Rabu, 21 Juni 2023

VOL—VI: KERIBUTAN DI DALAM RAGNAROK.

HURU-HARA MENGUDARA, menyorakkan ketakutan juga panik yang mencubit setiap jiwa. Berbondong-bondong menyelamatkan diri dari malapetaka atau mati tanpa harap.

Loka Dè Janitra berhasil menjauhi pulau Aestemore sementara semakin ditengok maka terdapat kebakaran besar dan semakin hancur kota kecil tersebut. Mereka pun menghabiskan waktu berlalu dengan membersihkan diri, mengobati luka, serta kembali memberi asupan gizi pada tubuh yang nampak hampir kurus.

Jagau duduk mengamati beberapa kru setelah selesai makan, pun bertanya lantaran tidak melihat salah satu dari mereka. “Dimana Haki?” Arung duduk di hadapan akhirnya menjawab, “Dia sedang di kabin, kenapa memangnya?”

Jagau menggigit bibir. Takut-takut ucapan dia selanjutnya dapat menyulut api kepala mereka lagi. “Apa dia masih saja diam?” Gauri ikut menyahut pula. “Tentu. Aku paham bagaimana perasaannya.”

Livana mengernyit. “Lebih baik kita tanya padanya, tujuan setelah ini akan kemana?” Ia bermaksud mengangarkan Haki. “Karena Pulau Aestemore sudah hancur, bisa dipastikan ia merubah tujuannya.” Suha yang sibuk mengamati peta pun setuju. “Tapi kita hanya memberi tumpangan saja.”

Gauri menunggu waktu tepat untuk bicara pada si bangsawan satu-satunya di sana. Kemudian memanggil pelan. Jawaban Haki jelas tidak semenyenangkan yang mereka pikirkan. Ia menyahut sewot. “Kau serius ingin bertanya hal bodoh di waktu begini?”

Sontak lawan bicaranya tergagu. Reflek ia melayangkan permohonan salah. “Maaf ... tapi aku harus bertanya supaya kami bisa mengantarmu.” Arung tahu bahwa Gauri bisa terpojok pun membantu berujar. “Dia benar, sobat. Kau harus tenang. Karena kami hanya bertanya. Atau mungkin kau memiliki cerita? Kami bisa mendengarkan.”

Haki menggeleng. Kepalanya menunduk ke bawah menandakan kesedihan mendalam. Tak biasa seorang pangeran berlaku begitu, postur tegap tubuh kini terlihat jadi lebih kaku bak kehilangan topangan. “Aku rasa hidupku sungguhlah terlihat menyedihkan. Dan benar apa kata Nabeel, aku sudah tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi. Apa yang kucari dan kujadikan tujuan sekarang? Tidak ada! Harusnya aku ikut mati saja.”

Gauri langsung dengan cepat menyahut. “Kau masih punya kami, Haki. Loka Dè Janitra sayang padamu. Kau masih bisa membangun kerajaanmu sendiri, 'kan?”

Yang diajak bicara mendecih sinis. “Asal kau tahu saja, membangun kerajaan tidak semudah yang kau bisa kira.” Karena Arung sudah tidak sanggup mendengar topik ini, ia kembali angkat suara. “Haki. Jaga emosi juga perkataanmu, duka pasti ada. Apapun yang hidup pastinya mati. Hidup 'kan selalu berjalan ke depan haki, kau tidak bisa hidup dalam penyesalan serta keinginan bersama kakakmu. Karena mau bagaimanapun, pada akhirnya kau hanya berdiri dengan kakimu sendiri tanpa ada dirinya. Kau pasti paham maksudku, bangsawan, jangan terus lukai diri karena kami pula khawatir.”

Jagau ingin ikut menghangatkan suasana dengan perkataan lembutnya. “Tenang! Semuanya akan baik-baik saja nanti. Haki, terima kasih telah memberikan petanya ya? Kami akan mengantarmu pada tujuanmu, bilanglah pada kami!” Tidak seperti harap, Haki menggeleng konsisten. “Aku tidak memiliki tujuan.” Tiba-tiba Gauri merasa de javu dengan kalimat itu begitu pula Arung beserta Hala karena mendengar dua kali.

Haki berdiri dari duduknya dan keluar kabin dengan membawa satu apel. “Aku langsung pergi saja.” Mengerti bahwa kawannya bisa kehilang satu, Livana bertindak. “Wait!”  Ia terpanggil dan Haki mulai dongkol. “Apa?!”

Araf tarik suara lebih dulu. “Kami juga ikut merasa berduka atas kakakmu yang tiada, Haki. Tapi pasti ada jalan ...” Dilihat Livana mengangguk. “Lagipula, kami tidak berniat untuk menyuruhmu pergi.” Araf kembali sahuti. “Kami hanya ingin kau memberikan keputusan. Apakah kau masih ingin lanjut ke perjalanan kami atau pulang saja?”

Gauri menarik sudut bibir melengkung ke bawah. “Mungkin kemungkinan buruk saat pulang adalah, kerajaanmu masih porak-poranda. Dan kau harus memulai semua seperti awal dengan sendirian. Itu sangat memberatkan, bukan?” Haki lempar tawa hambar. “Aku benci mengakui hal itu, tapi perkataanmu ada benarnya. Tapi ... apa aku masih diterima di sini? Bukankah kalian sangat membenciku?”

Beberapa dari kru nampak terkejut. Jagau lebih dulu menyanggah. “Tentu diterima! Tak ada yang membencimu, Haki. Kau sudah menolong kami, dan bahkan mengorbankan semuanya. Kau bisa menganggap kami rumahmu juga. Jadikanlah kami sebagai tujuanmu juga!”

Hati sang bangsawan pun menghangat. “Aku harap itu tidak akan memberatkan kalian. Karena, aku tidak tahu tugasku apa jika di sini. Maka, tolong, bimbinglah aku.”

Suha di ujung kapal tersenyum. “Baiklah. Saatnya mengganti arah tujuan kita!”

Arung pun menambahkan. “Cari pulau dulu untuk memberi makan Jagau.” Dan dibalas anggukan puas dari yang namanya disebut.






BEBERAPA JAM LAGI kapal bajak laut itu mulai memasuki kawasan Ragnarok. Pulau minim hukum, dengan bajak laut sebagai penghuni mayoritasnya. Angkatan laut tidak punya wewenang untuk ke sana, dan sulit menjangkau tempat ini. Bukan tanpa alasan Ragnarok menjadi surga para bajak laut, selain perlengkapan yang tak pernah habis serta hiburan tidak membosankan mereka, rum punya Ragnarok adalah bagian terbaik. Maka Loka Dè Janitra hendak coba melakukan pesta besar-besaran. Minum sekaligus menikmati waktu luang secara meriah. Adapun tempat khusus jika ingin menyewa sauna apalagi wanita.

Kekurangan Ragnarok yaitu tak sembarang bajak laut dapat melangkahkan kaki ke sana dengan tenang. Hanya nama-nama bajak laut berpengaruh di mana sering terdengar oleh telinga mereka yang sudah senior. Tapi jika bajak laut bobrok pemilik otak dangkal, tak akan ada tempat untuk menerimanya. Di Ragnarok, budaya rasisme cukup tinggi. Yang hebat menang, tak ada pondasi bisa diinjak. Secara singkat, Ragnarok menjadi destinasi istimewa bagi para bajak laut.

Loka Dè Janitra tahu desas-desus bila tak sembarang perompak masuki Ragnarok. Maka mereka sebisa mungkin bersikap tak mencurigakan agar menghindari tercipta masalah di tempat baru yang asing itu.

Kini mereka pergi ke tempat penginapan, sebelum pergi berpesta ternyata klub malam di Ragnarok sudah diberikan paket instan dengan tempat tidur. Sangat luar biasa bagi Arung yang senang menghemat uang. Setelah membayar pula, mereka langsung membagi teman sekamar. Pertama; Kapten Hala dengan Livana. Suha bersama Gauri. Arung-Jagau dan Araf-Haki. Tentu ada protes kecil di pasangan sekamar terakhir, entah Araf ingin mencari kedamaian atau Haki memilih egois karena tidur sendiri di satu kamar lebih nyaman daripada ditemani oleh penghuni dekat.

Sesaat menaruh barang hingga beranjak membersihkan diri, mereka bersama-sama masuk ke tempat khusus untuk minum. Nuansa cokelat kayu tua yang dipoles sedemikian rupa membuatnya terlihat megah walau pahatan sangat sederhana. Lima orang duduk di kursi dalam satu baris sembari memesan rum pada sebuah cawan. Sedang ketiga dari kru kapal berniat untuk memesan cocktail juga roti sebagai teman pengganjal lapar. 

Ada gadis yang bekerja sebagai bartender di sana. Rambutnya nampak dikuncir serta ahli sekali dalam membuat minuman. Pun ditambah ia ramah kali pada pelanggan. Mata berbinar itu bertemu netra tajam milik Haki. Mereka berdua seolah merasa bahwa sudah lama bertemu sebelum itu. Jantung kapten sendiri berdebar, baru pertama kali ia masuk ke tempat hiburan langsung. Dia pernah berandai-andai bagaimana rasa jika memesan minuman betulan, tak disangka hal tersebut dikabulkan dengan cepat.

Gadis bartender itu mulai membagikan minuman pesanan mereka tanpa memberi kata-kata. Kemudian ketika sampai di meja Haki yang tak meminta rum bersama Jagau jua Livana. Ia mengeluarkan suara. “Kau tak pantas berada di dekat orang-orang jelek, tuan.” Kemudian melenggang pergi. Sontak Haki tersipu padahal temannya tengah direndahkan. Tanpa sadar Haki berdiri dari tempat duduk tetapi Gauri datang menarik ujung pakaiannya. “Dasar tidak setia!” Kru kapal lain pun hanya melempar tawa.

Sang bartender akhirnya mengenalkan diri. Mengaku bahwa nama dia adalah Anorah Masaid. Bukan pekerja baru lantaran sudah di klub malam itu selama kurang lebih lima tahun. Walau Anorah mengaku jika wajah mereka sangat asing menandakan bahwa Loka Dè Janitra memang terlihat sebagai pendatang baru bagi Anorah sendiri. Tetapi ketika melihat Haki, perspektif itu berubah kalau mungkin sebatas teman dekat saja. Namun perbedaan penampilan juga sukses menipu pandangan Anorah terhadap Loka.

Seperti biasa, malam itu ketika mereka berpesta. Anorah ikut serta dalam hidupi topik pembicaraan pula. Banyak sekali membahas petualangan serta pengalaman yang sudah dilakukan, tambah lagi Anorah memiliki jalan hidup menarik sehingga tak membuat bosan siapapun pendengarnya.






PAGI INI, LOKA dengan pakaian lusuh milik mereka. Hendak menuju ke pasar gelap di mana kawasan itu sepenuhnya terhubung dengan Ragnarok untuk membeli peralatan bajak laut paling lengkap. Tak hanya itu, bahkan barang-barang haram dijual secara ilegal dalam tempat perjual-belian tersebut.

“Kalian yakin akan berpenampilan gembel seperti itu?” Araf melihat perompak itu dari ujung kaki hingga rambut. “Bah! Yang ada malah dijadikan roda gerobak!” Netra gelap miliknya berputar, tak bisa berkata-kata.

Haki berdecak malas dengar hal itu. “Kami tak butuh pendapatmu, Araf! Masih bagus ada baju ganti di kapal.” Terdengar yang diajak bicara sebisa mungkin 'tuk menahan tawa. “Penampilanmu makin kelihatan kalau bukan bangsawan.” Arung pun menyeletuk, “Ya, baguslah. Setidaknya sukses menutupi identitas kita.” Di tengah perdebatan kecil, Livana mengernyitkan hidung. “Arung! Kau tidak mandi, ya?” Arung melotot tak terima. “Hei, sudah! Enak saja.” Ia memprotes.

Gauri sendiri tidak percaya. “Tapi baumu seperti kaos kaki busuk!” Arung langsung naik pitam. “Diam kau nona berkuping lancip! Aku ini sudah pakai parfum.” Jagau dengan baik hati mengungkapkan fakta pahit. “Tapi, Arung, parfumnya kadaluarsa.” Suha sedikit terpingkal-pingkal. “Bahkan tempat menyimpannya penuh tumpukan kaos kaki.” Haki jadi tersenyum. “Astaga, tanpa dekat dengan Arung saja aku sudah bisa membayangkan betapa baunya itu.”

Secara kebetulan kapal tua ini menyimpan barang bagus di lemari paling bawah. Jika dilihat baik-baik memang kapal kokoh ini masih memiliki benda-benda utuh. Suha benar-benar menyimpan kapalnya dengan baik. Meskipun tak sedikit barang logam berkarat. Selain kondisinya masih layak dipakai. “Livana? Apa kau bisa membuat bajuku kelihatan pas?” Hala nampak ragu. Setelah kerap menghindari penyihir Livana karena masih tak enak dengan kejadian sebelum. “Kau mempercayaiku? Tenang saja, serahkan padaku.” Livana tersenyum sumringah lalu jemari mulai keluarkan uap mistis berwarna ungu. Kilauan kecil nampak mengangkat kain-kain berdebu pada gaun kuno Hala. Ledakan lembut mengudara, rambut terkibas sekilas. “Terima kasih, Liv.”

Yang pertama menyomot pakaian mewah adalah Haki. Tentu sebagai bangsawan ia tahu gaya busana mana untuk pantas ia kenakan. Setelan hitam beserta balutan jas cokelat sangat cocok bagi Haki. Sedang paling sulit diurusi adalah Jagau. Banyak sekali alasan agar menolak pakaian baru, katanya panas sekaligus sempit di tubuh. Dalam sudut pandang lain, kau bisa temui Haki melirik ke arah Araf juga kesusahan memakai baju nuansa hitam. Laki-laki itu menariknya ke bawah, kepala dia timbul dari kerah walau kesusahan. Entah kenapa kadangkala ia melihat Araf seperti Nabeel, tapi tentu kakaknya tak seenerjik pemuda Marat. Mungkin mirip pada ambisi mereka.

Salah satu dari mereka yang jadi terakhir bersiap adalah Arung. Ia tatapi pantulan punggung tegap dari cermin, bekas luka terpampang jelas pada wajah. Nampak helaan napas dikeluarkan berat, kemudian membaluti tubuh dengan jas merah.

Setelah memastikan bahwa semuanya berkumpul. Suha pun mengungkapkan tujuan kedatangan mereka ke Ragnarok. “Ingat, Kita hanya akan bertanya beberapa informasi ke Danar dan cari perlengkapan yang kurang, apa harus berdandan seperti menghadiri acara pernikahan?”

Arung secara insting pun membalas dengan goda. “Tapi pagi ini kau cantik, Suha.” Araf sendiri mengernyit bingung. “Maksudmu semalam Suha jelek?” Gauri yang tak ingin mendengar perdebatan lagi berusaha akhiri konversasi. “Suha selalu cantik, itu pujian.”






ORANG-ORANG DI SEKITAR luar dermaga adalah budak dari bajak laut yang kunjungi Ragnarok. Terlihat pada penampilan kotor serta lusuh mereka. Kaki para kru kapal pun kembali melangkah, menuju gerbang di mana terbuat menggunakan logam besi. Terdapat dua algojo menjaga ke dua sisi.

Hala meneguk saliva. Ia harus maju sebagai perwakilan berhubung dia adalah kapten. Gadis itu nampak tersenyum, sesuai dengan kepercayaan diri yang ia punya. “Saya ingin menemui Lesmana Danar.” Mata tersebut menatap lurus sekaligus tegas.

Dua algojo mengernyit. Salah satu dari mereka lempar tanya. “Siapa kalian?”

“Kami masih baru, wajar kalau kalian tidak mengenali.” Seiring dengan ia berucap, masing-masing dari anggota Loka Dè Janitra mewujudkan presensi dengan maju secara mantap. Berdiri sejajar di belakang punggung sang kapten. Livana ikut jadi pengucap meski gugup. “Maaf sekali, baru memperkenalkan diri. Kami adalah bajak laut Loka Dè Janitra.”

Kedua pria besar itu saling pandang, hasta mereka penuh cekatan membuka gerbang. Mempersilahkan para rookie masuk. Hal tersebut sontak membuat Arung kaget lantaran sudah bersiap untuk menghajar algojo kalau saja tak diizinkan masuk. Bahkan kru lain terkesiap, ternyata mereka mendapat akses gabung begitu mudahnya. Livana sendiri urung merapalkan mantra.

Mata Hala menerawang, dicarinya sosok Lesmana Danar dari lautan manusia. Sebab setelah gerbang dibuka, suara ramai para perampok dan perompak di sana langsung mengudara. Terbukti dinding logam itu kedap suara. Penampilan mereka tidak seperti bajak laut kebanyakan. Busana pun terlihat mewah sekali, meski beberapa wajah nampak terlalu menyeramkan.

Kelompok rookie akhirnya masuk. Atensi bajak laut lain di sana langsung menuju ke arah Loka Dè Janitra. Hala semakin gugup, peluh dingin sudah bercucuran dari pelipis. Sorak meriah berubah sunyi semata. Arung takut kejadian tak terduga bisa dimula jadi ia mengambil alih untuk berbicara wakilkan semua. “Permisi, kami mencari Lesmana Danar.” Mata orang-orang di sana mulai mengintimidasi hingga berubah semakin bengis setelah mendengar nama tadi.

Arung langsung membalas satu-persatu tatapan mereka yang seolah mengusir keberadaan Loka Dè Janitra. Sedangkan sisanya tak tertarik orang-orang bejat ke sekitar. Araf menguap beberapa kali, justru ia paling santai di antara semua. Sedang Gauri dan Haki hanya diam memerhatikan. Yang bangsawan perlahan meremat pedang dalam sarung terletak pada pinggang agar dapat berjaga-jaga. Sedang Suha melihat dengan sangat waspada gerak-gerik lawan bicara di depan. 

BRAK!

Mereka tersentak. Salah satu dari bajak laut turun dari meja, memegang cawan berisikan rum segar. “Ada perlu apa kalian dengan bajingan Lesmana Danar itu?”

Baru saja hendak menjawab, namun satu orang kurang ajar di belakangnya menarik cawan dengan lengkungan panjang itu secara tiba-tiba. Dagu Hala jatuh seketika.

“Ah! Aku masih haus, apa ini? Minumannya menggigit tenggorokanku!” Araf terbatuk. Kemudian tanpa rasa bersalah, ia menaruh cawan kembali ke genggaman orang asing.

Urat di kepala bajak laut tersebut muncul. Suara gesekan pedang mulai terdengar di rungu nampak ramai akan mengancam nyawa mereka. “Cari mati, ya?”

Gaya bajak laut rookie ini memang identik dengan kerusuhan. Waktu Hala sudah mulai bergerak panik, lanjut ia memelintir telinga Araf yang menjadi penyebab kekacauan. “Araf! Kau ini, tidak boleh meminum rum milik orang! Cepat minta maaf!”

Araf mendengarnya jadi tidak terima. “Hah? Rasanya tidak enak, kenapa aku harus minta maaf?!”

Hala jadi semakin frustasi. “Kau ini emang bikin kita dalam bahaya saja bisanya!”

CLACK!

Telinga Jagau yang tajam menangkap sinyal bahaya. Dilihatnya sebuah granat ditarik dari segel. Benda meledak itu sebentar lagi akan melayang ke arah mereka. Suha pun menoleh ke sana-sini, dengan cepat temui nampan jatuh datang lewat pertikaian tadi. Pengemudi kapal tersebut mengambilnya lalu ia lempar ke arah Araf agar keributan bisa dihentikan. Sedang Gauri segera ikut andil membantu, lemparkan panah ke sana.

PRANG! TAK! BOOM!

Granat itu berhasil meledak di udara. Maka akibatnya muncul kabut membutakan para penglihatan bajak laut. Ditambah suara yang berasal dari nampan jatuh berhasil mengalihkan perhatian semua, Loka Dè Janitra sedikit aman. Dari jauh ekor mata Jagau menangkap bayangan Danar dari kerumunan manusia. Datang sendirian tanpa Inir. Tangan Jagau pun langsung menarik segala anggota Loka menjauhi wilayah depan sehingga masuk ke bagian tengah. Haki sudah terengah-engah, ia masukkan kembali pedang ke sarung. Sepatu mereka dibuat melangkah cepat.

Danar tersenyum cerah. “Eits, tenang saja. Mereka kawanku, masih amatir pula. Wajar kalau mereka bingung karena baru pertama kemari.” Saat ia berbicara dengan mereka, Danar memberi kode lewat kepala agar seluruh anggota Loka masuk ke arah tuju.

“Yah, kami tidak ada masa untuk bertarung. Simpan saja omong kosong kalian dan pergi dari sini!” perkataan orang asing diangguki oleh Danar. Ia pun masuk ke tempat yang dimaksud. Sedang Arung diangkat bak karung oleh Jagau, jujur itu memalukan. Ia menutupi wajah saat Jagau berusaha mencegah tawa lolos. Sedang Araf digeret begitu saja oleh Haki, di mana kerjanya suka mencari perhatian. Mereka akhirnya masuk ke sebuah tempat, menyusul kapten sekaligus para gadis mereka dalam sana.

Satu-persatu anggota duduk ke kursi milik kedai tersebut. Arung melipat tangan pada meja, mengusap peluh. Namun mata justru melihat sesuatu familiar tengah berkilau. Punggungnya langsung berdiri. Gauri lihat itu menjadi tak ambil pusing. Sudah muak dengan kegiatan Arung yang mencintai uang sepenuh hati.

“Aku tak menyangka kalian datang secepat ini, apakah perjalanannya aman?” Danar bertanya penuh antusias. Ia pun memanggil pelayan agar membuatkan mereka minum.

Arung mengangguk. “Yah, aman, walau kami sempat hampir dimakan oleh Kraken!” Gauri mengangkat bahu. “Tapi kami bisa mengatasinya.” Suha setuju. “Karena kita semua kuat.” Livana tersenyum. “Apa yang tak bisa dilakukan Loka memangnya?” Araf nampak mendecih sombong. “Sebenarnya mereka menang berkat bantuanku.” Jagau mengernyit tak suka. “Araf jangan bohong!” Haki memutar bola mata malas. “Mulutmu itu banyak dustanya saja, ya.” Livana sudah bersiap mengeluarkan sihir. “Lama-lama mulut Araf akan kusegel.” Sedang Araf hanya memberi cengiran tak berdosa.

Danar mengangguk berkali-kali. “Baiklah, baik. Beruntung kalian semua selamat. Tapi aku terkejut, bangsawan ini jadi krumu?”

“Haha, panjang ceritanya ...” ia menjawab gugup. Percakapan mereka terpotong saat Gauri melotot melihat Suha mengintip menu minuman sedang Haki hendak mulai memesan, gadis itu berteriak ke arah dua orang. “Suha dan Haki! Jangan minum, aku tidak ingin kalian mabuk sembarangan!”

Dengan cepat Haki melempar menunya ke sembarang arah. Jagau bertukar pandang pada bandit di sana. “Apa rum itu sejenis anjing laut?” Arung mengangguk yakin di jawaban ngawurnya. “Benar.” Araf lagi-lagi menyaksikan kebodohan baru yang berhasil buat perut merasa geli. Mata emas Jagau justru berbinar. Livana menatap pemuda pemilik kekuatan dahsyat tersebut terlihat begitu polos. “Tidak sesuai penampilan.”

“Jadi apa yang kau butuhkan?”

Hala nampak mengeluarkan peta dari dalam saku kemudian menyerahkan pada Danar agar bisa ditelisik. “Aku mendapatkan petunjuk bahwa petinggi itu berada di tempat yang sulit ditafsirkan, tetapi aku tak tahu jalannya. Aku sudah mencari lokasi tepat dan mendapatkan peta dari Haki, namun, aku masih saja buntu.” 

Danar nampak berpikir sejenak lalu ia beri senyum setelah mengingat sesuatu. “Kalian hanya perlu pergi ke pulau ini,” ucap Danar sembari menunjuk letak pulau seberang.

Araf yang tahu sedikit informasi melayang protes. “Kau gila?! Itu rumah sekumpulan Veela menakutkan. Kami bisa mati di sana.”

Danar tersenyum miring. “Aku tak bohong. Memang harus kesana. Aku tidak akan beri saran apapun tetapi di pulau itu, kau akan menemukan petunjuk sesungguhnya, Hala.”

“Apa yang terjadi jika aku tak kesana?”

Danar menggidikkan bahu. “Kau bisa saja hanya berputar-putar mengelilingi laut jika tak kesana, tanpa menemukan titik akhir.”

Hala menjadi penasaran pada petunjuk dari Danar memiliki motif tertentu. “Bagaimana kau bisa tau? Apa rencanamu sebenarnya?”

Rupanya gadis di hadapan bisa menyadari rencana Danar. “Aku juga ingin menangkap petinggi itu tadinya. Bukan karena imbalan, melainkan akhir dari tujuanku.”

Hala masih sedikit tak paham. Kemudian ia mengorek lagi informasi. “Jadi kau pernah menyiapkan segalanya, tetapi mengapa tidak kau teruskan?” Danar merubah mimik rupa dengan meringis kecil. “Aku tak punya kawan, Hala. Aku tak miliki ambisi sebesar dirimu. Lagipula, aku percaya kau bisa temukan ‘dia’ sejak pertama aku memberi poster sayembaranya kepadamu.”

“Tetapi ... aku meragukan diriku sendiri ...”

Arung jadi ikutan sedih. Ia pun merangkul pundak Hala dengan lembut. “Nona Hala, aku tahu jika aku banyak khawatirkanmu. Tapi aku yakin kau bisa menjalankan ini.”

Gauri mengangguk. “Dan kau tak harus melangkah sendirian. Rasa khawatir kami makin menjadi-jadi bukan karena nyawa kami ikut bertaruh, melainkan takut jika dirimu semakin rapuh.”

“Oleh karena itu kami di sini datang untuk membantumu, jangan merasa terbebani begitu.” Suha tersenyum teduh.

Araf ikut menyahut. “Betul itu, kadangkala kau melupakan kebaikanmu sendiri.” Haki jadi terbawa suasana. “Apapun keputusan yang kau ambil, Hala, aku tetap berada di sisimu.” Jagau sekaligus Livana langsung meralat. “Kami juga!” Hala dalam hati tak sadar berterima kasih secara tulus.

“Baiklah, aku kehabisan waktu, aku harus segera pergi.” Danar pun berdiri dari kursi. Ia menggulung petanya kembali dan diberi pada Hala lagi. “Hei, mau kemana?” tanya Arung berbasa-basi. Danar sendiri memberi jawaban santai. “Menjual benda istimewa.”

Merasa bahwa informasi dari Danar sudah lebih dari cukup. Mereka pun setuju untuk kembali ke penginapan sebab istirahat jua diperlukan agar tenaga serta stanima bisa kembali kuat. Maka perjalanan bisa dilanjut besok karena Suha mengaku butuh tidur. Sedang Arung berpisah dengan rombongan demi mengantar Jagau membeli makanan berupa daging segar. Berharap nanti jika aktivitas keduanya lama, tak sampai pulang larut selama mengelilingi pasar gelap itu.





BERSAMBUNG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...