dia masih menyimpan misteri. Gerak-gerik biasa, sulit diterka.

“Baiklah, aku mengerti. Suha dan Haki, tolong jaga kapal dan juga Arung. Kami akan berusaha mendapatkan Zephia secepatnya.” Hawa di sekitar terasa gelap, Suha mengernyit. Mungkin ia hendak protes sebab tidak mendapat bagian menelusuri pulau lagi. Terlebih, ia tidak ingin ditinggal hanya berdua saja dengan bangsawan buangan itu. “Kenapa aku harus menjaga Arung? Aku ikut denganmu.”

Belum sempat Hala menghadang. Suha berhasil melompat turun dari kapal dengan tali dan mendarat tepat di depan Hala. Kini mereka saling berhadapan. Kemudian Suha menepuk dadanya perlahan di mana detak jantung tengah berdetak. “Aku juga merasa tidak enak harus pura-pura mengatasinya sendiri di kala susah hati, itu bukanlah hal yang tepat.” Suha yang Hala temui bukan gadis pemilik hati dingin, ia biasa andalkan insting tak pasti, sekarang justru tenangkan intuisi dalam diri seseorang. 

Bibir Hala terkatup rapat, tidak balas cepat. Ia menunduk dalam. “Dengar, Hala. Arung bahkan tidak bisa bertahan sendirian tanpa kita bantu, begitupun kau. Kau tidak bisa berjalan sendirian meski jalan yang kau tempuh adalah jalan buntu. Aku ikut denganmu. Tolong, ini mutlak.” Ia menepuk sebelah bahu Hala, si kapten menengadah. Ujung bibir Suha terangkat samar-samar, “Bukankah manusia saling melindungi?”

Gauri yang melihat bahwa suasana akan semakin bersedih kemudian menyahut. “Jika lebih banyak bantuan, kita bisa cepat menemukan tanaman itu, kapten.” Dari situ Hala menyadari bahwa benar jika waktu mereka tidak tersisa banyak. Maka segera ia berbalik menoleh ke arah Haki lalu teriak secara keras. “Haki, tolong jaga Arung dan Abyss. Jangan bawa kabur kapalnya, aku percaya padamu!” Haki dari jauh bergumam hati-hati pada mereka semua.

“Haki! Satu lagi!” Bangsawan itu tidak jadi berbalik sebab Hala kembali panggil nama dia. Ia menoleh, menunggu apa yang akan dikatakan si kapten selanjutnya. “Jangan berani hilang harap atas ijinku.” Sehabis dengar memberikan suatu getaran pada hati, senyum terbit tanpa sengaja. “Aye!”

Mereka masuk ke dalam Hutan Crophaya, segera menemukan Zephia yang dicari. Waktu berjalan hanya dua jam, harus cukup digunakan sebagai pencarian obat untuk menyelamatkan nyawa Arung. Di sisi lain, dari mata teropongnya sesosok di balik pepohonan mengintai. “Ini dia yang gue udah tunggu-tunggu.” Apakah cukup?




MUSIBAH AKAN SELALU datang dalam setiap perjalanan. Melawan setiap keadaan yang tak memungkinkan, bertaruh nyawa, pula jiwa yang dibawa. Semua seakan kalang-kabut saat mendapati salah satu Bandit mereka—Arung sedang merenggang sakit. Nyawa terancam sehabis terkena gigitan ular beracun.

Ada banyak tanaman hidup di hutan ini. Seperti yang dikatakan Haki, jenis tanaman liar lebih banyak berkembang biak daripada tanaman herbal. Rumput ilalang begitu tinggi, tanaman merambat di mana-mana, dan benalu selalu mengelilingi pohon. Suasananya benar-benar hijau. Adapun tanaman betul-betul hidup sering nampak berlari sangat lincah dengan batang pohon menyerupai kaki pula daun bergerak buat mereka cepat berpindah-pindah tempat.

“Aku tidak kuat akan baunya,” keluh Suha mengenai bau matahari. Pantas tanaman semua ini tumbuh besar dengan baik, mereka selalu mendapatkan cahaya matahari cukup. “Tahan sedikit, jika tidak ingin berlama-lama maka kita harus cepat,” ucap Gauri seraya menutup hidungnya.

“Kalian harus hati-hati karena mereka sangat susah untuk ditangkap,” seru Hala mengingatkan. Di tengah penelusuran, Hala jadi semakin waspada sehabis menghadapi Leviathan. Semoga tidak ada makhluk yang sama seperti raksasa itu di sini, karena mereka tidak punya cukup waktu.

“Kapten kau tidak bawa senjata?” tanya Livana bingung. Meskipun dirinya juga tak bawa, ia masih bisa andalkan sihir mistis. Sedang Hala jika menyetrum saja tidak akan buat tanaman itu tetap berdiam lama.

Sring!

Suara tabrakan petir serta getarannya yang menyatu terdengar dalam rungu, jari-jemari Hala dikelilingi aliran setruman mistis lalu muncul sebuah pedang yang terbuat dari petir. “Aku bawa.” Semua kru kapal di situ sukses dibuat menganga. Lalu mengapa tak dikeluarkan kala mereka lawan Leviathan?

Merasa bahwa Hutan Crophaya ini terbuka, perlu mempercepat durasi maka mereka setuju untuk berpisah demi cari Zephia. Sebab mereka dikejar waktu, mereka harus bergegas. Dengan pemencaran ini, Hala berujar agar saling meneriaki nama jika salah satu di antaranya dalam bahaya.

Namun, belum lewat 15 menit berpisah. Masing-masing dari mereka mendapatkan tantangan tersendiri. Gauri ingat bahwa Zephia hidup di antara tempat lembab, justru membawanya terjebak dalam lumpur hisap. Lalu Suha diserang oleh serbukan bunga, Livana dikejar para akar pohon yang dapat berjalan. Sedang Hala berlari ke rawa, di mana ia berhasil menemukan Zephia. Sayang, dirinya harus menyebrangi rumah buaya di hadapan agar mencapai itu tanaman langka. Bahkan sebelum Hala bisa memutar otak, Zephia sudah hilang! Pergi berpindah ke suatu tempat. Buru-burulah dia mencari kembali pada sekitaran sana. Ternyata Zephia berpindah ke batu tepat sebelah rawa-rawa tersebut ada.

Di tempat lain, Abyss yang ikut menjaga kapal bersama Haki, dirasa insting kuatnya mengatakan bahwa ada seseorang awasi. Hingga serangan datang mendadak. “HEI!! APA-APAAN INI.” Bahana Haki menggema, ia diserang oleh seekor serigala, ternyata bukanlah serigala biasa melainkan berubah jadi manusia. “Akhirnya, aku bisa sembunyi di sini,” ucap si manusia serigala lalu mulai masuk ke dalam kapal. Salah satu manusia lain datang dan bingung lantaran baru saja sampai di tepi pulau tetapi tak menemukan presensi makhluk yang dikejarnya. Kemana dia pergi? Padahal sedikit lagi bisa dapat.




KENALKAN LELAKI INI, Araf Marat namanya. Pria gagah penuh talenta, dengan otak cerdasnya yang pintar juga dikenal teladan. Menurutnya, segala hal tentang ia harus terlihat sempurna, tak pernah ingin kalah adalah watak paling dikenal. Singkatnya, suatu ketika di kampus akan ada penilaian renang bulanan, tentunya mengharuskan lelaki muda itu berlatih agar mendapat nilai sempurna, lagi-lagi kesempurnaan.

Malam hari, saat ia masih berlatih beberapa gerakan dalam kolam, lelaki itu merasakan sebuah keanehan. Tubuh seolah melayang, air yang ada, dirasa hampa. Seperti, tengah terbang oleh angin luar angkasa. Ada apa dengan tubuhnya? Araf pun kembali naik ke permukaan, duduk menepi pada pinggir kolam. Pindai seluruh raga yang dapat saja dipandang mata telanjang. Apa barusan? Ia merasa tidak sedang berhalusinasi juga.

Tunggu ... apa ini yang dinamakan sihir?

Dalam waktu lama sudah ia berkecamuk dengan benak. Di ingat, sudah sejak dulu ia tak kembali pelajari sihir, hal yang ia suka. Rupanya, mengejar kesempurnaan buatnya lupa akan beberapa hal, dulu pernah jadi bagian dari dirinya. Haruskah kini kembali dicoba? Araf menghela, “Sudah lama aku tak mempelajarinya,” lirih kosong ia tatap kolam di depan. “Apa ... mereka memanggil diriku?” gumam lelaki itu, sambil terus memandangi jemari lengan.

Dirasa semua ini terlalu mustahil jika hanya sebuah kata kebetulan. Araf merasa sihir telah kembali memanggil, seperti butuhkan sesuatu hingga beri tanda untuk datang.

“Haruskah?” Tak ingin buang waktu lama, beberapa minggu setelah penilaian itu selesai, tentu hasilkan nilai sempurna. Araf pergi ke perpustakaan kota, mencari buku perihal sihir yang pernah jadi daya tariknya. entah kenapa, hanya ingin saja.

Ia temukan sebuah buku usang melegenda bertajuk ‘Suargaloka Si Pembela Bangsa’, sempat buat lelaki itu terkekeh kecil saat membaca, namun tetap meraih buku dengan ketebalan beribu lembar tersebut dan membawanya pulang. Ia baca sepanjang hari dalam genggaman, tidak bisa lepas. Sebuah buku yang mengabiskan hari-hari Araf untuk kembali mempelajari hal fiktif di tengah-tengah diri sibuk akan urusan duniawi. Araf benar-benar membaca tiap detail kejadian, isi dari sebuah buku jika dilihat orang lain, hanya sebuah buku catatan kecil tiada arti.

Di pertengahan lembar, tepat pada halaman ke-500. Araf menemukan suatu mantra teleportasi. Dan layaknya mendapat sebuah harta karun, ia langsung mencoba tanpa kembali berpikir, apa konsekuensinya. “Tak bisa dibiarkan, aku harus mencobanya.”

Malam itu, Araf langsung bergegas pergi menuju ruang kelas sendirian, berbekal buku dan hapalan mantra. Ia menggambar sebuah pintu besar pada papan tulis, lantas memejamkan mata sambil merapal mantra tersebut, tanpa baca mantra untuk kembali ke bumi. Saat itu juga, ia lenyap. Menuju alam fantasi yang sama sekali tak ia kenali.

Araf, si ceroboh dari bumi itu melakukan teleportasi yang melemparnya menuju hutan asing, buat ia terkejut setengah mati. Sebab di sana, harta tanaman aneh hadir melimpah hingga bertumbuhan. Berbicara bahkan berjalan, menangis hingga berseru.

“Sial! Apa ini?!” Ia terjatuh, menatap segala yang ada di hadapannya terkejut. Sebab di bumi tempat tinggalnya, mustahil ada hal seperti ini. Araf rasa ia dilempar ke tengah pertunjukkan anak kecil. Hanya saja kenapa semua nampak terlalu asli?

Ia menghela napas. “Tuhan ... kumohon maafkan kesalahanku,” ujarnya sambil mengepalkan tangan dan memejamkan mata. Lantas baru menyadari, bahwa ia lupa bagaimana mantra untuk pulang. Araf pun berteriak. “Sial sekali kau bodoh, Araf! Seharusnya kau tidak melakukan hal yang aneh-aneh!” Mata melirik kesana-kemari.

“Sekarang bagaimana ini ...” Merutuki diri di tengah keanehan terjadi, Araf tanpa sengaja mendengar lolongan tak asing berasal dari ujung bukit. Dan meski hati sedikit bergetar ketakutan, tetap saja ia putuskan untuk datang ke asal muasal suara berada. Berjalan perlahan, melewati seluruh keanehan yang terus ia pandang. Tak pernah menerka hidupnya akan berada dalam situasi demikian.

Namun, ketika tengah berjalan menuju asal suara familiar yang ia dengar, Araf sadar bahwa pensil kesayangan tiba-tiba hadir dalam saku celana, entah sejak kapan. Dan buku yang awalnya ia genggam, kini lenyap entah kemana. “Sebenarnya tempat apa ini? Apakah aku benar-benar dipanggil oleh sihir itu?” Araf mengacak rambut frustasi. “Ah, sudahlah! terlanjur sial juga aku!”

Langkahnya semakin ia percepat, berlari kencang kemudian terhenti saat melihat seekor serigala tengah melolong di ujung bukit. Buat sedikit bungah hatinya merasa. Didapati makhluk mitologi kesukaan, ada di depan mata. Sungguh tak menyangka. “Wow ... ini luar biasa!” serunya.

“HEI KAU!” Telunjuk Araf menunjuk si serigala, berlari kegirangan mendekati makhluk itu. “WOOWWW!! Tadi itu keren bro!! Kau werewolf sungguhan?!!”

Dalam wujud serigalanya ia berbicara penuh keterkejutan. “Apa maksudmu?”

“Kau sungguhan bicara! Kau pasti werewolf ‘kan? Astaga, kau betulan werewolf! Tapi tunggu ... kalau kau werewolf, berarti ... apa ini pulau obat itu?!” ia terus berceloteh di hadapan serigala, yang jengkel sudah hadapi makhluk aneh depannya.

“Kau ini kenapa? Berisik sekali, hentikan mulutmu.” Serigala itu hendak pergi jika saja Araf tak menghentikannya. “Hei, aku manusia bumi! Aku melakukan teleportasi kemari, keren ‘kan?” Dahinya berkerut heran, werewolf itu mengacuhkan Araf, dan memilih untuk pergi dari hadapan. Namun, bukan sadar bahwa ia mengganggu serigala itu, Araf malah terus mengikuti langkahnya sambil melempari berbagai pertanyaan yang ada dalam benak. Buat sang serigala semakin merasa jengkel atas kehadiran manusia satu ini. “Ini benar-benar Pulau Obat yang aku baca dalam buku itu kan? Tumbuhan dalam hutan sana hidup semua, membuatku sedikit merinding.”

Tidak ada jawaban.

“Kau tau mantra agar aku bisa kembali?”

Tetap tidak ada jawaban.

“Kau akan pergi kemana? Boleh aku ikut?”

Masih tidak ada jawaban.

“Jawab aku!”

Semakin diacuhkan saja.

“Setahuku kau begitu kuat, tunjukkan padaku kekuatanmu itu!” Araf mendengus sebal. “Hei, werewolf!

Serigala itu berhenti, berbalik menatap Araf dengan netra mengintimidasi. Ia tunjukkan aura yang benar-benar tak nyaman, jengkel sudah diri akan kehadiran Araf dengan berjuta pertanyaan yang tidak ia pahami apa maksudnya. “Bisakah kau tutup saja mulutmu itu?”

“Tidak bisa, jawab dulu pertanyaanku!”

Tepat ketika serigala itu menoleh, Araf sudah membawa peluru dari alat seorang pemburu. Secara reflek yang berkaki empat pun berlari secepatnya menjauh. Araf pun tidak tinggal diam. Kembali ikut menyusul.




LOLONGAN PARAU JAGAU layangkan sebagai tanda kesedihan. Selama hidup ia selalu kesepian tanpa siapapun mau berteman selain dari keluarganya. Ia lempar agar seseorang datang untuk berteman, tetapi manusia pemburu justru menghantui si serigala—Jagau Riyaad. Satu-satunya koloni hidup dalam Pulau Herbal tersebut.

“Kau, manusia jahat! Yang datang ke sini hanya ingin memburuku untuk dijual, untuk kau pelihara, ‘kan! Lalu menjadikan buluku sebagai koleksi indahmu itu. Dasar manusia tidak punya hati!” Napas Jagau membara, menatap tajam manusia bertampang polos itu dengan tatapan mematikan. Seharusnya ia memang sadar, bahwa manusia tak akan pernah baik lalu berteman dengan serigala sepertinya. Dengan rasa kecewa, Jagau pergi berlari ke tempat yang tidak akan manusia itu jangkau. Ia menjauhi Araf Marat—manusia itu, dan tidak menyapanya lagi walaupun hanya satu huruf sekalipun.

Jika takdir sudah menggarisi kehidupan seseorang, bahkan ombak air laut tidak bisa menghapus garis hidup tersebut. Ternyata dia—Araf Marat, tidak berniat jahat padanya. Dia hanya ingin menjadi teman baik dan menemani Jagau seperti yang diinginkan sedari lama. Sebagai balasan budi, Jagau mengajak dirinya untuk tinggal sementara selama dirinya berada dalam hutan ini. “Oh ... ya, sebagai permintaan maafku. Aku ingin mengajakmu untuk tinggal sementara di rumahku ... mungkin memang jauh daripada kehidupan sebelum itu. Tapi sebagai tempat istirahat, cukup untuk membuatmu nyaman.”

Setelah kejadian itu, Jagau dan Araf dekat sebagai teman. Mereka saling mengerti kebiasaan masing-masing walaupun sebenarnya Jagau pun merasa terkejut dengan Araf. Ah ... manusia mempunyai benda panjang untuk menulis yang sangat aneh. Karena, mana mungkin bisa terjadi! Yang digambar Araf dengan benda tersebut bisa menjadi nyata. Pantas saja Araf dapat alat pemburuan dari sana. Jagau cukup terkagum. 

Hari demi hari telah berganti, Jagau tetap merasakan bahwa Araf bisa melakukan banyak hal-hal aneh. Tak sengaja ia sentuh kalung yang tergantung pada jenjang leher, terkejutnya Jagau saat dia menceritakan awal mula bagaimana kalung itu ada. Dan, tak segan juga dia menunjukkan kekuatan diri yang lain. Ia bisa berpindah tempat dalam satu kedipan! Itu sangat ajaib. Araf menyebutnya dengan teleportasi. Jagau sadar, bahwa Araf bukan manusia biasa karena tersasar dari portal. Dengan ini Jagau harus berhati-hati, banyak yang belum ditunjukkan Araf. Ia akan mencoba mempercayainya walaupun sedikit sulit.




DI TENGAH AKSI tersesatnya, bertemulah Araf dengan Jagau, si manusia serigala baik hati sebab biarkan Araf tinggal di sebuah rumah kecil, tepat di sekeliling keluarga sendiri.

Namun, tak dapat dipungkiri ia enggan dustai hati. Rasa sungkan terus hantui diri, lantas membawanya untuk berhenti repotkan keluarga kecil Jagau yang harus diusik saat ia hadir. Maka tanpa berlama lagi, Araf pergi mencari tumpangan. Jagau hadir ikut serta, Araf tahu sehingga berniat hentikan niatnya tetapi ia kehilangan jejak Jagau entah kemana.

Tetapi mendengar keributan dari dalam Hutan Crophaya, ia ikut dilanda panik. Insting penyelamatan pun dilakukan, Araf pergi memasuki hutan. Selama beberapa menit ia mencari-cari sumber suara, bertemulah dirinya dengan Hala yang terus berteriak keras. “Ada apa dengan dirimu?”

Hala beri tatapan skeptis pada Araf, “Kau tidak lihat aku akan jatuh?” ucap Hala sambil menunjuk posisi kakinya yang menggantung di udara. Ia hampir saja menangkap Zephia setelah berhasil mengusir buaya sekitaran rawa-rawa. Tetapi setelah menyebrangi tempat lembab itu, justru ia tak bisa turun sendiri. 

Araf beri anggukan. “Baiklah, lompat saja dan aku akan menangkapmu.” Tetapi Hala justru melotot, sehingga ia menggeleng kuat. “Tidak! Aku akan jatuh ke rawa!” 

“Percayalah!” Karena tidak ada pilihan lain, Hala pun melompat. Hanya saja bukannya ditangkap, Hala justru melayang di udara. Araf menangkap raga si nona dengan sihir ajaib milik dia. Lalu perlahan, meletakkan presensi ke tanah yang kering. Diam-diam, Hala jadi ikutan merinding, membayangkan bagaimana jika ia dapat jatuh ke rawa-rawa.

“Terima kasih ... ee ..” Hala menatap Araf bingung. Ia pun menjulurkan tangan. “Gue Araf. Araf Marat.” Hala kembali melempar kebingungan. “Gu?” Araf pun berdecak. Ia hanya tidak menjawab saja. “Panggil aja Araf.” Hala pun mengangguk. Dirinya pula tidak memperkenalkan diri, pikir Hala nanti saja. Barangkali mereka bisa bertemu lagi.

Keheningan mereka dipatahkan oleh Zephia yang baru saja lewat di hadapannya. Baru ingat bahwa waktu tersisa hanya 30 menit. Hala pun cepat-cepat berlari mengejar. Araf kebingungan mendadak jadi ia ikut saja rencana si gadis asing ini.

“Hei! Kawan-kawan! Itu Zephianya, ayo tangkap dia!” teriak Hala ditujukan bagi seluruh awak kapal yang berada dalam Hutan Crophaya. Gauri mendengar itu seketika memanah salah satu pohon agar dapat terangkat keluar dari lumpur hisap. Dan benar saja, beberapa detik setelahnya pohon itu hendak melarikan diri sekaligus tanpa sengaja menarik tubuh Gauti perlahan-lahan ke daratan. Livana sendiri membelah tanah dengan sihir, biar tanaman merambat dalam serta akar-akar pohon tak lagi mengejar. Suha sendiri pun, merusak bunga-bunga di sana supaya berhenti mengeluarkan serbuk terus-menerus.

Perasaan Hala mengatakan, Zephia harus dilumpuhkan sehingga ia melemparkan semburan petir dari pedangnya ke arah tanaman hidup tersebut. Kemudian tiba-tiba datang Gauri yang nampak sudah bebas dari jeratan lumpur hisap, sebab bagian bawahnya sangat kotor. Ia arahkan senjata ke target lalu berhasil memanah kaki—ralat, akar Zephia agar tak dapat berjalan kembali. Lalu Livana serta Suha hadir dengan arah berlawanan. Takut bila Zephia kabur lagi. Maka Araf mengambil Zephia dalam keadaan lumpuh tersebut menggunakan sihir telekinesisnya. Mereka pun cepat-cepat balik ke kapal karena waktu tersisa hanya sedikit sebelum Arung benar-benar kehilangan nyawanya nanti.

Dengan tenang mereka menghela napas. Araf bahkan ikut naik ke kapal mereka. Hala sendiri buru-buru mengambil Zephia dari tangan Araf lalu berjalan cepat ke tempat Arung terkulai lemas bahkan hampir tak sadarkan diri. “Bagaimana ... bagaimana caranya?! Haki! Kau tidak memberitahuku bagaimana cara Zephia menyembuhkan Arung!” Hala jadi histeris sendiri.

Haki bukannya tidak ingin menjawab. Ia bungkam karena tengah tidak sadarkan diri. Karena ... pemuda asing yang baru saja akan merampas kapal mereka. Astaga. Wajah Hala mengeras, langkahnya yang tertatih-tatih menarik Jagau saat manusia setengah serigala itu rupanya masih coba menaiki kapal. Gadis itu menampar Jagau tiga kali, sementara Jagau khawatir muka tidak akan tampan lagi. Bahkan cemas bila rupa wujud serigalanya sampai bengkok.

Hala tidak ada waktu untuk marah-marah. Ia sendiri pun tidak tertarik dengan tujuan hadirnya Araf bersama Jagau kemari, dia hanya dapat berharap bahwa mereka bisa membantunya. “Ada yang tahu bagaimana cara kerja Zephia?” perkataan Hala sukses menarik atensi segala manusia di sana.

Jagau menatap Zephia was-was. “Itu ... benar Zephia?” Namun, Hala menarik kerah Jagau dengan kasar. Mengikis jarak antar keduanya. “Katakan padaku kalau kau tahu cara menggunakannya sebagai obat.” Dari jauh pun Livana menyeringai. Jagau pun bertanya setelah melirik kehadiran Araf sebentar saja. “Jika aku memberitahumu, apa yang akan kudapatkan?”

Hala melirik Araf pula Jagau setelahnya. “Aku akan memungut kalian. Pasti butuh kapal, ya? Maka bantulah aku dulu. Tapi jika kau benar-benar menolak,” ucapnya terjeda sesaat menarik salah satu tangan untuk mengambil pisau yang berada dalam kantong pinggang. “You will end up by my own hand,” lirih Hala. Terdengar suara Hala mulai serak, mungkin efek berteriak terlalu banyak. Tetapi itu membuat Hala semakin tegas bahkan raut wajah begitu serius.

Kerah tersebut lepas dari tangan Hala, tapi Jagau hendak mengatakan sesuatu. “Aku hanya tahu caranya tapi tidak bisa lakukan itu.” Entah perasaan Hala saja tetapi suara Jagau parau seolah merasa takut berlebih.

Suha yang jengkel akan mereka lama sekali berdiskusi, mengambil Zephia dari tangan Hala dengan cekatan. “Cepat bagaimana?” Suha mengambil pisau dari saku lalu secara cepat menyobek jantung Zephia hingga tumbuhan tersebut mengeluarkan cairan selayaknya tinta. Jagau berkata bahwa tinta tersebut bisa dibuat sebagai ramuan sakit apa saja. Maka kemudian Suha mengapit kedua pipi Arung dan membiarkan tinta itu mengalir masuk ke dalam tenggorokannya.

Livana yang mengetahui bahwa tinta Zephia masih tersisa banyak, menyimpan sebagai persediaan obat. Sedang sisa awak kapal menunggu kesadaran Arung. Tidak ada reaksi apapun untik diberikan. Bibir pucat pun tetap membiru. Buru-buru Hala berniat memeriksa denyut nadi milik Arung.

“Kenapa nadinya berhenti berdetak?”





— BERSAMBUNG.

1 komentar:

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...