Kamis, 27 Juli 2023

VOL—VII: PRIA MERAH DAN PERI BERSISIK.

SEHABIS SUKSES KABUR dari Pasar Gelap, para awak kapal hendak pergi beristirahat sejenak setelah berlari kencang dalam waktu yang terbilang tidak singkat. Walau begitu, mereka berhasil mengapung di laut lepas. Tetapi badai lain datang mengacau.

Kapal bajak laut gadung berniat seberangi lautan untuk hampiri pulau depan mereka. Badai yang datang bak tamu tak diundang tersebut membuat para kru panik bukan kepalang. Sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan datang cuaca buruk, kemudian langit mendung disertai angin kencang tentu membuat seluruh penghuni kaget.

Sebisa mungkin mereka mempertahankan kapal agar tetap berdiri juga tak mudah bila tersapu ombak sekaligus ribut angin. Pada proses tersebut, kapal sukses berdiri tapi mereka kehilangan awak baru mereka yaitu Anorah yang menghilang. Semua dilanda kekhawatiran serta rasa bersalah tentang ke mana Anorah pergi saat mereka tengah tergesa-gesa mengatur kapal? Apa yang terjadi padanya? Apakah ia jatuh ke laut? Atau mungkin, berhasil pergi ditelan kabut?

Surya berpamitan, menarik gulungan awan untuk menyelimuti. Malam pun kembali tuk sapa dunia, menggantikan mentari yang tengah bersinar lama di langit. Suha tengah bersandar di punggung Gauri, begitu pun sebaliknya. Mereka saling membelakangi tapi fisik masih terkoneksi. “Apa lebih baik kita kembali ke Ragnarok saja? Aku merasa khawatir pada Anorah.” Suha menatap penyebaran koloni bintang-bintang di mana berserakan luas ke angkasa. Ia bergumam sembari membayangkan rupa lugu Anorah.

Elf tanpa sayap itu menekuk lututnya. Dia sembunyikan kepala dalam lipatan tangan. Nampak bermurung hati. Wajahnya sama sekali terlihat tidak senang ketika berhasil bebas dari pengeroyokan pengawal Silvrout karena tak ada guna bila tetap kehilangan kawan mereka. “Seharusnya tadi aku lebih mengawasi Anorah,” ujar Gauri penuh sesal sebab mengaku bekerja sama dengan gadis barista tersebut selama di kapal. Gauri pun mendongak setelah beberapa saat, netra lebih sembab dari sebelum. “Apa Anorah ... baik-baik saja? Ini semua salahku,” lirihnya entah kenapa mendadak hati perih terasa.

Kapal yang berhenti itu semakin terasa sepi sekaligus dingin. Suha berbalik, ia menarik bahu Gauri supaya keduanya berhadapan. “Hentikan pikiran jelekmu. Anorah tidak mungkin bodoh sampai dia ceroboh jatuh dari kapal begitu saja.” Benar. Meski baru mengenal Anorah sehari, Suha sudah bisa memahami sifat teman dan menganalisis cara berpikir orang dengan sangat baik.

“Siapa sangka, 'kan? Tidak ada yang tahu. Kau ingin melanjutkan perjalanan tanpa Anorah? Kapten pun pasti tak bisa tenang saja.” Gauri menunduk, tidak ingin air mata terlihat jatuh di depan kawan. Suha penuh perhatian mengusap punggungnya lembut.

Araf beserta Arung belum membuka suara sejak mereka keluar dari Ragnarok. Padahal keduanya yang seringkali bertengkar. Tapi kini diam mereka menandakan bahwa Loka Dè Janitra sudah terlalu lelah melanjutkan perjalanan. Semangat ikut padam diredupi oleh badai permasalahan terus-menerus. Sedang Jagau terlihat lemas walau perut sudah diisi asupan makan. Mungkin karena terlalu banyak menggunakan tenaga.

Lalu Livana bercerita ke Haki mengenai ruangan lama Nabeel dekat penjara bawah tanah di mana ia temukan setelah bebaskan kapten mereka. Terdapat ketidakwarasan rencana Nabeel yang ternyata memang sangat ingin membahagiakan sang adik. Hal terbodoh pernah dilakukan manusia, setelah Nabeel pergi pun, Haki sama sekali tak merasa bahagia. Kemungkinan ia lepas itu menangis diam-diam sehingga mata sembab tanpa dipinta untuk keluar sendiri.

Bangsawan lain, Anggun, walau sang putri mengaku tak ingin disebut bangsawan lagi. Ia hanya melirik-lirik canggung semua kru kapal. Diri tersebut tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya selain dengan sabar menunggu keputusan Hala hendak kemana. Terlihat Loka Dè Janitra dikerumuni pupus harapan. Bagian mereka sedikit tak lengkap lalu bagaimana agar tetap seimbang dalam melangkah ke atas perairan besar?

Di tengah-tengah itu, Hala akhirnya keluar dari dalam kabin dengan langkah berat. Ia menghela napas panjang sebelum bersiap mengeluarkan kata-kata. “Seperti rencana Danar, kita harus ke pulau seberang. Untuk mencari tempat yang bisa beri petunjuk.”

Dan mereka pun setuju berangkat pagi-pagi sekali setelah setidaknya istirahat cukup.






SEMENTARA DI PULAU GEOWYTH, salah seorang penghuni di sana yang sudah lama bertempat di sana mengernyit. Ada satu kapal tengah menuju ke pulaunya dengan kecepatan tinggi. Ia mulai memberikan tatap intimidasi. Pria ini pun mulai beranjak dari lantai dua istana besarnya untuk pergi menyambut atau bersiap mengusir mereka.

“Bajak laut,” gumam pria tersebut sambil menggertakkan gigi. Matanya nampak semakin menyeramkan dan ia hampir tertawa dalam hati karena mengetahui para perompak itu cukup berani datang kemari menggunakan kapal butut yang sangat lama sekali modelnya. Tetapi kelompok mereka terlihat kuat dan tak tergoyahkan.

“Aku belum melihat mereka sebelumnya di pulau ini.” Langkah kakinya yang lebar dan cepat diayunkan kala mengetahui sebuah gerombolan manusia tersebut hendak betul-betul menginjakkan kaki, ia berusaha mencari tahu siapa orang-orang asing itu.

Pria bernama Dhavi Dja, mengernyitkan kedua alis. Sedikit merasa janggal tatkala melihat para perompak itu terlihat seperti gembel dengan pakaian compang-camping. “Mengapa pakaian mereka buruk sekali? Tak seperti perompak pada umumnya, hanya seperti para pengungsi,” ucapnya sambil sedikit merasa lebih baik karena pakaian yang dipakai Dhavi lebih ke khas bangsawan kuno. Dalam hati mampir rasa was-was tapi keberanian tetap terpancar, guna mencari informasi valid di dalamnya.

Saat anggota perompak tersebut mulai turun satu-persatu, mereka pun terkejut saat Dhavi menghampiri dengan penuh terburu-buru. Atau mungkin bisa dibilang terlalu cekatan. “Mengapa kalian kemari, wahai orang asing?” Didekati gerombolan itu, ia menatap salah satu perompak yang paling tak berjarak dari jangkauannya.

“Aku Araf. Di laut ada badai yang besar, apakah kami boleh untuk menunggu badai reda di pulau ini?” jawabannya tenang hanya saja nada bicara Araf terdengar begitu angkuh dengan tatapan nyalangnya. Dhavi semakin dibuat bingung, tak sedikit senang jawaban ketus Araf. Jelas nampak dari pulau bahwa tak ada badai di laut.

“Darimana badai besarnya? Lihatlah itu, tak ada badai dan semuanya baik-baik saja,” kata Dhavi membuat Loka berpikir, namun sayang Dhavi dapat dengan mudah baca pikirannya. Sebelum para Loka menjawab, Dhavi melanjutkan kalimat setidaknya untuk membuktikan bahwa tak ada yang aneh dari pulau ini.

“Ikutlah denganku, aku akan membawa kalian beristirahat.” Dikesampingkannya rasa curiga, maka Dhavi membawa Araf beserta perompak lain untuk pergi ke rumah Anum. Alih-alih membawa mereka dalam istana yang hanya berisi darah dan daging mentah.

Ketika mereka telah sampai pada rumah Anum, dengan sang pemilik yang tengah menari lihai. Kebiasaan dan kemampuan menarinya memang patut diacungi jempol.

“Anum. Berhentilah menari sebentar,” interupsi tiba-tiba dari Dhavi membuat Anum terkejut dan marah. Lantas tubuhnya berubah menjadi Veela dalam bentuk asli, belum sempat Dhavi menghindar tapi nyatanya dia kalah gesit dengan Anum yang kini mencakar Dhavi menggunakan kuku tajam dan menusuk tepat di tangan kiri.

“ARGHHH, ANUM!” pekik Dhavi kala itu.

Hal tersebut tak luput dari pandangan para perompak itu, mereka kaget setengah mati kala melihat betapa bringasnya Anum. Memikirkan bahwa mereka telah salah untuk memercayai Dhavi mencari tempat berlindung. “Aku rasa kita harus kabur sekarang juga. Sebelum kita akan dicakar pula oleh makhluk itu.” Haki berkata penuh keseriusan pada raut wajah.

“Tapi jika kita lari, kemungkinan besar yang kita dapatkan adalah dikejar oleh makhluk itu tanpa ampun. Tidakkah kau lihat betapa kuatnya makhluk itu?” Suha bagi pikirannya demi memikirkan segala hal terburuk jika mereka lebih memilih untuk berlari.

Anum kini mulai mendekat dengan wujud manusianya. Ia seolah lupa akan apa yang dilakukan pada Dhavi. “Apa ada yang bisa aku bantu?” Anum berucap santai, tak ada rasa sungkan atau bersalah di kalimatnya.

“Ah, tak ada. Kami akan pulang, nikmatilah waktumu— ....”

“Benar, kami membutuhkan bantuan. Ada badai di laut, jadi kami perlu untuk sekedar menunggunya reda hingga kami bisa lanjut perjalanan.” Gauri secara terpaksa harus memotong perkataan Haki, menggelengkan kepala pada anggota lain.

“Apa kalian tidak merasa berhutang budi pada Dhavi yang telah berkorban untuk beri perlindungan pada kita? Setidaknya kita tahu cara berterimakasih,” bisik Gauri itu disampaikan pada anggota yang protes.

“Baiklah, ucapan Gauri ada benarnya. Jadi, mari istirahat sebentar.” Haki menyetujui diikuti dengan anggota lain yang perlahan menganggukkan kepala tanda kesepakatan.

Mereka pun akhirnya sudi untuk mampir, dengan baiknya Anum menyiapkan makan untuk mengisi perut-perut yang kosong. Ruangan itu terlihat ramai, para manusia mulai berbagi cerita sembari menikmati makanannya. Berbeda macam Dhavi, ia pilih diam dan tengah mengobati luka sendiri akibat dari Anum si makhluk cantik namun keji itu.

“Boleh aku tahu siapa namamu? Oh iya, aku Arung. Namaku Arung,” suara itu terdengar pada rungu Dhavi, mengalihkan perhatian sebentar pada seorang laki-laki yang duduk di sebelah kursi.

Dhavi mengangguki kepala singkat tanda mengerti, lantas menjawab, “Dhavi Dja.”

“Baiklah, Dhavi, aku sedikit penasaran dengan dirimu saat melihat pertama kali. Dan sepertinya kau bukan orang biasa.” Arung menunggu fakta yang akan keluar dari mulut Dhavi, lantas dibuat penasaran setengah mati.

“Kupikir kau sudah paham siapa aku karena menatap tepat di mata. Aku adalah seorang vampir. Aku pernah berjanji pada iblis bahwa aku ingin mendapat kekuatan. Tapi ternyata setelah kudapatkan kekuatannya membuatku abadi, dan aku menyesalinya. Berkali-kali aku kehilangan teman bahkan keluarga, sedangkan diriku tetap diselimuti oleh keabadian dan itu sangat menyiksa, kau tau? Seperti hanya aku yang tersisa di muka bumi ini.” Arung terdiam, ikut sedih merasakan betapa sulitnya keadaan Dhavi.

Jagau yang duduk tak jauh berada pada keduanya mendengar semua, turut prihatin kala cerita itu terlontar dari bibir Dhavi. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa dia mengetahui Dhavi adalah seorang vampir membuat dirinya ketakutan. “Maafkan aku, Dhavi.” Permintaan maaf Jagau membuat Dhavi bertambah heran, Ia rasa Dhavi baru bertemu dengan Jagau. Lantas, untuk apa permintaan maafnya?

“Untuk apa?” pertanyaan itu terlontar dari bibir Dhavi, menelan kenyataan pahit yang siap didengar.

“Kaumku sebagian mungkin membunuh keluarga beserta kawanmu, Dhavi. Pack Wolf, meski bukan aku yang membunuhnya tetapi aku tetap merasa bersalah karena mereka adalah salah satu bagianku pula. Mohon maafkan aku dan kaumku,” ucap Jagau dengan murung tetapi berhasil menyulut emosi Dhavi.

Sumbunya yang pendek cepat tersulut, menggunakan satu tangan yang tak luka dengan kekuatan melesatnya, Dhavi pun menghempaskan tubuh Jagau pada dinding rumah Anum membuat kericuhan baru tak terduga. Mereka mulai saling beradu seolah pertarungan siapa terkuat di muka bumi ini. Bahkan suara Hala berniat menghentikan saja tak ingin mereka dengar. “HEI! DHAVI, JAGAU! HENTIKAN.” Rungu keduanya bagai tuli, tak memperdulikan sekeliling sehingga mulai berantakan peletakan benda-benda di rumah Anum akibat ulah keduanya.

Sebuah pot melayang begitu saja pada udara dan tepat mengenai kepala Dhavi, sang pelaku utama nampaknya terlihat geram. “Aku akan membantumu Jagau. Dasar vampir tak punya sopan santun.” Emosi Araf rupanya ikut tersulut melihat Jagau yang diserang tiba-tiba oleh Dhavi. Lantas menggunakan kemampuan telekinesis Araf mencoba agar memberi pembelaan pada Jagau demi menemukan jika atmosfer sekitar kian memanas.

Pertarungan ketiganya itu seolah tak ada habisnya, entah sudah berapa cara mereka gunakan untuk melerai. Livana yang terlampau muak, memilih menggunakan sihirnya agar berhasil melerai mereka. “Berhenti kalian para pengacau. Kita adalah tamu di sini, hargailah Anum yang bersusah payah memberikan rumah sebagai tempat berlindung. Jika kalian masih egois dengan mengikuti emosi, baik kalian bertarung di luar saja. Jangan mempersulit keadaan.” Ketiganya berhenti tatkala sihir Livana bekerja beserta peringatan pertama dikeluarkan dari si pemilik sihir.

Dirasa sudah mulai tenang, Jagau dan Araf kembali ke meja makan diikuti dengan Dhavi yang mendudukkan dirinya untuk mengobati luka pada tangan, atau mungkin luka baru tercipta setelah pertempuran mendadak tadi. “Kau tak perlu merasa sendiri Dhavi. Aku jadi teringat dengan kakakku yang memiliki kisah sepertimu.” Arung menerawang ke depan mencoba mengingat pada masa-masa itu. 

Sedikit kiranya membuat Dhavi penasaran, kisah seperti apa yang kakak Arung lalui. “Iyakah? Kisah apa?”

Arung mencebikkan bibir. “Kakakku hilang dalam pelayarannya menyusuri samudera. Dia sosok yang begitu gigih dan suka hidup dalam kesendirian. Hilang pun tanpa ada yang mengetahui jejak terakhir, karena dia benar-benar berjuang sendiri. Namun naas, kesendirian itu membawa kakakku pada lubang yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Aku harap kau tak akan seperti kakakku, oleh karena itu jangan pernah merasa sendiri Dhavi.” Arung menepuk pundak Dhavi pelan, memberi semangat.






MASIH BERTEMPAT PADA kediaman yang tak begitu besar milik Anum Maina para kru Loka Dè Janitra berkumpul di antara meja makan. Sebagai niat ambil masa untuk rehat, mereka sibuk menyantap makanan yang sudah Anum sajikan. Ruangan meja makan penuh oleh suara mereka.

Dhavi masih nampak murung, tepat salah seorang di belakangnya yaitu Anum berdiri, “Kau tak sendirian Dhavi, meskipun para kaummu t'lah pergi kau masih ada aku,” sangkalnya.

Si putri musim dingin pun jadi penasaran. “Memang kenapa mereka semua pindah? Apa rumahnya hancur?” tanyanya dengan mulut penuh makanan. Anum pun balas tatapan Anggun teduh. “Tempat tinggal kami yang dulu telah dirusak oleh para iblis tak punya hati, sebagai bayaran atas dosa leluhur Veela lain. Dan kini para Veela mulai belajar sihir agar dapat membalas dendam suatu saat nanti. Begitu juga berpengaruh oleh kaumnya Dhavi karena kami berasal dari daerah yang sama dan juga ... itu sebabnya aku dan Dhavi dekat bahkan saat ia sedih aku pun ikut merasakannya. Ingat semasa kita kecil Dhavilah yang menjadi temanku walaupun kami punya perbedaan,” ucap Anum bercerita penuh.

Anggun mengangguk, ia jadi ikut sedih setelah mengetahui cerita sesungguhnya. Begitupun para kru loka lain yang ikut mendengarkan, mereka semua merasa prihatin. Hala duduk di ujung meja mulai bersuara, “Tak apa, Dhavi dan Anum, ya setidaknya kalian masih bersama satu sama lain dalam kelompok.” Di tempatnya Dhavi mengangguk. “Kau benar kapten, dan juga Anum, terima kasih,” katanya tulus.

Anum tersenyum. “Aku setuju dengan Hala,” ujar Anum, “Aku mungkin bisa mati sendirian jika tak bertemu Dhavi.”

Jika dongeng menceritakan kaum Dhavi dan Anum, akan selalu terlihat seperti antagonis, namun kini yang ada di depan mata adalah sungguh di luar perkiraan. Dua makhluk inu konon katanya dikutuk justru terlihat menyedihkan. Sendirian di pulau antah berantah dengan diburu rasa balas dendam sangat menyulitkan, Anum ingin hidup lebih baik dan layak.

“Kau tinggal dengan siapa?” Gauri bertanya, pertanyaan yang polos karena Anum membalas dengan tawa.

“Aku tinggal sendiri,” jawabnya, walaupun ia datang bersama Veela yang lain, Anum tidak memiliki keluarga atau kerabat. Dia hidup mandiri.

“Kau ini bagaimana, Gauri? Anum bilang sedari tadi kalau ia memang tinggal sendiri,” ucap Araf, Gauri hanya menatap sinis Araf, tidak mau disalahkan.

“Nona, kau tau? Walaupun kami telah berlayar cukup jauh, selalu terselip hal hal memalukan.” Arung membuka suara, suasana berganti menjadi lebih santai.

“Dan kau peran utamanya,” sahut Hala.

“Kapten?!” ucap Arung tidak terima. Walaupun seperti itu, Arung tetap yang paling semangat menceritakan hal bodoh sekaligus memalukan pernah terjadi selama perjalanan. Tidak pernah sebelumnya suhu rumah Dhavi sehangat itu, penuh gelak tawa dan kebahagiaan.






ACARA MAKAN ITU telah selesai dengan perut penuh kebahagiaan karena tak ada lagi rasa lapar yang menyerang setelah pengembaraan jauh. “Berkelilinglah sejenak sembari mengenal tempat ini. Mungkin Dhavi bisa menjadi pemandu wisatanya.” Seperti yang diharapkan dari Anum, dirinya akan melimpahkan semua tugas pada Dhavi sedari tadi hanya menyimak.

“Haruskah aku?” Anum memberi anggukan dengan senyum manis namun terlihat sangat menyebalkan di mata Dhavi.

“Kudengar di sini terdapat sebuah istana yang megah. Bisa kita mampir sebentar?” tanya Anggun secara antusias. Lalu Dhavi terdiam, tujuannya mengajak mereka ke rumah Anum adalah untuk menghindari kawasan istana. Justru ingin pergi ke sana.

Maka dengan tegas Dhavi jawabi, “Istana itu sangat privasi, tak sembarang orang bisa berkunjung. Apalagi kalian hanya orang asing yang hanya mampir untuk menghindari badai.” Cukup masuk di akal jawaban Dhavi membuat para anggota mencoba mengerti dan memahami.

Keadaan semakin ramai dengan kesibukan masing-masing yang berusaha mengetahui lebih banyak tentang rumah Anum atau bahkan pulau ini. Karena merasa sudah tak cukup ada urusan, maka Dhavi beranjak dari tempat berdiri supaya bisa pulang ganti pakaian.

Setelah beberapa langkah berjalan keluar dari rumah Anum, Dhavi dapat merasakan seseorang mengikutinya. Hala, orang yang diyakini sebagai kapten para perompak itu tengah membuntuti. “Bagaimana jika aku menyesatkannya?” gumam Dhavi membuat rencana baru agar Hala tak menemukan istana miliknya. Dia mulai berniat memilih jalan berlawanan arah menuju rumah, namun tak sesuai diharapkan justru Dhavi dapat melihat Hala masuki goa sebelum ia berbelok ke arah yang salah.

“Apa yang akan dia lakukan di dalam goa itu?” Ada setitik rasa penasaran sekaligus kasihan apabila terjadi sesuatu pada Hala ketika berada di dalam goa. Langkahnya kembali ingin menghentikan niat Hala, namun urung ketika kepala menyuruhnya untuk bergegas pulang. Maka yang dapat dilakukan Dhavi adalah berdecak, lalu kembali memutar tubuh, pergi secepatnya dari tempat itu. Bergegas pulang ke istana.





BERSAMBUNG ...

Rabu, 19 Juli 2023

VOL—VI, {2}: BONGKAR KECURIGAAN KITA.

DI ISTANA RAMAI milik Kerajaan Silvrout, bisa dilihat jika langit yang begitu cerah adalah waktu tepat untuk jalan santai atau bermain dengan hewan peliharaan di luar. Tapi berbeda dengan Putri Anggun saat ini, ia sedari tadi hanya berjalan kesana-kemari dengan air muka panik karena mendapati kalung kesayangan pemberian ibu hilang entah kemana. Anggun mengelilingi kamar luasnya selama hampir satu jam habisi bahkan sudah ia buka seluruh lemari tapi nihil, kalungnya betul hilang dari pandang.

Anggun hampir menyerah untuk mencari lebih lanjut di setiap sudut kamar, sampai ia pun memutuskan bertanya pada kakak—Pangeran Kemal sang putra mahkota, dan lagi-lagi ia tak mendapatkan informasi apa-apa yang bisa berguna, sebab ternyata ia juga sama tidak tahunya.

Anggun hilang harap, ia terduduk di suatu kursi kosong dalam kamar sembari tahan amarah dan berpikir. Mungkin kali ini juga ulah pelayan istana yang kerap mencuri barang. Bagi Anggun, kalung tersebut sangat penting juga berharga. Ia selalu memakai kalung itu pada tiap-tiap acara pertemuan bersama orang-orang penting hingga bangsawan terhormat dengan maksud untuk menahan kekuatannya keluar, juga menahan diri agar Anggun tak akan menyerang siapapun. 

Sampai beberapa jam terlewat, tak ada kalung berkilau yang ia temu, pula petunjuk satu pun. Saat ini, Anggun hanya mampu berpasrah, namun bukan putri bila ia mudah menyerah begitu saja. Ia butuhkan hiburan demi melepas penat. Maka memilih untuk bermain di hutan belakang istana bersama peliharaan kesayangan—Dean si singa—nampak ide bagus juga.

Seperti sedang menemukan emas di tengah hutan gelap gulita, saat Anggun sedang seru bermain dengan Dean. Ia melihat seorang pelayan melewati hutan dengan pakaian tertutup juga gelagat yang cukup mencurigakan. Tanpa berpikir panjang, Anggun menghampiri pelayan tersebut secara tegas lalu bertanya, “Hei, kau seorang pelayan? Darimana asalmu sampai datang dari dalam hutan?” Konon siapapun manusia memasuki hutan tersebut, ia akan mudah tersesat jika hanya sendiri. Itulah sebab Anggun curiga akan aksi pelayannya.

Pelayan yang merasa terpanggil langsung berhenti dan berbalik ke arah Anggun. Ia menjawab gugup. “T-tidak ada, nona. Aku hanya berkeliling mencari angin segar.” Ada nada gemetar pada suaranya, tapi mencoba untuk biasa saja dan tetap sopan karena takut Tuan Putri di depan semakin curiga. Anggun pun memicingkan mata, lalu tatapi sekitar secara skeptis. Nada bicara sudah aneh padahal baru ditanya satu soal.

“Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Jawab dengan jujur selagi aku masih bertanya baik-baik!” Pelayan itu enggan mengatakan kebenaran, ia terus mengelak seluruh pertanyaan yang Anggun berikan. Karena tidak ada pilihan lain, Anggun pun mengancam pelayan tersebut dengan kekuatan es. Walau benci melakukan sebab setelahnya bisik-bisik kebencian kembali mengudara, tetapi apa boleh buat, demi informasi baru. “Apa kau tetap berani akan berbohong?” Pelayan tersebut merasa terancam, terpaksa ia walau tak sudi untuk mengatakan kebenaran, “I-itu ... saya baru saja kembali dari pasar gelap untuk menjual sesuatu.” Anggun mengernyit.

Akhirnya ia mendapatkan jawaban, namun malah muncul pertanyaan baru di kepala. Dahinya pun mengernyit berpikir penuh.

Tempat apa itu? 

Dimanakah letaknya? 

Mengapa ia tak pernah tau bahwa ada pasar gelap di pulaunya?

Anggun pun membiarkan pelayan tersebut pergi, sementara ia berdebat dengan segala pertanyaan yang memenuhi kepala. Tetapi jika ia hanya berdiam, tak akan ada jawaban didapat. Karena tak mau ambil pusing, Anggun pun mengajak Dean untuk mencari Pasar Gelap yang dimaksud pelayan tadi. “Mungkin berpetualang sedikit tidak buruk, ya, 'kan, Dean?” Anggun akan mencari pasar itu sendiri. Berkat bakat Dean mengendus secara tajam jejak bau pelayan tadi, Anggun tak mungkin mengalami tersesat di hutan.






JAGAU DITEMANI OLEH Arung beranjak keluar dari penginapan untuk mencari makanan agar bisa dikonsumsi oleh Jagau. Cuaca sedikit lebih baik dari hari kemarin saat mereka baru menginjakkan kaki di tempat itu. Kira-kira setelah berjalan cukup jauh sampailah mereka pada sebuah kedai yang menjual berbagai daging segar juga makanan cepat saji, tanpa menunggu lama mereka masuki kedai bersama. “Ayo, Jagau, duduklah, sarapan lebih dulu di tempat ini, sembari aku memilih daging segar juga beberapa makanan untuk lainnya nanti.”

Setelah pesan beberapa makanan, mereka berdua lanjutkan kegiatan dengan sarapan. Saat sedang makan secara nikmat, sebuah suara mengalihkan perhatian mereka. Yang datangnya dari segerombolan pria paruh baya, terlihat seperti pedagang sedang menikmati waktu istirahat mereka. “Kau dengar rumor kemarin? Katanya Putri Anggun adalah seorang monster.”

“Hei, kupikir dia bukan monster! Melainkan anak penyihir! Lihat saja kuasanya.” 

Ssstt kecilkan suaramu bodoh! Jika dia seorang penyihir berarti ratu kita juga termasuk penyihir, begitu?”

“Aku rasa tidak, sepertinya dia bukan anak seorang penyihir melainkan anak yang terkutuk,” sahut pria lain tengah memakan daging rusa panggang.

“Ya, kau benar, tuan. Anak terkutuk dengan kekuatan es-nya itu mungkin saja akan menjadi pembawa kematian bagi raja juga anak-anaknya yang lain.” Setelah curi-curi dengar tanpa sengaja tersebut Arung tatapi Jagau bersamaan mereka saling berbagi pikiran, seperti berkomunikasi melalui mata. Mereka mendapat informasi menarik, Arung akan memberitahu kawanannya tentang putri ini nanti. Sesudah selesai makan, mereka pun pergi membayar.

Tiba-tiba dari arah belakang seseorang menyenggol bahu Arung sehingga badan dia oleng kedepan, dengan reflek yang cepat Jagau merangkul bahu Arung mencegah pria yang lebih kecil darinya itu terjatuh bersamaan dengan makanan yang sedang ia pegang. 

Arung kesal, ia menatap laki-laki itu dengan tatapan tajam, punggung tegap bersama pakaian berjubah hitam tanpa menutupi lengan itu ia beri tatap permusuhan. Arung lepas cepat rangkulan Jagau pada diri dan membalikkan tubuh laki-laki itu. “Hei! Kau tidak mengetahui tata krama?! Bisa tidak kau mengantri dan jangan mendorong orang lain seenaknya dengan tubuhmu?!”

Laki-laki dengan mata setajam mata elang hanya menatap aneh Arung, salah satu alisnya terangkat. Melihat respon pria tersebut membuat Arung semakin murka, hampir ia melayangkan pukulan ke wajah jika saja Jagau tidak menahan. “Sudahlah, Arung, biarkan saja. Kita itu buronan, jika kita membuat ulah lagi di sini, habislah.”

Dengan wajah tidak terima, Arung menuruti Jagau lagipula Arung tak ingin kehilangan kepalanya lebih cepat dari perkiraan. “Tcih, ya, sudah. Ayo kita bayar lalu pergi.” Arung selesai membayar kemudian, mereka keluar bersama dari kedai tersebut. 

Selama perjalanan mereka cari persediaan untuk diletakkan ke kapal. Jagau semakin resah, seolah seseorang mengikuti mereka di belakang. Tapi saat menoleh cepat, mata menangkap perlakuan semua orang normal saja tanpa suatu keanehan. Jadi dipaksalah ia abai pada hal tersebut walau hati sudah penasaran bukan main. Siapa orangnya.

Pasar Gelap semakin siang akan kelihatan lebih ramai. Seperti biasa, suara nyanyian, sahutan penjual yang mempromosikan tak lain dan tak bukan adalah dagangannya. Lalu orang-orang emosi sebab meminta diskon serta tawa keras gerombolan warga asli sekitar terdengar dari jarak beberapa puluh meter dari bar itu—tempat Arung jua Jagau lewati saat ini. Tiba-tiba Jagau tak beri aba-aba, mempercepat langkah sambil terus berharap semoga seseorang tak lagi ikuti mereka berdua atau ...

Sosok pria berjubah melesat keluar dari belakang bar. Jagau tersentak kaget. Orang itu terlihat mirip dengan Danar! Jagau pun terpaksa buru-buru putar haluan, supaya tidak ketinggalan apapun.

Arung yang ketinggalan di belakang ikutan terkejut jiwanya. “Jagau, tunggu!”

BRAK!!

Jagau meringis lalu mengusap lengannya yang tergores kayu. Ia terpaku, berusaha mencerna keadaan. Tahu-tahu sebilah belati menempel erat mendekati leher. “Diam dan jangan bergerak,” suara Danar berdesis di telinga Jagau. “Atau kupotong tenggorokanmu.” Jagau sontak gemetar.

“HEI, DANAR, APA YANG KAU LAKUKAN!”

Danar mengangkat alis. “Dia mengikutiku.”

Jagau langsung mendelik. “Jangan bohong! Kau yang mengikuti kami, sialan.” Setelah dengar respon Jagau, Danar tertawa. “Kau memang tak mudah dibohongi, ya.” Eh ... Danar, indra penciuman dan pendengaran Jagau itu tinggi. Tak mungkin serigala bisa dibohongi dengan mudah oleh bandit saja.

Lalu Danar menggiring Jagau ke pinggir hutan perbatasan pasar tanpa menjauhkan letak belati dari leher. Arung jelas semakin merinding, bertanya-tanya niat Danar yang tak jelas sedang apa. Walau Jagau terlihat gemetar akibat kaget, entah kenapa justru ia sama sekali tak merasa takut jika nyawa terancam. Mungkin karena ia manusia asli serigala juga Danar sampai harus berjinjit sedikit untuk meraih leher si lawan.

“Aku tidak tahu apa masalahmu, Danar, tapi tolong jangan menghalangi. Kami harus segera pergi membeli barang persediaan sebelum matahari terik tiba atau anggota lain akan mencari kami.” Tetapi Danar tidak menjawab. Ia menekan belati sedikit lebih dalam—refleks Arung meringis ngeri.

“Kau mencariku,” geram Jagau pelan. “Apa urusanmu?” Terlihat Danar langsung beri senyum. “Pertanyaan bagus, Jagau,” sahut Danar senang. “Sebelum itu, biar kutanya dulu— ...” Jagau hendak membuka mulut agar dapat memprotes namun sebelum ia sempat bersuara, tangannya dicekal kuat. Danar entah bagaimana bisa sekuat itu untuk ukuran manusia biasa. Jelas Jagau tak ingin melukai diri sendiri, ia secara cepat memelintir tangan Danar hingga ujung belati menempel di punggung sendiri. Arung berteriak histeris, Jagau tak bisa bergerak leluasa. “HEI, BERHENTI!”

Jagau melepaskan genggamannya di tangan Danar setelah itu. Belati si bandit jatuh berkelontangan pada tanah. Jagau langsung terduduk lemas, napas memburu. Arung buru-buru menghampiri, mengecek luka tusuk yang nampak hanya menancap sedikit. Keringat dingin mengalir deras di dahi mereka. Mata Danar menyipit, ia jadi merasa bersalah serta kasihan sekaligus karena Jagau hanyalah bocah serigala polos tak tahu apa-apa justru diancam dengan mudah oleh bandit licik. Jagau memang bukan tandingan Danar. “Kalau kau tadi tidak agresif, mungkin tidak akan perlu sampai begini jadinya,” ucap Danar.

Jagau mengerut tak suka karena merasa disalahkan. Padahal Danar memulai dulu pertengkaran mereka. “Apa maumu?” tanya Arung cepat daripada waktu keburu siang.

Kini giliran Danar yang tergagap. Yang pasti ia tidak begitu yakin kenapa ia sebegitu penasaran soal identitas Jagau, dan setelah dipikir lagi, rasanya tidak sopan bila tiba-tiba menanyakan hal seperti itu pada orang di pertemuan kedua mereka. Danar mungkin bandit penipu dan pencuri handal, tapi dia juga memikirkan ihwal tata krama. Hanya saja karena mereka sudah terlanjur sampai berdebat begini, sayang pula jikalau kesempatan ini terlewatkan.

“Asal kau tahu saja, Jagau. Setahun lalu, aku pernah melihat potretmu di Pasar Gelap ini. Dalam sebuah koran,” ujar Danar memulai sebuah ceritanya. Jagau terkejut. Serigala yang tak pernah keluar dari wilayahnya di Hutan Crophaya ini, ternyata dikenali oleh seseorang. Kejadian tersebut tak biasa terjadi kalau kebetulan belaka.

Danar kemudian menunduk. “Wajahmu itu dicari oleh orang-orang di Pasar Gelap saat malam bulan purnama. Kau buronan kota sebelah bahkan sampai sekarang. Rencana pencarian mereka dihentikan sebab mereka sudah berpindah tempat. Aku bahkan sempat diperintahkan untuk mencarimu.”

“Oleh siapa?” Arung bertanya cepat.

Danar menoleh santai. Bibirnya mengerut. “Ada tiga orang. Aku tidak tahu juga nama mereka siapa. Karena aku menolak untuk mencarimu yang bahkan belum pernah kulihat.” Arung pun mendecih. “Mereka tuh pelangganmu, ya?” Danar mengangguk singkat. Di mana berarti tiga orang tersebut sengaja meminta Danar mencari Jagau karena Danar terpercaya memiliki koneksi luas dengan banyak orang dan makhluk.

Jagau yang tadi terdiam pun mendongak dengan wajah memelas. “Apa kau tahu soal tujuan mereka mencariku?”

Rupa Danar nampak ragu-ragu ingin coba menjawab. “Ya ... aku tak tahu pasti. Tapi aku mendengar sekilas percakapan.”

Arung dan Jagau memajukan muka mereka. Serius mendengarkan cerita Danar itu.

“Mereka mencari manusia serigala murni. Untuk dijadikan kelinci percobaan mereka.”

Mendengar itu, sontak Jagau langsung saja merinding. Ia takut sesuatu akan terjadi. Maka ia meminta Arung untuk segera pulang. Karena mereka sendiri belum selesai beri bahan pengisi kabin. Danar ikut bantu menenangkan, jikalau orang-orang pencari sudah tak lagi tinggal di Pasar Gelap jadi sementara mereka berjalan-jalan, Jagau aman tanpa diburu manusia. Setelah tenang, mereka berpamitan pergi. Rupanya tujuan Danar hanya memastikan.

Lesmana Danar adalah gudang informasi. Tapi ia juga seorang bandit pencuri, sama seperti Arung. Ia pernah bekerja sebagai informan bayaran sekalipun. Orang-orang sudi membayar jasa Danar untuk mencuri sesuatu atau memberikan informasi apapun yang ingin pelanggannya ketahui. Mayoritas berupa mencari isi surat cinta hingga suatu barang bukti panas agar berguna di sebuah pengadilan nanti. Danar tidak begitu peduli soal jasanya sampai siapa pelanggan dia. Bagi Danar, pekerjaan dilakukan secara rapi lalu dibayar dengan pantas itu penting.

Danar pun peringkatnya sangat top-tier di Pasar Gelap ini. Semua orang tahu soal si Pencuri Hitam dan ‘jasa pencuri ahli’ yang ia tawarkan—meski tak pernah ada promosi terang-terangan. Hanya bisik-bisik tersebar tanpa diminta melalui rumor jua gosip. Banyak orang tak percaya ia benar-benar ada. Tapi tak sedikit orang-orang berusaha mencari tahu tanpa menghasilkan apa-apa.

Hidup sering kesusahan membuat Danar terpaksa bertahan di kota sendirian dengan mengandalkan pencurian. Kebiasaan buruk itu menjadi aktivitas normal di mana suatu bagian tubuh sudah menyatu utuh bersama profesi tersebut. Jari-jari Danar sering gatal bahkan saat ia punya cukup makanan dan uang. Tidak mengherankan rekan kerja atau kenalan di suatu tempat bisa curiga benda-benda baru bawaannya.

Tetapi, percayalah, Lesmana Danar sama sekali bukan orang jahat. Setidaknya itu sifat asli, beda perlakuan lagi jika pria bandit tersebut bersanding dengan Hala.






SEORANG GADIS DI sudut kanan suatu kios nampak tengah mengangkat aksesoris dengan permata Batu Zamrud menghiasi pinggiran, ia biarkan matahari menyinari. Emas yang mengelilingi memang imitasi, tapi batu permata tersebut asli. Si gadis bertanya-tanya idiot macam apa sudah tega menempelkan Batu Zamrud bagus ke emas palsu. Lagipula perhiasan itu adalah pemberian ibunda, jadi ia tak boleh protes.

“Kalau tidak punya uang, jangan kau berani pegang-pegang,” kata pemilik kios dengan mengejek. Gadis itu melirik sekilas secara sewot tapi juga sungkan pada tatapan mata birunya. Ia kembalikan aksesoris ke dekat perhiasan lain. Pemilik kios sudah menatap sinis ketika mengerti ia tidak segera pergi.

Gadis bertudung hitam itu memperhatikan perhiasan-perhiasan lain yang dipajang di kios bobrok tersebut dengan sedih. Sebab semua barang-barang adalah curian dan palsu. Hanya seperempat bisa dikatakan asli dibuat sendiri. Pemilik kios padahal memasang harga hampir tiga kali lebih mahal—tetapi sengaja untuk untung. Ia sudah belajar mengenai perdagangan jadi si gadis tak bodoh menghadapi situasinya.

“Paman,” panggil gadis bertudung, “Kalau perhiasan ini kutukar dengan bulu Burung Phoenix apa boleh?” tanyanya seraya tanpa ragu menunjuk benda yang dipegang pertama tadi sesaat setelah sampai.

Si pemilik kios memicingkan mata. Yang diacungkan tanya pun mendengus. Lalu ia tertawa keras sampai tersedak. Gadis di hadapan menunggu sabar sementara sang penjual terbatuk sambil menyumpahi dia. Pria itu mengusap mulut dengan lengan kekarnya kemudian memicingkan mata lagi.

“Bulu Phoenix!” teriaknya kencang sekali. “Dasar gadis idiot! Kau jadi budakku saja seumur hidup pun tidak akan cukup untuk membayar itu. Kau berani mau menukarnya dengan Bulu Phoenix!” Orang itu meludah. Gadis bertudung mengangkat alis jijik.

“Aku tahu harga, paman. Barang-barang di kios paman semua palsu. Bukan perak dan emas permata kelas tinggi kecuali kalung yang kuincar.” Gadis bertudung mengambil kalung dengan jari telunjuknya. “Jangan kira aku tidak tahu darimana paman dapat kalung ini. Seseorang sengaja jual— ...”

Mulut si gadis dipaksa bungkam. Wajah pemilik kios nampak langsung memucat. Ia menatap sosok di depan bak hantu seram. Beberapa saat ia terlihat kesulitan bicara. Kemudian menyemburlah, “Apa maumu?”

Gadis bertudung tersenyum lugu. “Kalung itu. Bulu Phoenix saja aku punya sepuluh.” Ia mengeluarkan beberapa akar bulu dari dalam tas. “Susah mencarinya di kala— ...”

BRUK!!

Tiba-tiba kalung di tangan sudah lenyap ke genggaman gadis bertudung. Ia membuka mata cepat dan badan sudah mendarat tepat ke jalanan Pasar Gelap. Spontan ia mengikuti arah tubuh menghadap, segera mungkin berdiri merapikan pakaian walau kepala sejenak jadi berkunang-kunang.

“PERGI KAU! TAK USAH KE SINI LAGI!”

Pemilik kios bersumpah-serapah, tapi si gadis bertudung tak menyerah dengan mudah. Ia meirik cepat ke arah pinggir jalan bagian kiri, mengantongi kalungnya diam-diam dan merogoh tas. Ditinggalkan Bulu Phoenix secara cuma-cuma sambil gadis tersebut berteriak, “Terima kasih, paman!”

Ia buru-buru berjalan pergi untuk berbaur di kerumunan orang-orang, barangkali paman itu mengamuk lagi. Ketika sudah berjarak lumayan jauh, pemilik kios nampak berjalan ke tengah jalan untuk mengambil Bulu Phoenix tadi. Sambil mengutuki jejak si gadis, dia kembali di balik meja kios lalu menunggu pelanggan lain datang lagi.

Selama pelariannya, gadis tersebut hanya sebentar kabur sampai ia berhenti untuk mengatur napas. Sebelum lanjut berjalan, dua orang asing datang menghampiri dia.

“Nona, apa kau tidak apa?”

Si gadis terbengong-bengong. “Aku tidak apa-apa, memangnya kenapa?”

Lelaki yang bertubuh lebih tinggi memberi alasan, “Tadi aku lihat kau dilempar oleh pedagang kios dengan sangat kasar. Itu bisa saja menyebabkan patah tulang, jadi kami khawatir sesuatu terjadi padamu.”

Ah, jadi itu sebabnya ...

Gadis bertudung itu tersenyum canggung. Seolah malu karena ketahuan dilempar tak sopan begitu. “Maaf. Aku diusir tadi, jadi pemilik kios sangat kasar. Oh, iya, siapa nama kalian?” tanyanya penasaran kuat.

Pembawa plastik beraneka ragam isi beri jawaban lebih dulu. “Arung saja. Yang di sampingku Jagau.” Jagau berikan lambai tangan dengan kikuk, sedang Anggun jua mengangguk kaku. “Kalau aku Anggun.” Anggun menatap penampilan keduanya bingung. “Kalian pendatang baru?”

Arung dan Jagau kompak mengangguk. “Benar. Kami sedang mampir sejenak beli sesuatu. Katanya pasar ini terkenal jual barang-barang lengkap soal kapal.”

Kapal. Satu kata tersebut bersarang di otak Anggun. Merasakan bahwa ia memiliki satu kesempatan untuk kabur. Dipikirkan dulu secara matang-matang walau singkat kali.

Sebelum Jagau sempat ingin mengobrol lebih jauh, perkataannya disela. “Berarti kalian akan pergi dari pulau ini? Kapan?” Mereka berdua saling pandang, Jagau pun berniat menjawab. “Aku tak tahu. Mungkin secepatnya. Setelah ini kami akan pulang ke penginapan lalu pergi dari pulau.”

Anggun terkejut. Kedua tangan saja bertaut takut. Ia kemudian melangkah mendekati keduanya demi membisikkan sesuatu. “Aku butuh bantuan kalian, tolong bawa aku ikut serta pergi. Seseorang mengancamku.”






DI SINILAH MEREKA SEKARANG, berlari dari kejaran para pengawal istana yang tak ada habis. Anggun ada di punggung Dean dan juga Jagau sebagai tumpangan Arung. Mereka kabur setelah membantu Anggun untuk mengambil barang-barang penting lalu pergi bersama-sama. Namun siapa sangka? Kepergian Anggun merupakan hal paling dilarang oleh Putra Raja Pertama yaitu Kemal yang sangat overprotektif pada sang adik. Entah ada motif apa tetapi jelas, Anggun tak nyaman lagi tinggal di istana.

Kasta memang bukanlah segala-galanya. Kuasa yang dimiliki oleh sang putri saja tak cukup untuk menutup mulut orang-orang tanpa hati nurani sebab berani juga benci pada putri kandung ratu mereka. Tiada henti ia menerima sumpah serapah dan istana bak penjara sendiri bagi putri musim dingin ini. Ditambah, menemukan fakta bahwa sebentar lagi seseorang mengancam hancurkan jiwa Anggun Keninggar tersebut.

Harusnya Anggun lari bersembunyi melihat Kemal dipukuli. Harusnya ia pergi untuk lindungi Kemal ketika ayahnya meneriaki.

“Anggun tak perlu lagi tinggal di sini jika bisanya menjelekkan reputasi kita saja!”

Tanpa sadar, Anggun menangis di pelarian.

Wara-wiri pengawal yang mengepung pun semakin padat ketika mereka berempat sudah sampai ke area sekitar penginapan. Incaran pengawal itu nampak mulai lempari serangan brutal demi mencegah Anggun pergi. Bahkan walau diberi ruang untuk berbincang sejenak secara damai saja, tak diizinkan oleh Anggun. Takut anggota bajak laut ini justru ditangkap, bikin kesal saja.

DUM!!

Dentuman dari bukit es besar berasal dari kekuatan Anggun mulai menghantam satu wilayah Ragnarok bahkan sampai Silvrout. Hujan serpihan salju mulai berdatangan. Warga lain mulai beramai-ramai saksikan kekacauan tersebut. Dibantu oleh pasukan Loka Dè Janitra, Anggun tak kewalahan.

Pemilik sihir hebat, Livana dan Araf. Dua pengendali ini berhasil mengatur langkah pengawal yang mendekat. Sedangkan sisa anggota lainnya, tetap gunakan tenaga manual untuk singkirkan pengganggu.

Hala sendiri masih memiliki kekuatan tapi berbahaya digunakan di tempat ramai. Apalagi situasi berkabut juga bersalju. Bisa saja, tsunami salju yang roboh datang dari pegunungan Silvrout bisa mengancam mereka juga. Jadi ia harus berhati-hati. Geram pun semakin dirasa. Dia sudah ramah datang, tetapi selalu kelompok mereka disambut oleh kekacauan meriah. Seolah menghambat langkah dari waktu ke waktu berlalu lebih cepat dari perkiraan.

Saat jalan terbuka sedikit, mereka segera berlari keluar secara bersamaan. Selalu saja perompak ini datang dengan hati-hati, pulang diikuti buru-buru. Gauri sampai harus merobek setengah gaun panjangnya agar ia bisa berlari lebih leluasa. Namun, langkah mereka tetap tertahan. Pangeran pemilik tahta dari Kerajaan Silvrout telah melompat dari kendaraan, dari langkah kaki atas ke langkah kaki bawah. Rambut pirang sengaja disibakkan ke belakang. Ia datang membawa pedang, ujung benda tajam terlihat mengilat. Siap menebas semua insan menentang kendali perintah Kemal.

“Kudengar kau dibawa kabur bajak laut rookie itu, Anggun. Dan anehnya kau sudi bergabung dengan mereka padahal baru bertemu beberapa jam yang lalu.” Kemal berjalan angkuh mendekati Hala di mana berdiri paling depan. Setelah didekati, gadis itu langsung ditutupi oleh asisten kapten dari awak kapalnya, Haki. Tak lupa menatap tajam Kemal tanpa gentar.

“Apa yang akan kau lakukan pada rookie memangnya, hah?” Haki menarik pedang, kilatan dari sana sudah berapa kali tergores pada permukaan tetapi masih jua terlihat tajam hingga menakutkan. 

Kemal mendengus. Tak percaya jika rekan bermain semaca kecil kini harus ia ajak bertarung bersama. Ia mendekatkan wajah pada pedang, memandang lembut. ”Kalau kau ingin bertarung, hajar saja pengawalku. Bukan aku, Haki.” Kemal bukan takut tetapi ia lebih tak ingin melukai teman masa kecil.

Hala menjambak rambutnya sendiri sebagai tanda frustasi. Dia ingin sekali mencekik orang-orang menyebalkan di sekitar. Lagi pun, kenapa Anggun yang notabene berupa seorang putri namun punya banyak musuh. Ia merasa panik, kesal, bimbang. Semua diadik menjadi satu bagai racun berlama-lama membuat sarang pada kepala. Hala bahkan belum memutuskan penuh, mereka akan pergi ke destinasi mana selanjutnya.

“Terus berlari,” suara berat Haki namun terkesan lembut didengar itu masuk ke telinga, gadis pemilik kuasa petir menoleh. Haki mulai mendekati wajahnya, ternyata ia sudah mundur entah bagaimana mereka selesai berbicara—Hala tidak dengar. Sang raja baru nampak meraba jemari, seperti bukan ingin menggenggam tetapi mencipta sebuah gestur. “Ada masanya kau harus acuh dalam menghadapi situasi maupun masalahmu, biarkan jari tengah berdiri menyelesaikannya.” Haki tersenyum miring dan Suha berdiri di sebelah seolah beri dukungan. Gadis pembawa kompas dengan berani menuntun kapten agar menutup semua jemari lalu sisakan jari tengah mengacung tinggi-tinggi ke sisi kanan.

Kurang ajar, pikir Hala.

Gadis itu tertawa apa adanya. Jalan pikir mereka berdua benar-benar di luar kepala. Tidak ada siapapun bisa menebak. Anggun justru menghela napas, coba singkiran rasa takut. Ia berdiri menghadap sang kakak masih dengan Dean sebagai tumpangan. “Kau aneh, Kak Kemal. Aku tak sudi mati di tanganmu apalagi pengawal. Kau sungguh berpikir bisa melakukannya pada kami?”

Gauri menepuk kening. Tuan Putri itu hanya akan menambah musuh baru. Sedangkan Suha mengernyit, kalau melukai secara fisik mungkin dia bisa menang. Tetapi diserang secara emosional boleh juga dilakukan. 

Kemal tertawa keras, tak terdengar seru. Sementara Kemal lengah, Anorah di mana posisi sedari tadi menonton. Ia berikan satu kode untuk menyuruh awak kapal Loka Dè Janitra kabur lebih dulu. Mereka pun cepat naik dan pergi tanpa perpisahan resmi. Di sana, Anggun juga langsung menyusul ke kapal pula. Anorah mengangguk mantap.

Ia menyerang Kemal dengan brutal, secara kuasa air itu sudah lama tak digunakan jadi tak terkendali ketika dipakai kembali. Gadis barista tersebut antara kesal atau kecewa, setelahnya puas sesudah beri serangan. 

Beberapa saat setelah ombak menyerang seluruh pasukan Kerajaan Silvrout. Anorah pun ikut berlari ke dermaga demi menyusul perjalanan bajak laut rookie tersebut. Ada kesepakatan terjadi sebelum Jagau dan Arung sampai rupanya. Wilayah Pasar Gelap siang itu menjadi semakin ramai walau bukan karena penduduk atau acara meriah, melainkan pelataran hampir hancur karena ulah perompak bawa keonaran. Lagi, dari jauh kau bisa kira Kemal masih berusaha mencegat Loka Dè Janitra kabur.

Bantuan tanpa diduga datang tiba-tiba. Danar juga Inir tertarik untuk turun karena tak senang tempat tinggal mereka diusik oleh bangsawan tanpa sopan santun. Buru-buru Loak Dè Janitra menarik jangkar lepas semua sudah hadir di kapal. Mereka cepat berlayar bak dikejar oleh kematian. Walau Danar baru menyadari sesuatu, “Ya ampun! Mereka lupa memberikan harta karunnya!”





BERSAMBUNG.

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...