DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka dan pandangi wujud keindahan itu, dirinya menyadari bahwa sedang berada di tempat lain. Asing.
Arung terkejut tubuhnya diikat dengan tanaman laut berduri kecil secara kencang, gelembung dari Pierce juga semakin kecil ukurannya. Ia melihat ke samping kanan, Dhavi tak sadarkan diri bersama kondisi mengenaskan. Kulit semakin pucat. Serta Araf nampak energi lemas mungkin karena dia kekurangan asupan makan. Sedangkan ke sisi kiri ada Anum sekaligus Jagau. Miliki kondisi yang sama.
Hal lain berhasil membuat napasnya Arung semalin sesak adalah, mereka diawasi oleh makhluk bersirip tajam pada ekor tersebut. Rupa menakutkan beserta tatapan dingin. Duri pada punggung, telinga runcing. Dan jangan lupakan jari berselaput tapi miliki kuku tajam di sana. Sial, kalau terus-terusan diam seperti ini maka Arung bisa mati dengan kejam. Lalu dilupakan oleh semua orang ke dasar laut terdalam.
Ia pun inisiatif untuk membangunkan teman-temannya lebih dulu. “Psst, Jagau, bangun!” Arung khawatir apakah mereka ini pingsan atau justru tertidur dalam keadaan berbahaya seperti ini? Macam tak mungkin.
“Manusia ... kenapa bisa sampai kemari? Kalian menginginkan keabadian?”
Siren laki-laki itu berbicara pada mereka. Bahkan berenang menuju ke arah tempat penyekapan manusia. Keberanian Arung sontak luntur tiba-tiba, mulut mendadak kaku untuk sekadar berbicara. Makhluk tersebut sungguh mengerikan dipandang. Taring yang terlihat di giginya tadi sangat tak bersahabat. Ekor bak tombak tajam di mana siap mengoyak apapun sekitarannya, sisik licin namun pinggiran kasar pun tetap bisa melukai. Lebih baik Arung bertemu ikan berlampu daripada makhluk di depan.
Dalam keheningan lama, Araf menyahuti dengan nada mengesalkan. “Jangan sok tahu deh!” Arung mendengar itu semakin panik, lantas Jagau ikut-ikutan dalam membocorkan rencana mereka. “Kami ke sini ingin menjemput Anorah,” katanya.
“Bedebah, darimana kau mengenal nama itu?! Apa kau bajak laut Baldomar?!” tanya Bada Ameru kasar, pemimpin klan siren.
“Dia teman kami!” Anum menjawab lantang.
Para siren di belakang pria itu terkejut, mereka kembali mengacungkan tombak dan mengencangkan taring-taring mereka. Seolah tengah berkomunikasi bersama kepala kru-kru tersebut, Dhavi bersumpah bahwa kepalanya dipenuhi serapah berisik.
“Teman? Apa yang kalian inginkan setelah merebut dia dari kami, hah?! Bunuh saja!”
“Tunggu, aku tidak mengerti! Apa maksud mereka?” Dhavi mengerutkan dahi. Dia benar-benar bingung sekarang. Makhluk tanpa ampun itu masih berusaha menuju ke arah mereka. Jantung kembali berpacu.
Meski berada di ujung maut, Araf jadi ingin memanfaatkan kesempatan ini. Anggap saja peralihan waktu sekaligus menggali informasi baru. “Kami bukan bagian dari Baldomar! Me ... memangnya, apa yang sudah dilakukan oleh bajak laut itu?” Araf tetap mencoba tersenyum walau bibir tidak berhenti gemetar akibat takut salah bicara.
Bada kembali menatap sinis. “Sepuluh tahun yang lalu, Telaga Api dihancurkan oleh manusia. Pasti kalian akan melakukan hal sama jika kami tidak mencegahnya!”
“Maksudmu, aku telah membantu mereka yang telah menghancurkan rumahku?”
Tiba-tiba orang yang para perompak itu cari muncul dari belakang kerumunan siren di bawah kuasa Bada. Suara itu, Jagau sangat mengenalnya. Namun, tatapan kini jauh terlihat lebih berbeda. Ia seperti bertemu dengan orang lain. Bukan teman yang mencari celah agar dapat saling beri bantuan. Seolah, Anorah baru saja pulang.
Tatapan gadis itu menyimpan kebencian penuh. Hati Jagau terasa perih. Mungkin Anorah sudah terhasut oleh kaum mereka. “Wah. Kenapa kalian bisa datang kemari? Aku muak melihat wajah kalian. Duh. Pasti Anak Poseidon itu membocorkannya.”
Tinggal menunggu waktu agar gelembung tersebut segera pecah jika digunakan bagi anggota kru kapal untuk bernapas selagi berbicara. Tapi mereka seolah tak peduli, nyawa kini bergantung akan bagaimana Anorah harus berpihak pada komplotan perompak. Apakah kru Loka Dè Janitra sanggup dalam melawan kawan sendiri?
Ngomong-ngomong tentang kerusakan Telaga Api, sebetulnya apa saja yang telah dilalui Anorah Masaid hingga ia sebenci ini?
—
WILAYAH INI TIDAK TERSISIR dengan mudah. Banyak hambatan berisiko yang menghalangi manusia-manusia untuk menjadikan tempatnya sebagai tujuan. Telaga Api, terbentuk dari air mata seorang siren yang tak pernah menangis. Telaga dengan pasir-pasir di sekelilingnya terasa panas macam tanah neraka bila kau pijak. Telaga miliki nama asli, Riuh Suar Ameru.
Telaga mempunyai air berkilau meski sinar mentari ditutupi oleh pepohonan. Sumur menjadikan telaga begitu apik menghiasi pertengahan laut. Legenda mengatakan air dari Telaga Api dapat mendatangkan keabadian, itulah kenapa banyak sekali orang mengincar. Apalagi bajak laut hingga manusia tamak, demi kepentingan serta nafsu berupa hal buruk. Tapi, kenapa bisa telaga itu tetap mengalir lagipun berseri padahal sang pencipta tidak lagi menangisi hidup sendiri yang selalu sepi? Tentu saja, mereka selalu menjaganya dari bahaya.
Telaga itu adalah pusaka milik para kaum siren dan duyung. Yang menjaga adalah mereka, termasuk Sang Penjaga. Suatu hari, sang Dewa Laut penguasa seluruh samudera datang berkunjung. Ia berikan berkat pada salah satu anak emasnya, Anorah Masaid. Pencapaian bagus paling membanggakan bagi Anorah selama hidup.
“Aku melihat sesuatu dalam dirimu, Anorah. Gunakanlah berkah dariku untuk kebaikan bangsa kalian. Juga kebaikan Telaga Api nantinya.” Orang itu adalah Dewa Poseidon. Dewa Laut yang sangat diagung-agungkan oleh kehidupan masyarakat di bawah laut.
Anorah meragu. “Tapi, bukankah Bada lebih berhak atas berkah ini? Aku hanyalah orang biasa,” jawabnya dengan sangat sopan.
“Tolong jangan merendah diri begitu. Kau sungguh pantas mendapatkannya, Anorah. Bada sudah memiliki berkah sesuai dengan porsi dia sendiri. Jadi tidak masalah untuk dirimu terima anugerah dariku.”
Poseidon menatap Anorah serta para siren dengan aura bijaksananya, mereka hanya bisa terpukau oleh cahaya yang dimiliki oleh Poseidon. Berbeda dengan Anorah dan Raina di mana bangsa duyung, penampilan warga siren lain seperti Bada lebih terkesan bak binatang buas sebab menyeramkan sekaligus mengintimidasi. Namun, pada dasarnya mereka cuma makhluk hidup kesepian serta penuh kesedihan. Jelas mereka masih mempunyai hati nurani.
“Apa kau menerima berkahku, Anorah?”
“Te ... tentu! Aku dengan bangga akan menerimanya, Yang Mulia Poseidon!”
Setiap nama mempunyai arti sendiri. Sama halnya dengan Anorah Masaid di sana.
Anorah, diartikan sebagai ruh dari segala jiwa-jiwa penjaga yang hidup untuk melindungi telaga api. Ia dibanggakan sebagai kesayangan Poseidon karena Masaid sangatlah istimewa. Itulah mengapa ia betah tinggal di rumahnya ini. Ia menjaga Telaga Api sepenuh hati, menyerahkan seluruh jiwa kepada pengendali ombak.
Dengan hati gembira menjaga Telaga. Senyum terus merekah. Ia juga banyak bercanda, ia menikmati semuanya. Ia merasa bangga dengan dirinya atas pencapaian yang Ia dapat.
Setelah persembahan itu, beberapa hari kemudian datanglah sesosok anak yang lebih muda dari dirinya. Anak itu mengaku sebagai putra Sang Dewa Poseidon di mana sudah menganugerahkan kelebihan pada Anorah. Tentu ia bisa masuk ke sumur karena statusnya sebagai pangeran laut.
Anorah terkejut kala ada seseorang yang terlihat menghampirinya. “Siapa kau?” tanya Anorah waspada. Dia terlihat kesal.
“Di mana ayahku?! Siapa di sini yang berani menemuinya? Jawab aku!” Bocah itu secara kasar bertanya lantang sekaligus meremat jari sendiri saat menatapi penghuni telaga.
Anorah menggeleng pelan. Kemudian ia menjawab penuh ketegasan. “Dia tidak ada di sini, Dia sudah lama pergi.”
“Memangnya kau ini siapa sampai ayahku repot-repot menemuimu daripada datang padaku!” Nampaknya emosi yang ia tahan dalam perjalanan hendak meledak juga.
“Apakah itu salahku jikalau ayahmu lebih memilih bertemu denganku, hah?” Anorah mengernyit. Tidak habis pikir oleh orang yang baru pertama kali bertemu ini. “Aku hanya seorang penjaga telaga.”
Pierce mendecih. “Kau, penjaga? Sudah merasa dirimu hebat, huh?” sudut bibir kanannya sedikit terangkat. “Pasti ayahku sangat menyayangimu, bukan? Tidak adil sekali, kalau ketemu awas saja.” Namun, sebelum anak itu benar-benar pergi ia sempatkan waktu menanyakan nama pada Anorah yang menundukkan wajah karena merasa tak enak. “Namamu siapa?”
“Aku Anorah.” Tanpa malu-malu, ia pun memberikan senyum hangat. “Jangan marah-marah lagi, ya. Nanti kau sendiri yang kesusahan. Semangat mencari ayahmu kalau begitu!” Ia pun melambaikan tangan kanannya. “Kalau namamu, siapa?”
Mungkin karena baru pertama kali merasa diperlakukan seperti ini, anak Poseidon itu tanpa sadar membiarkan semu merah menghiasi wajahnya. “Pierce!”
Anorah mengangguk. “Baiklah, Pierce. Aku senang bertemu dirimu. Hati-hati di jalan!”
Saat itu Pierce menyadari, seharusnya ia tidak langsung pergi. Kemudian habiskan waktu untuk mengobrol dengan Anorah lebih lama, sebagai teman pertamanya. Pierce berpikir demikian karena beberapa minggu setelahnya, Telaga Api sudah habis diporak-porandakan oleh para perompak haus harta. Sebenarnya apa yang terjadi?
—
TIGA TAHUN SETELAH persembahan dari Poseidon dilakukan. Datang desas-desus di pembicaraan para siren bahwa Bada miliki mantra misterius yang dapat mengubah mereka bisa menjadi manusia. Anorah, datang dari manusia asli dahulu kala kemudian lupa tentang kehidupannya sendiri setelah berubah siren. Ia tentu penasaran akan rasa rindu yang belum dirasa selepas kian lama tak bertemu kaki.
Sampai keinginan untuk menjadi manusia, terwujud. Anorah begitu senang saat tahu bisa mencuri mantra tersebut setelah Bada diculik oleh bajak laut jahat kemudian tak kembali lepas Telaga Api dihancurkan. Ia bahagia, tetapi sebelum pergi ke daratan. Anorah memantapkan hati bahwa tugas ke daratan juga, adalah mencari jejak terakhir Bada yang hilang agar dapat ditemukan.
Perlahan, Anorah naik ke daratan, dengan sekejap ekornya berubah menjadi sepasang kaki manusia. Anorah tak kuasa atas kebahagiaannya, sampai Ia lupa bahwa dirinya terekspos tanpa busana. Tak jauh dari tempat Anorah berada, Anorah melihat ada begitu banyak pakaian tergantung, ia menengok ke kiri dan kanan untuk melihat apakah ada yang melihatnya. Begitu dirasa aman, Anorah segera mencuri pakaian yang manusia butuhkan. Anorah juga masuk ke dalam gua demi memakai pakaian itu. Lalu dirinya belajar berjalan sampai berhasil pergi ke tempat-tempat asing baginya.
Anorah kemudian merasa bosan, ia terus berjalan tanpa tahu arah tujuan. Anorah tak tahu harus kemana mencari Bada. Ia tidak mengerti sedang di mana dan apa yang harus dilakukannya sekarang. Bertahun-tahun ia berkelana mengelilingi seluruh tempat, tanpa kunjung pulang. Anorah akhirnya tersesat sendirian. Sampai lupa bahwa ia harusnya mencari jejak Bada.
Suatu hari pada tengah malam, Anorah menyelami lautan yang tak ia kenali titik kawasannya. Ia bertemu seekor paus 52, jelas Anorah sangat mengenal dia. Nampak nyanyian itu terdengar sendu, reflek ia sadar bahwa luka Anorah tidak sedalam dengan paus 52 tersebut. “Rasanya pasti menyakitkan, ya? Sendirian sepanjang sisa hidupmu. Aku baru merasakan itu, dan aku sangat ingin pulang sekarang. Tapi aku tak tahu jalan.” Anorah berbicara dengan paus paling kesepian di dunia, hidup serta terus berenang tanpa arah tujuan, tanpa koloni bahkan pasangan. Walaupun ia tahu paus itu tak akan mengerti bahasanya, Anorah tetap mengajak ngobrol sepanjang jalan. Mengisi hati sunyi di tengah lautan dingin.
Sadar bahwa itu tak akan membawa hasil apapun, Anorah berpamitan. Membiarkan suara dengan 52 Hertz menjauh dari rungu. Dan di tengah keputusasaannya, Anorah bertemu manusia. Ketika ia sampai di satu dermaga sebuah pulau yang memiliki nama papan tempat ‘Pasar Gelap Ragnarok’. Cukup terdengar berisiko jika dihampiri tapi Anorah harus mencari cara bertahan hidup.
Maka Anorah didekati oleh seorang pria tak dikenalnya itu. “Halo nona, aku tak pernah melihatmu di sini sebelumnya. Apa kau baru datang ke pulau ini?” Pertanyaan tersebut buat Anorah takut tanpa sadar. Tapi sang pembicara langsung keluarkan kata-kata agar perempuan di hadapan mau berbicara. “Apa kau tersesat? Dari mana asalmu? Biar aku antarkan ke tujuan!”
Kalau Anorah memberitahukan asalnya, pasti pemuda yang ingin menolong ini bisa mengincar air mata duyung dan para siren juga jadi lebih baik Anorah menutup diri. “Aku ingin pulang sendiri saja, tidak ingin diantar. Tapi aku tak tahu jalan ke rumah.”
Pria itu tersenyum sambil menjentikkan jari, “Kalau begitu, kau cari pekerjaan sajalah dulu. Jika kau sudah mendapatkan uang cukup, itu berguna untuk bayar sewa.” Mata Anorah sontak berbinar. “Namamu siapa? Aku Lesmana Danar, panggil Danar.”
“Anorah,” bisiknya kecil. Malu karena baru pertama kali melihat manusia baik.
Akhirnya Anorah belajar banyak. Danar pun sangat membantu Anorah agar mendapat pekerjaan dengan mudah. Sekaligus sudi mencarikan penginapan baginya. Walau Anorah sempat putus asa, pada akhirnya Ia memilih agar terus berjuang. Anorah begitu senang saat pekerjaannya menjadi seorang bartender. Lagi-lagi Anorah jadi melupakan semua hal di telaga, ia terlalu asik bermain di dunia yang sama sekali bukan milik dia. Bahkan pergi ke acara pesta dansa karena ajakan Danar. Jadi ia harus bertemu Pierce.
Sampai pada akhirnya Anorah bertemu dengan anggota Loka Dè Janitra. Satu ide terlintas pada pikiran Anorah. Daripada menyusup ke kapal lain atau membayar uang sewa agar mendapat tumpangan. Kenapa Anorah tak langsung menumpang di kapal? Dari situlah ia mulai membantu perompak itu agar mendapat balasan juga.
—
HANCUR DAN BERANTAKAN. Kondisi yang menggambarkan kerajaan Aestemore saat ini adalah kacau-balau. Mayat berserakan serta dermaga sudah tidak utuh lagi sebab kerusakan di banyak tempat. Setelah memporak-porandakan Aestemore, Pierce duduk di atas puing-puing reruntuhan sebagai tumpuan, wajahnya setengah memerah, alis menukik tajam serta netra menatap nyalang pada sebuah kapal yang kian menjauh dari dermaga.
Tangannya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menandakan ketidakstabilan emosi yang dialami. Sekali lagi, dia pejamkan mata dan hembuskan napas perlahan, merilekskan tubuh dan pikirannya. Dia tidak boleh menyerah, semua akan berjalan sesuai rencana meski harus menghancurkan Aestemore untuk mendapatkan harta karun itu sia-sia.
“Sedikit lagi ... sedikit lagi aku berhasil mengambil harta karun itu. Tapi sial, aku justru kalah oleh sekelompok bajak laut gadungan itu.” Pierce menggeram marah lalu menendang apa saja yang ada disampingnya. Kembali ia mengatur napas guna menenangkan diri. “Tenang, Pierce. Tidak masalah jika aku gagal hari ini, setidaknya berkat bantuan Kraken, aku bisa menghancurkan separuh kerajaan ini.”
Setelah cukup tenang dan merasa puas memandangi hasil karyanya, Pierce Carter yang kini tengah duduk di atas puing-puing reruntuhan pun beranjak berdiri kemudian pergi meninggalkan dermaga sebab tak ada lagi yang harus ia lakukan.
Kakinya membawa tubuh itu lurus kearah barat menuju lautan, sepertinya Pierce harus lebih banyak bersabar hari ini. Langkahnya terhenti kala ia melihat sosok gadis yang dikenalinya tengah berjalan seorang diri. gadis itu berbelok ke arah Utara, sepertinya dia akan pergi menuju pasar gelap.
“Anorah!”
Tanpa pikir panjang, Pierce memanggil gadis itu dan sontak membuat si pemilik nama berbalik. Sedikit terkejut melihat gadis didepannya ini, sebab seharusnya gadis ini sudah pulang dari beberapa waktu lalu.
“Pierce?” Anorah mengernyitkan dahinya bingung, “Kau masih di sini?” kembali gadis itu lontarkan sebuah pertanyaan.
“Kau sendiri? Kenapa kau masih di sini? Dan kenapa kau belum pulang juga?” seperti biasa, bukannya menjawab, Pierce justru membalikkan pertanyaan yang buat Anorah jengah. Pierce tetaplah Pierce, dia tidak akan menjawab jika pertanyaannya belum mendapatkan jawaban.
Mendengar rentetan pertanyaan itu, Anorah pun menarik napas lalu menghembuskan perlahan. Dengan sangat terpaksa gadis itu tersenyum lalu menjawab pertanyaan Pierce. “Pierce, bagaimana aku bisa pulang jika tak ada tumpangan? Lagipula, mereka juga tidak akan membiarkanku pergi dengan mudah.” Mereka yang dimaksud sudah pasti Danar beserta Inir.
Dengan santai, Pierce bersandar pada dinding yang berada di sana. Menatap Anorah dengan alis sedikit terangkat kemudian kembali lontarkan pertanyaan. “Kenapa tidak kau coba untuk mengambil kapal milik orang lain saat aku sibuk mengacaukan kota? Lagipula, bukannya kau bisa berenang? Mengapa harus repot mencari kapal jika kau bisa saja pulang dengan cara berenang.”
Anorah mendecak sebal. Dengan sabar, gadis itu kembali menjelaskan. “Aku sudah mengikuti saranmu untuk mencari kapal, hanya saja aku menunggu waktu yang pas untuk pergi. Dan untuk pertanyaanmu yang itu, aku tidak bisa menjawabnya! Sudahlah, lupakan. Sekarang jawab pertanyaanku!”
Pierce tertawa kala melihat lawan bicaranya terlihat kesal, terlihat jelas dari raut wajahnya yang kian memerah menahan kesal. Ia pun mengangguk, mempersilahkan gadis itu untuk bertanya. “Bagaimana dengan harta karun itu?" kembali diingatkan tentang peristiwa tadi, membuat Pierce kembali merasa jengkel.
Ia memalingkan wajah sambil menggerutu. “Mereka berhasil membawanya pergi, aku gagal.” Anorah terkekeh, mulutnya kembali melontarkan pertanyaan. “Dan kau pasti akan merebutnya kembali, benar?” kata gadis itu.
Pierce mengangguk mantap. Ia merasa tertantang, sudah pasti Pierce tak akan membiarkan siapapun memiliki apa yang seharusnya menjadi miliknya. “Tentu saja, itu milikku. Mereka tak berhak.” Terlalu percaya diri, tapi Pierce memang selalu seperti itu. Anorah mengangguk tanda mengerti, gadis itu menepuk pundak Pierce memberinya sedikit semangat. “Kau tak gampang menyerah, berusahalah.”
Kini keduanya tampak berjalan beriringan, membicarakan banyak hal dan juga tentu saja Pierce menanyakan perihal kemana gadis itu akan pergi setelah ini. Akankah ia langsung pulang kembali ke Telaga Api atau justru dia menetap di pasar gelap. Pierce tidak perduli. Sore itu ditutup oleh dua orang dengan perbedaan tujuan. Pierce yang hendak berenang ke lautan, dan Anorah yang hendak pulang entah kemana.
Tapi mungkin kalian sudah tahu bagaimana jalan pilihan Anorah Masaid. Ia tetap ikuti saran Danar, barulah menumpang di kapal suatu komplotan perompak. Begitu cerdik.
—
JAGAU PUN MEMBALAS makian Anorah ke kru kapal. Ia sedari tadi hanya diam sambil meneruskan pandangan kekecewaan. “Jadi selama ini ... kau adalah siren, Anorah?”
“Bukan, dasar bodoh. Kau lihat 'kan aku ini berbeda dengan yang lainnya. Kenapa? Kau akan menertawakanku karena itu?” tutur kata Anorah penuh tekanan hingga buat nyali Jagau ciut. Seolah Anorah benar-benar membencinya kini.
Anum pun membalas, “Aku hanya kecewa, kenapa kau menyembunyikan rahasia itu dari kami. Bukankah kita semua, teman?”
Anorah berdecih. “Kita? Tidak ada kita, kau dan aku, itu bukan teman!”
Jagau tak masalah dengan kata-kata kasar Anorah. Tapi nada bicaranya begitu dingin. Ia bersikap seolah mereka adalah musuh sungguhan. Padahal Bada sudah ceritakan bahwa Baldomar yang menghancurkan Telaga Api, bukan Loka Dè Janitra.
“Lalu, apa benar kau hanya memanfaatkan kami sebagai alat transportasi? Waktu yang kita habiskan bersama bagimu itu sia-sia?” Arung bertanya dengan nada kecewa.
“Bukankah itu sudah jelas? Jangan-jangan kalian masih berharap aku kembali ke kapal kotor itu?” Perut Anorah mendadak terasa geli, ia tertawa. “Kalian ini masih saja naif.”
Setelah itu Arung tak lagi berbicara. Tiba-tiba atmosfer pun berubah saat reuni penuh haru itu lebih mendominasi. Jauh dari yang dibayangkan, Anorah terlihat begitu bahagia dapat bertemu dengan saudara-saudaranya kembali di sana.
Raina menyambut Anorah dengan bahagia, “Anorah. Kau masih hidup?” Ia mendekap.
“Tentu, Raina. Aku bersyukur sebagian dari kita masih hidup! Apalagi mengetahui jika Bada sudah kembali ke telaga.” Kerumunan para siren itu menjadi hening. Tapi mereka tersenyum saat tahu jika Anorah mencari.
“Aku tidak lama untuk pergi, hanya saja melindungi telaga di perbatasan.” Dengar itu, seketika Anorah merasa bodoh karena sempat berupaya mencari Bada di daratan walau tidak benar-benar dilakukan. “Nah, sebagai perayaan, mari kita bunuh mereka semua dan menenggelamkannya ke jurang.”
Mereka pun kembali menoleh ke area penyekapan itu, manusia-manusia itu masih menjaga kehidupan. Walau napas mereka semakin terkikis oleh gelembung yang hendak pecah beberapa menit kemudian.
Anorah mulai menunjukkan gigi taring, saat Araf hendak menyerang. Jagau terlihat menggeleng kuat-kuat, menandakan bahwa ia tetap tidak mau teman mereka terluka. Jadi Araf menurunkan tangan. Sedikit kecewa tetapi setuju akan pendapat Jagau.
“Kurasa inilah akhir dari kisah kita, aku bahkan tidak menyangka akan membunuh kalian di sini.” Anorah segera mencapai mereka, meski dalam dasar hati ia masih rasakan sesuatu janggal. Tapi, sebagai Penjaga Telaga, sudah seharusnya dia menyingkirkan orang-orang yang telah merusak kedamaian tempat keajaiban.
“Matilah saja kalian!” Raina tertawa puas, Anorah semakin ragu. Apa tindakannya itu benar untuk dilakukan sekarang ini?
“Sialan, jangan berani kalian menyentuh kru kapalku!” teriak Hala yang baru sampai.
Selanjutnya apa yang akan terjadi? Manusia dengan hati mulia ingin menyelamatkan para kawan-kawan, sekaligus Anak Poseidon serta ksatria kebanggan Loka Dè Janitra sudah datang. Peperangan sebentar lagi hendak dimulaikan di depan mata.
BERSAMBUNG ...