Jumat, 23 Juni 2023

VOL—V, {4}: PERTARUNGAN MELEPAS IMPI.

BIDIKAN SUHA BERHASIL melesat, Danar pun mulai melompat ke sebuah tali gantung, kemudian melakukan salto hingga kaki memapaki tanah dengan sempurna. Kegesitan lelaki itu membentuk gerakan indah, target ketapel dari Suha berhasil memutus tali yang menggantung tangan Jagau, hingga satu gesekan saja sudah dapat terlepas. Kerja sama mereka nampak ikuti intuisi, seolah terhubung sesamanya.

Prajurit segera ambil tindak atas kegaduhan yang ditimbulkan mereka bertiga, sedang Danar tersenyum melihat kepanikan pada mimik wajah para prajurit. Ia menendang perut salah satunya, membuat sang korban merintih serta jatuh ke permukaan bersama tombak tiada guna. Jelas alat tajam itu diambil Danar ketika mendapat kesempatan untuk mencuri. Kemudian Jagau diam melongo karena ingin menunggu aba-aba, ia tak mau jika berakhir mengacau rencana apalagi menyakiti sebagian rakyat tak bersalah. Juga ia merasa ragu oleh satu hal, kepada laksamana perempuan. Bagaimana jika si wanita berkepala tiga menaruh dendam?

Prajurit Aestemore semakin banyak datang sekaligus mengelilingi mereka dari segala arah, para militer pun memasang pelatuk mereka di lantai atas istana. Meski berhasil membalikkan keadaan, tetap saja Loka Dè Janitra masih kalah dalam jumlah. “Jangan bergerak!” ucap prajurit pada para pembuat onar di depan mereka.

Suasana berubah menjadi tegang, sorak gembira tadi digantikan ketakukan rakyat akan teror kegelisahan. Segera pihak yang bertugas mengamankan warga dan coba mengepung kelompok perompak. Serta bantuan tiba dari satu bidikan saja, sudah berhasil menggulingkan jejeran prajurit. Danar tersenyum, ia merasa bangga pada gadis itu sebab bisa melakukan bidikan sempurna. “Dia boleh juga.” Danar tatapi Suha dengan sedikit takjub sesaat ia ikut mengayun turun menggunakan tali.

Emosi yang sebelumnya pudar kini meluap drastis, air wajah sejuk berubah menjadi tak menyenangkan. Festival perayaan sehabis penobatan sang adik justru berlangsung dengan berantakan tanpa pembukaan apapun. “Kalian para bajak laut, memang sukar kedamaian. Bukan hanya di samudera, kalian selalu saja mengacau di negeri orang.” Nabeel memandang sinis penuh benci, ia melompat turun dari podium dan melangkahkan kaki secara tegas menuju posisi Danar.

String!  

Nabeel mengeluarkan pedang dari sarung. Ia mengarahkannya pada Danar sampai leher tergores tipis di ujung, sang empu hanya menatap wajah pangeran dengan tajam. “Segitu kau menginginkan harta karun itu?” tanya Nabeel skeptis ke Danar.

Danar tersenyum miring yang sama sekali tidak terlihat manis dalam posisi sekarang. Terkepung. “Semua orang tahu seberapa berharganya barang di peti itu, pangeran.” Di luar dugaan justru Nabeel langsung melayangkan pedang tajamnya untuk menebas kepala Danar. Jagau melotot, ia ingin menolong tetapi tak bersiap. 

Trang!

Satu ketapel dengan cepat menepis pedang di tangan si pangeran. Danar dalam hati berucap syukur karena tak jadi mati. Ia lirik cahaya dari arah atas, rambut si gadis nampak terbang oleh Dewi Angin, cokelat menyala berhasil pancarkan terik. Suha membuka salah satu mata saat fokus berhasil mengenai target. 

Nabeel mundur dua langkah perlahan, “Kalian semua ... bunuh mereka tanpa ada yang tersisa!!” Urat di kepalanya mendadak kencang, ia sungguh tak terima hari berjaya akan berakhir tanpa satu pun masalah bisa terselesaikan. “Habisi mereka, ayo habisi!!”

Sorakan prajurit maupun militer laut pun mengudara, gejolak amarah mulai kembali bergemuruh menyelimuti gairah perang. Suha langsung melompat layangkan tendangan, diikuti Danar mengambil perisai lalu melakukan gerakan memutar supaya dapat melempar benda itu ke depan. Beberapa musuh sukses terpukul ke belakang hingga mereka tumbang. 

Di tengah penyerangan, mata tajam Danar melihat bahwa Nabeel membawa pergi harta karun itu menjauh dari huru-hara. Karena tidak memungkinkan jika ia masuk ke dalam, maka berpindah tugas ke Suha. Kepala pun mendongak sekilas, berteriak, “Oit! Susul harta karunnya, Suha!”

Suha mengangguk. Tapi sebelum pergi ia menatap Jagau yang masih diam sedari tadi tengah menunggu aba-aba. “Jagau! Aku mengandalkanmu, lakukanlah apa yang bisa kau lakukan! Lumpuhkan semuanya!”

Jagau menyetujuinya. “Aku mengerti!” Ia pikir tak perlu berbuat banyak hal. Yang penting lumpuhkan mereka dahulu sampai tidak bisa berdiri dan menyerang dengan menambah pasukan lagi.

Suha melangkah terburu-buru untuk masuk ke istana. Ia tak lihat jalan hingga sampai salah pijakan. Dirinya terjeblos pada salah satu atap kayu hingga jatuh. “Pinggangku!” Gadis itu memejamkan matanya sembari meringis, ia yakin tidak makan banyak sampai berat badan naik drastis. Bahkan belakangan ini sedang miskin jadi makan cukup sehari sekali. Namun bangunan mungkin memang sudah tua, ia mendarat di tempat paling rendah, gempa bisa terasa di sekitar. Hal tersebut sebabkan figura ikut terlepas dari dinding lalu pecah kacanya membuat persegi lain keluar dari balik debu sana. Sebuah foto keluarga berbahagia.

Kepala penuh tanda tanya. Ketika melihat seorang anak laki-laki tengah genggami tangan sang ibu, Suha pikir dia adalah Haki. Namun, anak itu lebih mirip orang yang membawa harta karun tadi alias Pangeran Nabeel. Wanita tersebut nampak tersenyum bahagia, lalu pria di samping adalah sang raja dari kepala keluarga tersebut—ayah Haki dan Nabeel. Suha menduga, “Apa ini foto sebelum Haki lahir?” sebab umur Nabeel masih sangat kecil di foto, ditambah wanita dalam gambar berpose dengan memegang gundukan atas perutnya.

Sebelum Suha berpikir lanjut, gempa pun semakin melanda tempat itu. Pasti Jagau sudah mulai menyerang para prajurit maka debu hingga kertas-kertas tua jatuh secara berhamburan pada atas kepala sampai ke lantai. Mata Suha pun tak sengaja beri pandang ke sebuah koran harian lama milik Aestemore lalu membaca judul pertama karena huruf dibuat lebih besar ketimbang lainnya. “Ratu keguguran setelah mengandung dua bulan ….”






LEMBAB PADA SEBUAH ruangan sunyi pun tiba dihadiri oleh ketiganya. Ada debu yang menemani di setiap sudut. Ruangan itu hanya dijaga oleh satu penjaga, manakala sudah lama bekerja untuk Keluarga Sabilal. Ia dipercaya melakukan tugasnya meski melakukan dengan sangat berat hati.

Tok, tok, tok!

“Pak, tolong, pak! Mayatnya hidup lagi!” teriak Gauri sedikit histeris. Dari balik lubang di mana ada satu-satunya celah yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dikarenakan ruangan cukup kedap suara. Gauri berteriak keras disertai kepanikan dalam nada bicaranya. Penjaga otomatis berbalik memastikan keadaan, “Ada apa?”

“Ada mayat hidup, pak! Sungguh! Kalau tidak percaya, lihatlah kemari!” 

Penjaga tersebut merematkan tombaknya, membuka pelan pintu kayu yang tebal itu untuk mengetahui masalah mereka. Lalu tangan gesit dari dalam ruangan langsung membuka pintu lebar-lebar, cahaya dari lentera pajangan depan pintu masuk begitu saja. Berhasil menampakkan tumpukan mayat tergeletak di sekitaran tempat tersebut kemudian seseorang berdiri pada tengah-tengah dengan jalan tertatih-tatih.

“Bisa dilihat 'kan, mayat hidupnya?” Gauri mengarahkan telunjuknya ke arah orang itu, penampilannya kotor dan bersimbah darah. Namun, saat si penjaga hendak mendekati yang disebut ‘mayat hidup’, mendadak pandangan menjadi gelap. Seseorang telah menutup kepalanya dengan kain basah. Gauri menoleh cepat. “Haki, sekarang!”

Haki keluar dari persembunyian sembari membawa botol yang terbuat dengan gelas kosong. Ia memukul kepala penjaga lewat alat itu, hingga pecah menjadi beberapa kepingan besar. Oknum bertugas pun pingsan secara mudah. Gauri serta Haki sontak memberi apresiasi kerja keras mereka bertiga. “Mampus! Pergi sana kau ke alam baka!”

“Kerja bagus, bangsawan buangan!” Haki mengernyit tak suka dengar pujian itu. “Hei, aku punya nama!” Namun, Gauri tak mengindahkan ucapan si lelaki.

“Astaga, pura-pura menjadi hantu ternyata sesulit ini.” Arung nampak mengeluh kecil. Muka sudah terlihat masam setelah rencana mereka sukses besar. Ia melepas kemeja tipis milik salah satu mayat tak bernyawa kemudian menyeka tubuh kotornya. “Bagaimana aktingku? Sudah keren belum?” tanya Arung minta validasi.

Haki melirik acuh. “Lebih dari totalitas.” Ia menendang tubuh sang penjaga sekadar untuk mengecek kembali. “Aku tak sedang memujimu omong-omong.”

Arung memutar bola mata malas. “Aku pun tidak mengharapkan pujianmu, bertanya saja.” Ia nampak mengendus-endus bau badannya. “Tapi baguslah, tidak sia-sia aku menahan mual saat mencium bau busuk di sekujur tubuhku. Tcih! Gorila betina itu pasti akan memintaku agar mandi seratus kali nanti!” Arung mengeluarkan kelesah.

Gauri tersenyum mengejek. “Wah, wah. Aku laporkan pada kapten karena kau berani memanggilnya gorila.” Urat di kepala Arung reflek muncul, ia menggertakkan gigi. “Hoi! Kau senang melihatku dipukuli kapten, ya? Lagipula kupikir kau akan menyuruh Haki yang menjadi mayat tapi aku korbannya!”

Mereka berancang-ancang untuk memulai perkelahian, Haki menggeleng lelah. Lalu terpaksa menarik keduanya untuk masuk lebih dalam ke istana. Gauri masih sahuti Arung dengan realistis. “Wajahnya bisa dikenali nanti. Kau ingin ditangkap, ha?”

Arung menyengir lalu geleng kepala gugup. Haki tak kuat menahan amarah lagi. “Cepat tinggalkan tempat ini, jangan berisik! Dasar lamban.” Sedang Gauri menepis tangan Haki, lanjut melangkah sendiri. Tetapi Arung justru menyilangkan kedua tangan di depan dada, wajah nampak tidak ikhlas. Mereka sempat berdebat sebentar hingga bangsawan tersebut segera mengeluarkan pedangnya. “Kau ingin jalan sendiri atau kupajang kakimu di depan gerbang?”

Mata Arung melotot, ia berjalan cepat langsung menyusul Gauri di depan. Tak butuh waktu lama hingga mereka sampai ke lantai atas. Mereka pun menuju ke tengah untuk melihat keadaan di bawah, apakah masih ada penjaga ataupun tidak. Tak lama mereka dikejutkan oleh getaran yang membuat benda-benda pajangan milik dinding mulai berjatuhan. 

Biru pada netra Haki mengilap saat tangkap bayangan itu berjalan membawa sebuah kotak cukup besar. “Nabeel!” Hati nampak memanas, gejolak amarah perlahan ambil alih diri. Segera ia berjalan mundur, siapkan ancang-ancang lompat. Lalu berlari untuk melompat ke punggung Arung. “Argh! Sakit hoi, punggungku!” Gauri menatap kasihan.

Aksinya berhasil membuat Arung langsung jatuh tengkurap sembari pegangi punggung sehabis digunakan oleh Haki sebagai tempat kaki berpijak. Di mana ia berhasil melangkah ke arah pagar pembatas lalu melompat lagi. Arung cepat-cepat bangkit untuk melihat apa yang terjadi. Ia menarik Gauri ikut serta menyaksikan. “Terlihat keren! Gauri, ayo ikut lompat juga!”

Rasanya Gauri ingin mematahkan kepala Arung saat itu juga, “Kau gila, ya? Aku tak mau lompat. Kita turun lewat tangga!” Arung cemberut namun tetap menurutinya.

Haki nampak meraih lampu gantung hanya dengan satu tangan, dan meluncur bebas ke tempat Nabeel. Suara dari Haki sukses membuat kakaknya berpaling. Sadar Haki tak mudah dijatuhkan, ia mempercepat langkah tetapi Haki langsung meluncur ke bawah. Haki nampak sangat marah. “Dasar Nabeel keras kepala! Pantas aku memiliki sifat yang sama dengannya.” Haki sadar jika langkah Nabeel semakin cepat, ia segera meluncur ke bawah tak lagi berjalan. “Hei, kak, diam di sana!”

“Kau memanggilku itu? Sungguh tak dapat dipercaya.” Nabeel tersenyum sinis. “Siapa lagi di sini yang memiliki nama seperti itu selain dirimu, kak.” Penuh kecepatan tinggi, Nabeel menangkis tendangan Haki menuju kepalanya dengan pedang yang belum kembali pada sarung. Sehingga mereka berdua sama-sama terpental dalam jarak beberapa meter tak jauh. “Kau sadar sudah sejauh mana kau tersesat, Kak Nabeel? Aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan semuanya!” Haki memang mudah tersulut emosi, kali ini ia berhak suarakan tanya penyebab api amarah terbakar.

Nabeel tersenyum tipis. Air wajah terkesan mengejek si lawan bicara. Ia memijak harta karun yang dibawa sambil menancapkan pedangnya ke lantai. Perlahan berbalik lalu mendekati posisi Haki. “Kupikir sehari yang lalu kepulanganmu, sudah cukup waktunya untuk menjawab semua teka-teki. Ternyata kau masih tidak mengerti juga, ya? Untuk rencanaku selama ini, apakah kau tidak melihat itu?” Netra pangeran memicing.

Haki tak bergeming. Ia tengah berusaha memikirkan perkataan sang kakak. “Jelas aku tak mengerti jika kau tak beritahu aku, kak! Rencana apa yang kau maksud itu?!”

Kemudian Nabeel merenung. Ia bertekad akan menceritakan semua pada Haki. Tak terkecuali. Di mana terdapat ingatan masa lalu membuat mereka sama-sama terluka menggunakan cara berbeda. Kebenaran pahit telah Aestemore kubur agar tak menjadi aib, justru luka semakin tumbuh subur. Bagaimana pondasi Aestemore dipaksa terus tegak dengan membebankan penerus tanpa tahu apa-apa. Namun dalam perspektif tiap orang selalu hadir penjahat bersama korban tercipta ke sebuah kisah.

Bertahun-tahun lalu, saat sang ratu tengah mengandung. Malapetaka berhasil dimulai, mengacaukan kekokohan batin serta jiwa yang ditinggalkan. Bersama mata polos ikut menyaksikan semua kejadian sadisnya.






DULU SEMASA KECIL, Nabeel tidak pernah mempunya teman bermain. Ia selalu pergi sendirian. Waktu senggang dihabiskan demi berlatih serta melukis. Maka suatu hari, si pangeran pergi ke hadapan ibunda. Berharap anugerah datang memberikan berkat, “Ibu, apa Nabe boleh mempunyai adik?” pertanyaan kecil diberi jawaban oleh ratu dengan anggukan manis. Dipintanya Nabeel menunggu sejenak waktu tiba untuk melahirkan kecil harapan milik pangeran. 

Ketika hari di mana air ketubannya pecah, kondisi perut sang ratu tidak stabil. Hingga semua kekhawatiran serta rasa takut jadi satu ditutupi oleh sakit. Karena kesehatan nampak menurun, ia tak sanggup lakukan persalinan. Raja Nir Sembada pun dihadapi oleh dua keputusan, pilihan yang tersedia tidak ada satu pun pembuat hati tenang. Antara dua nyawa, ia hanya boleh memilih satu agar diselamatkan. Ratu Moriah Rut tetap hidup tapi bayi dalam kandungan bisa tiada, atau sebaiknya. “Tabib, aku mohon selamatkan istriku!” 

Peristiwa tersebut berhasil diakui menjadi berita paling sedih ke sejarah Aestemore. Ratu mereka mengalami keguguran. Raja sangat marah bukannya merasa berduka. Pagi itu, Nabeel datang di ruangan sang ibu sembari membawa setangkai Bunga Melati setengah layu. Ia mendekati permukaan perut ibunya yang sudah dijahit dua hari lalu. Tenaga pun hilang, wajah enggan lagi anggun nan berseri. “Nabeel, sayang. Apa kau kecewa karena ibu gagal melahirkan adikmu?” Moriah hanya membuka mulut tanpa menoleh, tidak berani menghadapi anak sendiri bersama wajah lesunya.

“Ibu ... ini 'kan ... tubuhmu. Aku tak berhak untuk merasa kecewa sementara ibu sudah bertaruh nyawa dalam melahirkan adik. Ibu yang sakit, bukan aku.” Anak berumur enam tahun bisa mengatakan hal luar biasa pada sang ratu, hati Moriah terasa diremas sampai kering. Bulir hangat mata sukses merembes jatuh tanpa disuruh, wanita tersebut menggigit bibir bawah agar isakan cengengnya tak didengar oleh Nabeel. Namun Nabeel juga tak dapat bohong jika bibir tersenyum bersama pipi membentuk aliran sungai, bersedih bersama kepahitan milik ibu juga. Tak ingin pahlawannya sakit.

Kehilangan anak adalah patah hati terbesar seorang ibu. Rasa sakit berubah menjadi dendam, semenjak saat itu Moriah memiliki ambisi agar dapat mempunyai anak kedua. Raja Nir Sembada yang tak mau jika istrinya kesakitan lagi justru menentang keputusan ratu. Dan mata polos Nabeel menyaksikan perdebatan mereka di balik pintu. Dari sana ia mengetahui bahwa Moriah berhasil ikuti serangkaian ritual ilmu hitam agar memiliki anak lagi. Ternyata manjur maka Sembada harus menerima dia juga setelah lahir.

Walau Moriah hanya meminum ramuan ajaib dan bayi itu tetap lahir dari rahimnya, Raja Sembada masih tak menerima sampai berani menuduh bahwa bayi tersebut haram atau putra Moriah dengan lelaki lain. Agar tak menimbulkan aib bagi Aestemore, Sembada datang pada kamar tersebut di kala Nabeel masih menjaga adik. “Di mana bayi sialan itu?” Jantung Nabeel berdegup lebih kencang tetapi langkah tetap berani menghadangi ayah yang sudah kehilangan akal. “Ayah tidak boleh mendekat!” 

“MINGGIR, NABEEL, KALAU KAU TAK MAU AKU LUKAI JUGA!” Sontak Nabeel pecahi tangisnya, diambillah sang bayi untuk ia gendong. Ringan dan begitu kecil, Nabeel peluk dengan erat. “Dia juga adikku, ayah.”

Kejadian masa kecil membuat Nabeel jadi tumbuh memiliki sikap yang overprotektif pada adiknya. Ia selalu menekani prinsip bahwa Sabilal Mehaki, adiknya itu tidak boleh terluka sedikit pun entah fisik maupun batin. Tetapi saat Haki mulai bertumbuh besar, rakyat entah darimana asalnya tahu jika Haki datang dengan asal usul paling aneh. Ditambah karena efek sihir hitam, Haki justru memiliki sikap buruk hingga menyebabkan semua orang jengkel.

Mereka menyebut jika Haki tetap dibiarkan hidup maka dapat mendatangkan kutukan. Haki diartikan sebagai iblis kecil pembawa mala bagi mereka, membuat masyarakat semakin enggan menerimanya. Ia seolah diperlakukan bagai benda kotor dalam tempat sampah. Sosok pangeran tersebut tumbuh besar dengan ajaran sang ibu agar menjadi pemimpin berdedikasi serta caci-maki rakyat terus melempar benci. Tak lupa, rangkulan Nabeel adalah penyembuh atas segala luka yang sudah Haki peroleh.

Haki tentu acuh pada segala cemoohan itu. Tapi tidak dengan Nabeel yang terusik akan omong kosong tak penting mereka. Sampai Haki sendiri khawatir jika kakaknya ikut diejek lantaran bergaul bersama orang cacat hati bak si adik. Jadi ia mendorong pergi. “Kenapa kau selalu mendekatiku, kak? Kau dengar orang-orang di luar sana bicara buruk tentangku? Jadi sebaiknya menjauh agar tak ikut terkena masalah.”

“Biarlah mereka menilai, tentangmu cukup aku saja yang tahu. Kita, 'kan, saudara.”

Kembali pada masa kejayaan Aestemore yang masih stabil seperti sebelumnya, ratu menjadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama putra-putranya daripada beri bantu ke Raja Aestemore XI agar hadir dalam membereskan kekacauan rakyat. Oleh karena itu, raja menjadi pusing dua kali lipat dibanding biasa. Dari sanalah ia jadi mulai sakit-sakitan hingga menuntut agar segera diganti pemegang tahta baru.

Namun, Nabeel yang saat itu sudah tiba di umur duapuluh tahun. Tengah sibuk urusi adiknya karena memasuki masa pubertas yaitu 14 tahun. Mereka terus akrab meski teriakan rakyat bisa semakin keras dari itu. Nabeel selalu berjanji ke Haki untuk tetap menjadi saudara. Itulah mengapa ketika pernyataan tersebut menjadi omong kosong, Haki sangat marah. Seharusnya saudara tidak saling menghunus kebencian.

Tetapi mengingat betapa baik Nabeel kala masa-masa pelatihan bukan lagi sebagai rutinitas melainkan menjadi perlombaan untuk melihat siapa yang lebih pantas di tahta raja. Mereka berkompetisi secara adil. Walau Nabeel sudah pasti tahu bahwa raja pengganti ayahanda tentu adalah dirinya. Sedari dulu paham jika Haki miliki tekad kuat maka ia ajaklah Haki bergabung dalam klub-klub resmi hingga melatih kemampuan di bidang kepemimpinan. Nabeel ikut hanya sekadar formalitas belaka, bila Haki murni atas keinginan impi-impi besarnya.

Beberapa tahun kemudian berlalu hingga berhasil membentuk Haki sekaligus Nabeel menjadi ksatria pemberani. Bentuk sebuah apresiasi dari perkataan Nabeel seperti dapat menyihir Haki dan perlahan memberi kepercayaan diri yang tutupi kekurangan dalam cacat hati sampai mati. Haki ingin dihargai kehadirannya, mungkin saat ia menjadi pangeran sekaligus berpartisipasi ulurkan bala bantuan bagi Aestemore, serta menjalin kerja sama dengan pulau tetangga pasti Aestemore bisa semakin maju. Dengan itu, rakyatnya akan mulai menerima hingga mencintai Haki sedikit demi sedikit.

Nabeel yang mengetahui cita-cita adiknya pun menjadi bangga. Tak pernah barang sekali ia menjatuhkan ekspektasi sang adik dalam menggapai seluruh pekerjaan. Tentu pro serta kontra selalu ada di dunia. Ratu Moriah percaya bahwa Haki bisa melakukan tugas-tugas raja dengan baik, tapi bagi Raja Sembada sendiri memiliki keinginan besar untuk menobatkan Nabeel sebagai raja selanjutnya daripada meresmikan Haki. Dari situlah, Nabeel pertama kali berani menentang keputusan ayah, ia menolak himbauan beliau untuk menobatkannya.

“Aku tidak ingin menjadi raja, ayah.”

“Apa katamu?! Seenaknya saja kau tidak mendengarkan aku. Pergi berlatih sana dan ikuti sungguh-sungguh agar kau bisa jadi raja yang berdidikasi.” Tetap saja, Nabeel tidak mendengarkan. Sikap pembangkang mulai berkembang besar sehingga makin tak peduli pada perkataan orang lain. “Aku lebih senang menjadi rakyat biasa, hidup dengan melukis bahkan menjual karyaku. Aku lebih senang dikenal sebagai seniman daripada raja yang mudah dilupa, ayah.”

Ia bahkan rela melakukan pelanggaran seperti membolos dari kelas pelatihan, sengaja menjatuhkan diri selama berlatih kuda agar ayahnya yang mengawasi dapat berpikir bahwa Nabeel buruk jika menjadi raja tetapi bukan membaik justru Haki pun disalahkan atas segala perbuatan onar milik Nabeel. Hingga sang putra mahkota mulai berbicara empat mata, “Ayah harus dengar aku! Haki begitu bersemangat. Apa perlu membuatnya kecewa untuk kesekian kali?”

Ayahnya yang masih kesal dengan kelakuan Haki pun membalas gondok. “Kenapa kau selalu bertingkah macam pahlawan? Tidak usah membantah, lakukan sesuai perintah.”

Mereka saling menatap sengit, anak dan ayah itu seperti cerminan diri. Ketika salah satunya terobsesi dengan sesuatu, mereka tak dapat menghentikan keinginan sendiri hingga tak ada bisa menghalangi di esok hari. Tetapi Nabeel pergi dari ruangan, hendak mencari-cari keberadaan Haki yang senang sekali berkeliling. Ia memutuskan untuk memakai jubah agar orang-orang tidak heboh melihat kedatangannya. Walau semakin ditemukan informasi dapat secara mudah mengacaukan pikiran, Nabeel saja bingung membedakan benar juga salah.

“Pangeran Nabeel yang malang, iblis kecil itu selalu merenggut sesuatu darinya.”

“Dia bahkan masih berbaik hati mengalah setelah si serakah itu merebut kursi tahta.”

“Kasihan, pangeran. Jika ia terus begitu maka tak ada nasib baik yang datang.”

“Bila Pangeran Nabeel sampai menobatkan adiknya yang berhati busuk itu, aku akan demo. Ini sangatlah tidak adil!”

Bisik-bisik semakin ramai datang agar bisa menyakiti telinga siapapun pendengarnya. Dada Nabeel seakan dihantam oleh paku besi dan hatinya memanas hanya dengan mendengar perkataan orang-orang resmi Aestemore kepada Haki. Jadi, merekalah penyebab dari senyum Haki pudar. Selalu merusak bahagia yang Nabeel ciptakan.

Huft, andai aku bisa membeli rakyat baru.”

Hal tersebut terlintas begitu saja dalam benak tanpa sedikit pun rencana matang. Itulah dia, Nabeel bisa memulai lempari bantu dengan menyingkirkan barang rongsokan tak berguna lalu menggantinya jadi barang lebih bagus. Tanpa siapapun ketahui, ia mudah menjalani rencana ini.

Kemudian Nabeel sengaja bertemu Haki, ia langsung mengatakan bahwa, “Haki, aku menemukan informasi jika ada ramuan agar bisa mengobati sakit parahnya ayah. Kau harus pergi mencari obat itu ke Ranah Shakir, supaya kau tahu memerintah koloni serta pasukanmu nanti.” Haki tentu tertarik dengan perkataan Nabeel, selain karena ia menyebut hal-hal berbau kepemimpinan. Hal tersebut dapat dijadikan bukti apabila Haki layak menjadi raja kepada rakyat dan keluarga. Maka ia pun setuju, ditinggal ke pulau sendirian juga rencana milik Nabeel. Ia butuh Haki pergi demi ganti penduduk sekaligus tatanan pemerintahan baru.

Dalam tiga hari tiga malam itu, aksinya berjalan mulus. Sesuai dengan rangkaian rencana di kepala Nabeel. Di hari ketika Ratu Moriah tahu aksi anak pertama kesayangan, ia langsung mengamuk pada Nabeel. “Kau sudah melewati batas!” Dari perkataan tersebut, hatinya terluka dan menganggap bahwa si ibu tak mendukung perbuatan Nabeel. Maka ia meracuni beliau saat perjamuan teh berlangsung.

Perlahan-lahan selama kurun waktu tiga hari Nabeel membantai semua rakyat lalu menambah pemasokan penduduk baru. Ia menyuruh mereka beraktivitas seperti rakyat Aestemore secara umum. Ambisi Nabeel hampir terpenuhi, tapi kepulangan Haki sebelum empat hari sudahlah menjadi petaka bagi Nabeel. Karena Haki terpaksa melihat si ayah tiada setelah perbuatan putra sulung sendiri. Haki sendiri tak dapat menghentikan niat Nabeel, ia pikir kakaknya sudah hilang akal. 

Nabeel sendiri pun mengaku tidak bisa membantai seluruh umat Aestemore. Maka dari itu ia mengeluarkan harta karun yang sudah disimpan lama oleh kerajaan. Benda kuno yang konon dipercaya orang sebagai pendatang kematian. Tapi adiknya terlanjur pulang, membawa bajak laut hingga segala jadi kacau-balau secara langsung.






“KENAPA KAU MELAKUKAN ITU UNTUKKU, SIALAN?!” Haki masih berusaha layangkan tinju ke arah Nabeel. Ambisinya setinggi milik Nabeel. “Kau tahu 'kan itu sangatlah dilarang oleh ayah dan ibu!”

Tangan Nabeel menghantam pipi Haki. “Aku tidak peduli! Mengapa kau sebegitu peduli atas aturan ayah dan ibu yang tak pernah menyayangimu itu?” perkataan Nabeel reflek melukai hati si bungsu. “Mengapa kau sangat mematuhi peraturan sampah itu padahal aku tahu batinmu sangat tersiksa? Mereka harus merasakan lukamu juga.”

Haki menggeleng pelan sambil mengusap keringat di bawah dagu. “Ingatlah statusmu di depan semua orang, apa pantas seorang pangeran melakukan hal keji seperti ini?”

Nabeel mendecih kasar. “Kau sepertinya sangat peduli ya dengan kasta dan tahta kebangganmu itu.” Ia tersenyum miring. “Apakah jabatan rajamu telah membutakan perasaan serta akal sehatmu, Haki?”

Si bungsu kembali bangkit. “Lalu, apakah kasih sayangmu sudah tidak ada karena diganti dengan obsesimu?”

Bunyi gesekan pedang mulai terdengar dari sisi Nabeel. “Jangan menanyakan omong kosong!” Haki sontak tertawa renyah. “Kau sendiri yang memintaku untuk memerintah kerajaan ini, 'kan? Tapi mengapa ketika aku sudah berada di puncak, kau menyuruhku untuk melihat ke bawah?”

Tatapan Nabeel berubah sendu, seolah ia kembali dibayangi masa lalu. “Supaya kau tidak melupakan orang-orang di bawahmu, Haki.” Yang disebut lewat nama terdiam. “Kau selalu bercerita kepadaku bahwa kau ingin membangun peradaban kedamaian, bagaimana bisa jika rakyat membencimu? Aku harus mencari cara agar kau dapat diterima dalam pemerintahan yang baik, tapi sikapmu bahkan tak mencerminkan raja sama sekali. Jangankan orang-orang berkasta rendah, kakakmu sepantaran kastanya ini saja dilupakan.”

Perkataan Nabeel sukses membuat Haki makin membisu. Ia menunduk agar tak terlihat jika sedang menangis. “Jika kau terus seperti itu, tatanan Aestemore bisa saja hancur dan tak bisa berjaya, Haki.” Si bungsu menggeleng kekeuh. “Kau masih berpikiran begitu? Berarti kau meremehkan kekuatanku. If you doubt my leadership, you doubt yourself.

Paham jika ia mengalah maka perdebatan mereka dapat terselesaikan. Nabeel balik membalas. “Aku tahu perbuatanku salah. Namun, hanya cara ini yang aku ketahui dan bisa kulakukan untukmu!”

Pembelaan diri itu tiada artinya bagi Haki. Ia menggeleng miris. “Aku tak menyangka bahwa kau di balik semua ini, kak. Jika niat memang baik, mengapa kau sampai harus menghancurkan pulau kita?”

Nabeel kembali tersulut. “Apa kau buta? Lihat kedamaian di depan sana!”

Haki ikut menunjuk luar istana. “Tidak ada kedamaian, kak, hanya ada kehancuran dimana-mana!”

Anggukan dari kepala Nabeel entah kenapa jadi menyeramkan bagi Haki. “Mungkin benar nampaknya, jika orang-orang selalu saja ingin merusak rencanaku. Apa kau juga menjadi salah satu dari mereka? Setelah apa yang kulakukan untukmu, Haki?”

Dilema datang menyerang, Haki tak miliki alasan lain untuk membela Nabeel. “Kau saudara yang buruk! Aku membencimu!”

Rasanya sesuatu berhasil menghantam sekujur tubuh Nabeel. “Haki ... dulu kau sangat sayang padaku. Saat kau sudah kehilangan semua, kau justru mendorongku pergi. Kau ingin sendirian di dunia, Haki?”

Haki menggeleng. “Aku serius mengatakan jika aku menyayangimu! Tapi harusnya kau tidak melakukan hal buruk seperti itu hanya untuk aku sebab aku sungguhan tidak apa, kak. Ketahuilah, jika kehadiranmu sudah cukup menjadi obat penyembuh di kala aku sedih.” Haki berjalan mendekati Nabeel sembari menghapus jejak air mata di pipi. “Aku senang Tuhan menciptakan kakak terbaik sepertimu. Namun, perlakuanmu itu salah! Aku harap kau mengerti ...”

Nabeel tersenyum pahit. “Tapi semuanya sudah berakhir. Aku tak bisa kembalikan nyawa rakyat-rakyat yang sudah mati itu. Kerajaan yang kau pimpin sudah hampir sempurna sebentar lagi. Aku harap itu cukup untukmu memerintah nanti. Dan kita bisa hidup berdamai sama-sama, Haki.”

Haki tersenyum kecil. “Oh, percayalah, Kak Nabeel. Selalu ada jalan untuk setiap masalah. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki tatanan sama-sama.” Si bungsu langsung menghambur ke pelukan kakak. “Kita berdua. Hanya kau dan aku.”

Nabeel melemparkan pedang ke sembarang arah. Syukur tak mengenai posisi Gauri dan Arung yang sedari tadi terharu mendengar percakapan mereka. Diam-diam mereka berdua dekati peti kemudian mengambil harta karunnya. “Aku ingin beritahu kau sesuatu. Alasanku mengapa aku tak ingin menjadi raja karena aku lelah dengan suruhan ayahanda. Yang kedua adalah, aku ingin kau menjadi raja karena kau hebat, Haki.” Lelaki lebih muda di pelukan berikan anggukan mantap, pertanda bahwa sudah dimaafkan. Tapi Nabeel tetap melakukan permohonan resmi. “Aku minta maaf karena melakukan hal ini. Semoga perbuatanku nanti cukup untuk menebus kesalahanku.”

Haki pun membantu Nabeel mengusap pipi sang kakak. Mereka kembali berpelukkan. “I’m so proud of you, Haki. And you will always be my favorite little brother, no matter what.”  Akhirnya berbaikan juga.

Di tengah peristiwa haru itu, guncangan dari dalam tanah tetiba mendatangi seluruh sisi pulau. Seolah seseorang telah sengaja membuatnya menari. Kemudian Gauri dan Arung tengah sibuk dengan harta karun tadi mulai terkejut akan hantaman air yang hampir sampai ke istana. Mereka buru-buru membuat rencana penyelamatan untuk memperingatkan kakak-beradik di depan.

Arung dengan cepat berlari dan lebih dulu sampai pada keduanya, ia berhasil meraih genggaman Haki. Namun, tidak dengan Gauri. Ia hampir saja sampai tetapi Nabeel terlanjur tertimpa reruntuhan langit istana yang langsung roboh karena berat dari lampu gantung. Tiba-tiba air laut berhasil menghantam ruangan itu. Gauri gagal menyelamatkan kakak dari sang kawan. Haki terpaku sesaat walau sudah diteriaki mereka berdua. “Arung! Cepat bawa Haki pergi!” Gauri secara tegas memerintah.

Pupil biru raja baru itu bergetar, sebelum ia beranjak untuk mengangkat lampu gantung dari tubuh maka Arung terlanjur menggaet presensinya. Keluar dari istana secara terburu-buru, dan Haki nampak sekali memberontak brutal lantaran berjanji tak akan meninggalkan Nabeel sendirian.

Kepergian mereka dari istana, diiringi dengan suara teriakan Haki yang histeris. Mengamuk minta dilepaskan. Demi lampiasi emosi. Tapi petaka datang tanpa diduga. Mereka harus segera pergi. Terutama Haki wajib menyerahkan peta itu pada Loka Dè Janitra. Jika Arung melepaskan sang raja, kapten akan memarahi tim itu karena gagal mendapat peta.

Retakan tanah mulai menghampiri untuk membelah Aestemore. Tentakel raksasa menjebak pulau dari bawah, air merembes hingga banjir di mana-mana. Bertemulah mereka dengan bocah yang mengamuk—berhasil memporak-porandakan Aestemore dengan ombak dan ... monster laut dalam kendali. Kapal angkatan laut hingga para perompak diremuk tanpa ampun oleh binatang bengis. Monster misterius paling ditakuti segala jenis pelaut, Kraken. Dalam beberapa menit, siapapun berani tunjuk wujud di depan jangkauan akan berakhir.






TANAH BERGETAR HEBAT, membelah diri menjadi retakan besar. Tentakel raksasa si Kraken menyibak kesana-kemari, hati sukar untuk tenang di situasi mendesak macam sekarang. Makhluk itu meremukkan segala jenis benda yang disentuh. Arung berusaha mengeratkan pegangan pada Haki, takut laki-laki itu jatuh dari gendongan punggung sebab ia sedari tadi sudah tak bertenaga kala ditinggalkan kakak tersayang. Bibir kelu walau sekadar menggumam, mata hanya menatap kosong pada retakan tanah di mana nampak semakin melebar ukuran.

Gauri pun bertemu dengan Suha yang baru saja keluar dari sebuah rumah. Ia reflek menarik tangan pemudi padahal si empu bisa melangkah sendiri. Keduanya berlari beriringan, meloncati retakan tanah hingga bebatuan besar sembari terus menghindar dari serangan ombak laut ganas. “Kau tahu, Gauri? Aku bisa melakukannya sendiri.” Di sela-sela pelarian, Suha sedikit mendesis. Ia tidak terlalu menyukai sentuhan fisik, tapi sungkan menolaknya. Sesaat ucapan tersebut keluar, reruntuhan atap rumah jatuh hendak mengenai kepala Suha. “Kau 'kan punya aku, Suha? Marilah coba saling melindungi. Lewat sini!” Aneh, genggaman tangan Gauri begitu halus sekaligus hangat meski gadis itu suka memoles senjata.

Kemudian tim yang baru saja keluar dari penjara ikut serta dalam pelarian mereka. Mata hazel Inir mencari objek paling dicari yaitu seseorang membawa harta karun tetapi tak ada tanda-tanda Nabeel akan muncul. Ia pun melangkah pergi ke arah Danar tanpa sepatah kata pun. Gemuruh raungan Kraken nampak menyaingi milik Jagau di mana geram lantaran laksamana laut enggan melepas Jagau barang sedikit seolah ada masalah belum terselesaikan.

Meski sudah terengah-engah akibat luka singgah di mana-mana. Bagi Jagau maka mundur adalah tindakan pengecut oleh si petarung agar kabur dari suatu duel. “Oh, sebenarnya kau ini siapa? Mengapa sangat tak terkalahkan?” pertanyaan laksamana tidak salah. Sebab mereka memiliki level kekuatan sama padahal berbeda kasta jua klan makhluk di dunia. “Aku dari Hutan Crophaya.” Secara otomatis mimik wajah Laksamana Qesia kaku karena terdiam. 

Hala menghampiri di tengah kekacauan. “Permisi, nyonya! Lebih baik anda ambil andil menyelamatkan masyarakat daripada mengurusi kami!” Hala setengah berteriak, tak menunda langkah kaki. Jagau pun ikut berdiri menghadap Hala, “Tidak, aku harus menang melawannya!” Araf yang sudah ketakutan terhadap Kraken menjerit kesal pada Jagau. “Maksudmu, di saat seperti ini?! Kau ingin mati, hah??” Takut jikalau sesuatu terjadi lebih buruk, Hala anjurkan Araf serta Livana kembali ke kapal lebih dulu untuk menyusul empat anggota lain. Sementara Hala mencari cara jauhkan Jagau dari sana, sebelum dimakan Kraken.

WOOARRGHHHH!!

Langit-langit bergemuruh, hitam pekat dan atmosfer mengerikan semakin mengusik suhu tubuh mereka semua. Jeritan raksasa itu sampai ke daratan saat salah satu tentakelnya terluka. Sentruman petir milik Hala berhasil mencegah benda lengket menyakiti komplotan. Laksamana dibuat terkesima, sampai ia lupa tanah di pijakan terus meretak jua rusak. Tapi Jagau sukses menyelamatkan dengan melempar raganya pada angkatan laut pengatur keamanan orang-orang Aestemore sana.

Sementara banyak sekali bajak laut pilih mundur saat merasakan amarah mendalam. Ini sama saja dengan kegagalan bagi para perompak. Anehnya, ada satu kapal yang tak gentar untuk terus maju. Acuh pada segala tebasan tentakel mengamuk ke arah daratan. Si pengendali ombak menggaruk kepala frutasi. “Dasar manusia, seenaknya saja berbuat congkak!” Sudut bibir nampak terangkat. “Tapi ... aku jadi punya sesuatu untuk menarik perhatian Pak Tua itu, eh ... aku memang jenius!” Tangan terangkat, ombak berdesir kencang. Membawa dia lebih dekat dengan dermaga meskipun telah hancur. Ia abaikan Kraken di samping.

Pindah ke sisi lain, Loka Dè Janitra terus terpojokkan. Retakan tanah Aestemore semakin menegangkan pijak yang tak lagi aman. Kala Hala berusaha lari ke kapal, Kraken muncul setelah menembus tanah. Menatap dari dekat membuat ia ketakutan setengah mati, sekujur tubuh mulai gelisah bahkan lupa cara bernapas. “Oh, shit!”

Sebelum semuanya berakhir buruk, Jagau melompat sekaligus kembali transformasi. Ia berlari sekencang badai sembari bawa Hala ke tumpangan. Berhasil lolos dari tentakel juga penghisapan inti bumi. Ada pula peri bersayap sisik sekaligus makhluk dengan banyak taring menghiasi berbaik hati menawarkan bantuan supaya pergi. Kedua orang asing itu berhasil melindungi Jagau dari segala serangan selama sibuk dalam berlari. Kemudian seseorang dengan kuasa es secara brutal menghentikan pergerakan Kraken dengan menusuk satu-satu tentakel tersebut hingga teriakan terdengar ke seluruh penjuru pulau.

Sayangnya salah satu koloni dari mereka tertinggal di belakang, atau tujuan memang berbeda. Setelah ombak meledaki kapal keduanya hingga tersapu jauh. Ombak pun memisahkan Loka Dè Janitra dari Inir serta Danar. Tapi Inir sempat berteriak untuk jaga-jaga. “Kau harus berikan harta karun itu pada kami, Hala! Segera ke Ragnarok!”

Ia mengangguk mantap, kemudian menoleh ke setiap sudut-sudut kapal. Hala mencari seseorang, wajahnya lemas. “Ayo jalan!”

Suha langsung paham kode. Dengan peta baru pemberian Haki, ia pun mulai lajukan kapal ke arah di mana Ragnarok berada.

Setelah mereka pergi, akan kalian temui perbandingan dua kawan lama kembali bercakap mengenai tahta harta karun itu.





BERSAMBUNG.

Rabu, 21 Juni 2023

VOL—VI: KERIBUTAN DI DALAM RAGNAROK.

HURU-HARA MENGUDARA, menyorakkan ketakutan juga panik yang mencubit setiap jiwa. Berbondong-bondong menyelamatkan diri dari malapetaka atau mati tanpa harap.

Loka Dè Janitra berhasil menjauhi pulau Aestemore sementara semakin ditengok maka terdapat kebakaran besar dan semakin hancur kota kecil tersebut. Mereka pun menghabiskan waktu berlalu dengan membersihkan diri, mengobati luka, serta kembali memberi asupan gizi pada tubuh yang nampak hampir kurus.

Jagau duduk mengamati beberapa kru setelah selesai makan, pun bertanya lantaran tidak melihat salah satu dari mereka. “Dimana Haki?” Arung duduk di hadapan akhirnya menjawab, “Dia sedang di kabin, kenapa memangnya?”

Jagau menggigit bibir. Takut-takut ucapan dia selanjutnya dapat menyulut api kepala mereka lagi. “Apa dia masih saja diam?” Gauri ikut menyahut pula. “Tentu. Aku paham bagaimana perasaannya.”

Livana mengernyit. “Lebih baik kita tanya padanya, tujuan setelah ini akan kemana?” Ia bermaksud mengangarkan Haki. “Karena Pulau Aestemore sudah hancur, bisa dipastikan ia merubah tujuannya.” Suha yang sibuk mengamati peta pun setuju. “Tapi kita hanya memberi tumpangan saja.”

Gauri menunggu waktu tepat untuk bicara pada si bangsawan satu-satunya di sana. Kemudian memanggil pelan. Jawaban Haki jelas tidak semenyenangkan yang mereka pikirkan. Ia menyahut sewot. “Kau serius ingin bertanya hal bodoh di waktu begini?”

Sontak lawan bicaranya tergagu. Reflek ia melayangkan permohonan salah. “Maaf ... tapi aku harus bertanya supaya kami bisa mengantarmu.” Arung tahu bahwa Gauri bisa terpojok pun membantu berujar. “Dia benar, sobat. Kau harus tenang. Karena kami hanya bertanya. Atau mungkin kau memiliki cerita? Kami bisa mendengarkan.”

Haki menggeleng. Kepalanya menunduk ke bawah menandakan kesedihan mendalam. Tak biasa seorang pangeran berlaku begitu, postur tegap tubuh kini terlihat jadi lebih kaku bak kehilangan topangan. “Aku rasa hidupku sungguhlah terlihat menyedihkan. Dan benar apa kata Nabeel, aku sudah tak punya siapa-siapa dan apa-apa lagi. Apa yang kucari dan kujadikan tujuan sekarang? Tidak ada! Harusnya aku ikut mati saja.”

Gauri langsung dengan cepat menyahut. “Kau masih punya kami, Haki. Loka Dè Janitra sayang padamu. Kau masih bisa membangun kerajaanmu sendiri, 'kan?”

Yang diajak bicara mendecih sinis. “Asal kau tahu saja, membangun kerajaan tidak semudah yang kau bisa kira.” Karena Arung sudah tidak sanggup mendengar topik ini, ia kembali angkat suara. “Haki. Jaga emosi juga perkataanmu, duka pasti ada. Apapun yang hidup pastinya mati. Hidup 'kan selalu berjalan ke depan haki, kau tidak bisa hidup dalam penyesalan serta keinginan bersama kakakmu. Karena mau bagaimanapun, pada akhirnya kau hanya berdiri dengan kakimu sendiri tanpa ada dirinya. Kau pasti paham maksudku, bangsawan, jangan terus lukai diri karena kami pula khawatir.”

Jagau ingin ikut menghangatkan suasana dengan perkataan lembutnya. “Tenang! Semuanya akan baik-baik saja nanti. Haki, terima kasih telah memberikan petanya ya? Kami akan mengantarmu pada tujuanmu, bilanglah pada kami!” Tidak seperti harap, Haki menggeleng konsisten. “Aku tidak memiliki tujuan.” Tiba-tiba Gauri merasa de javu dengan kalimat itu begitu pula Arung beserta Hala karena mendengar dua kali.

Haki berdiri dari duduknya dan keluar kabin dengan membawa satu apel. “Aku langsung pergi saja.” Mengerti bahwa kawannya bisa kehilang satu, Livana bertindak. “Wait!”  Ia terpanggil dan Haki mulai dongkol. “Apa?!”

Araf tarik suara lebih dulu. “Kami juga ikut merasa berduka atas kakakmu yang tiada, Haki. Tapi pasti ada jalan ...” Dilihat Livana mengangguk. “Lagipula, kami tidak berniat untuk menyuruhmu pergi.” Araf kembali sahuti. “Kami hanya ingin kau memberikan keputusan. Apakah kau masih ingin lanjut ke perjalanan kami atau pulang saja?”

Gauri menarik sudut bibir melengkung ke bawah. “Mungkin kemungkinan buruk saat pulang adalah, kerajaanmu masih porak-poranda. Dan kau harus memulai semua seperti awal dengan sendirian. Itu sangat memberatkan, bukan?” Haki lempar tawa hambar. “Aku benci mengakui hal itu, tapi perkataanmu ada benarnya. Tapi ... apa aku masih diterima di sini? Bukankah kalian sangat membenciku?”

Beberapa dari kru nampak terkejut. Jagau lebih dulu menyanggah. “Tentu diterima! Tak ada yang membencimu, Haki. Kau sudah menolong kami, dan bahkan mengorbankan semuanya. Kau bisa menganggap kami rumahmu juga. Jadikanlah kami sebagai tujuanmu juga!”

Hati sang bangsawan pun menghangat. “Aku harap itu tidak akan memberatkan kalian. Karena, aku tidak tahu tugasku apa jika di sini. Maka, tolong, bimbinglah aku.”

Suha di ujung kapal tersenyum. “Baiklah. Saatnya mengganti arah tujuan kita!”

Arung pun menambahkan. “Cari pulau dulu untuk memberi makan Jagau.” Dan dibalas anggukan puas dari yang namanya disebut.






BEBERAPA JAM LAGI kapal bajak laut itu mulai memasuki kawasan Ragnarok. Pulau minim hukum, dengan bajak laut sebagai penghuni mayoritasnya. Angkatan laut tidak punya wewenang untuk ke sana, dan sulit menjangkau tempat ini. Bukan tanpa alasan Ragnarok menjadi surga para bajak laut, selain perlengkapan yang tak pernah habis serta hiburan tidak membosankan mereka, rum punya Ragnarok adalah bagian terbaik. Maka Loka Dè Janitra hendak coba melakukan pesta besar-besaran. Minum sekaligus menikmati waktu luang secara meriah. Adapun tempat khusus jika ingin menyewa sauna apalagi wanita.

Kekurangan Ragnarok yaitu tak sembarang bajak laut dapat melangkahkan kaki ke sana dengan tenang. Hanya nama-nama bajak laut berpengaruh di mana sering terdengar oleh telinga mereka yang sudah senior. Tapi jika bajak laut bobrok pemilik otak dangkal, tak akan ada tempat untuk menerimanya. Di Ragnarok, budaya rasisme cukup tinggi. Yang hebat menang, tak ada pondasi bisa diinjak. Secara singkat, Ragnarok menjadi destinasi istimewa bagi para bajak laut.

Loka Dè Janitra tahu desas-desus bila tak sembarang perompak masuki Ragnarok. Maka mereka sebisa mungkin bersikap tak mencurigakan agar menghindari tercipta masalah di tempat baru yang asing itu.

Kini mereka pergi ke tempat penginapan, sebelum pergi berpesta ternyata klub malam di Ragnarok sudah diberikan paket instan dengan tempat tidur. Sangat luar biasa bagi Arung yang senang menghemat uang. Setelah membayar pula, mereka langsung membagi teman sekamar. Pertama; Kapten Hala dengan Livana. Suha bersama Gauri. Arung-Jagau dan Araf-Haki. Tentu ada protes kecil di pasangan sekamar terakhir, entah Araf ingin mencari kedamaian atau Haki memilih egois karena tidur sendiri di satu kamar lebih nyaman daripada ditemani oleh penghuni dekat.

Sesaat menaruh barang hingga beranjak membersihkan diri, mereka bersama-sama masuk ke tempat khusus untuk minum. Nuansa cokelat kayu tua yang dipoles sedemikian rupa membuatnya terlihat megah walau pahatan sangat sederhana. Lima orang duduk di kursi dalam satu baris sembari memesan rum pada sebuah cawan. Sedang ketiga dari kru kapal berniat untuk memesan cocktail juga roti sebagai teman pengganjal lapar. 

Ada gadis yang bekerja sebagai bartender di sana. Rambutnya nampak dikuncir serta ahli sekali dalam membuat minuman. Pun ditambah ia ramah kali pada pelanggan. Mata berbinar itu bertemu netra tajam milik Haki. Mereka berdua seolah merasa bahwa sudah lama bertemu sebelum itu. Jantung kapten sendiri berdebar, baru pertama kali ia masuk ke tempat hiburan langsung. Dia pernah berandai-andai bagaimana rasa jika memesan minuman betulan, tak disangka hal tersebut dikabulkan dengan cepat.

Gadis bartender itu mulai membagikan minuman pesanan mereka tanpa memberi kata-kata. Kemudian ketika sampai di meja Haki yang tak meminta rum bersama Jagau jua Livana. Ia mengeluarkan suara. “Kau tak pantas berada di dekat orang-orang jelek, tuan.” Kemudian melenggang pergi. Sontak Haki tersipu padahal temannya tengah direndahkan. Tanpa sadar Haki berdiri dari tempat duduk tetapi Gauri datang menarik ujung pakaiannya. “Dasar tidak setia!” Kru kapal lain pun hanya melempar tawa.

Sang bartender akhirnya mengenalkan diri. Mengaku bahwa nama dia adalah Anorah Masaid. Bukan pekerja baru lantaran sudah di klub malam itu selama kurang lebih lima tahun. Walau Anorah mengaku jika wajah mereka sangat asing menandakan bahwa Loka Dè Janitra memang terlihat sebagai pendatang baru bagi Anorah sendiri. Tetapi ketika melihat Haki, perspektif itu berubah kalau mungkin sebatas teman dekat saja. Namun perbedaan penampilan juga sukses menipu pandangan Anorah terhadap Loka.

Seperti biasa, malam itu ketika mereka berpesta. Anorah ikut serta dalam hidupi topik pembicaraan pula. Banyak sekali membahas petualangan serta pengalaman yang sudah dilakukan, tambah lagi Anorah memiliki jalan hidup menarik sehingga tak membuat bosan siapapun pendengarnya.






PAGI INI, LOKA dengan pakaian lusuh milik mereka. Hendak menuju ke pasar gelap di mana kawasan itu sepenuhnya terhubung dengan Ragnarok untuk membeli peralatan bajak laut paling lengkap. Tak hanya itu, bahkan barang-barang haram dijual secara ilegal dalam tempat perjual-belian tersebut.

“Kalian yakin akan berpenampilan gembel seperti itu?” Araf melihat perompak itu dari ujung kaki hingga rambut. “Bah! Yang ada malah dijadikan roda gerobak!” Netra gelap miliknya berputar, tak bisa berkata-kata.

Haki berdecak malas dengar hal itu. “Kami tak butuh pendapatmu, Araf! Masih bagus ada baju ganti di kapal.” Terdengar yang diajak bicara sebisa mungkin 'tuk menahan tawa. “Penampilanmu makin kelihatan kalau bukan bangsawan.” Arung pun menyeletuk, “Ya, baguslah. Setidaknya sukses menutupi identitas kita.” Di tengah perdebatan kecil, Livana mengernyitkan hidung. “Arung! Kau tidak mandi, ya?” Arung melotot tak terima. “Hei, sudah! Enak saja.” Ia memprotes.

Gauri sendiri tidak percaya. “Tapi baumu seperti kaos kaki busuk!” Arung langsung naik pitam. “Diam kau nona berkuping lancip! Aku ini sudah pakai parfum.” Jagau dengan baik hati mengungkapkan fakta pahit. “Tapi, Arung, parfumnya kadaluarsa.” Suha sedikit terpingkal-pingkal. “Bahkan tempat menyimpannya penuh tumpukan kaos kaki.” Haki jadi tersenyum. “Astaga, tanpa dekat dengan Arung saja aku sudah bisa membayangkan betapa baunya itu.”

Secara kebetulan kapal tua ini menyimpan barang bagus di lemari paling bawah. Jika dilihat baik-baik memang kapal kokoh ini masih memiliki benda-benda utuh. Suha benar-benar menyimpan kapalnya dengan baik. Meskipun tak sedikit barang logam berkarat. Selain kondisinya masih layak dipakai. “Livana? Apa kau bisa membuat bajuku kelihatan pas?” Hala nampak ragu. Setelah kerap menghindari penyihir Livana karena masih tak enak dengan kejadian sebelum. “Kau mempercayaiku? Tenang saja, serahkan padaku.” Livana tersenyum sumringah lalu jemari mulai keluarkan uap mistis berwarna ungu. Kilauan kecil nampak mengangkat kain-kain berdebu pada gaun kuno Hala. Ledakan lembut mengudara, rambut terkibas sekilas. “Terima kasih, Liv.”

Yang pertama menyomot pakaian mewah adalah Haki. Tentu sebagai bangsawan ia tahu gaya busana mana untuk pantas ia kenakan. Setelan hitam beserta balutan jas cokelat sangat cocok bagi Haki. Sedang paling sulit diurusi adalah Jagau. Banyak sekali alasan agar menolak pakaian baru, katanya panas sekaligus sempit di tubuh. Dalam sudut pandang lain, kau bisa temui Haki melirik ke arah Araf juga kesusahan memakai baju nuansa hitam. Laki-laki itu menariknya ke bawah, kepala dia timbul dari kerah walau kesusahan. Entah kenapa kadangkala ia melihat Araf seperti Nabeel, tapi tentu kakaknya tak seenerjik pemuda Marat. Mungkin mirip pada ambisi mereka.

Salah satu dari mereka yang jadi terakhir bersiap adalah Arung. Ia tatapi pantulan punggung tegap dari cermin, bekas luka terpampang jelas pada wajah. Nampak helaan napas dikeluarkan berat, kemudian membaluti tubuh dengan jas merah.

Setelah memastikan bahwa semuanya berkumpul. Suha pun mengungkapkan tujuan kedatangan mereka ke Ragnarok. “Ingat, Kita hanya akan bertanya beberapa informasi ke Danar dan cari perlengkapan yang kurang, apa harus berdandan seperti menghadiri acara pernikahan?”

Arung secara insting pun membalas dengan goda. “Tapi pagi ini kau cantik, Suha.” Araf sendiri mengernyit bingung. “Maksudmu semalam Suha jelek?” Gauri yang tak ingin mendengar perdebatan lagi berusaha akhiri konversasi. “Suha selalu cantik, itu pujian.”






ORANG-ORANG DI SEKITAR luar dermaga adalah budak dari bajak laut yang kunjungi Ragnarok. Terlihat pada penampilan kotor serta lusuh mereka. Kaki para kru kapal pun kembali melangkah, menuju gerbang di mana terbuat menggunakan logam besi. Terdapat dua algojo menjaga ke dua sisi.

Hala meneguk saliva. Ia harus maju sebagai perwakilan berhubung dia adalah kapten. Gadis itu nampak tersenyum, sesuai dengan kepercayaan diri yang ia punya. “Saya ingin menemui Lesmana Danar.” Mata tersebut menatap lurus sekaligus tegas.

Dua algojo mengernyit. Salah satu dari mereka lempar tanya. “Siapa kalian?”

“Kami masih baru, wajar kalau kalian tidak mengenali.” Seiring dengan ia berucap, masing-masing dari anggota Loka Dè Janitra mewujudkan presensi dengan maju secara mantap. Berdiri sejajar di belakang punggung sang kapten. Livana ikut jadi pengucap meski gugup. “Maaf sekali, baru memperkenalkan diri. Kami adalah bajak laut Loka Dè Janitra.”

Kedua pria besar itu saling pandang, hasta mereka penuh cekatan membuka gerbang. Mempersilahkan para rookie masuk. Hal tersebut sontak membuat Arung kaget lantaran sudah bersiap untuk menghajar algojo kalau saja tak diizinkan masuk. Bahkan kru lain terkesiap, ternyata mereka mendapat akses gabung begitu mudahnya. Livana sendiri urung merapalkan mantra.

Mata Hala menerawang, dicarinya sosok Lesmana Danar dari lautan manusia. Sebab setelah gerbang dibuka, suara ramai para perampok dan perompak di sana langsung mengudara. Terbukti dinding logam itu kedap suara. Penampilan mereka tidak seperti bajak laut kebanyakan. Busana pun terlihat mewah sekali, meski beberapa wajah nampak terlalu menyeramkan.

Kelompok rookie akhirnya masuk. Atensi bajak laut lain di sana langsung menuju ke arah Loka Dè Janitra. Hala semakin gugup, peluh dingin sudah bercucuran dari pelipis. Sorak meriah berubah sunyi semata. Arung takut kejadian tak terduga bisa dimula jadi ia mengambil alih untuk berbicara wakilkan semua. “Permisi, kami mencari Lesmana Danar.” Mata orang-orang di sana mulai mengintimidasi hingga berubah semakin bengis setelah mendengar nama tadi.

Arung langsung membalas satu-persatu tatapan mereka yang seolah mengusir keberadaan Loka Dè Janitra. Sedangkan sisanya tak tertarik orang-orang bejat ke sekitar. Araf menguap beberapa kali, justru ia paling santai di antara semua. Sedang Gauri dan Haki hanya diam memerhatikan. Yang bangsawan perlahan meremat pedang dalam sarung terletak pada pinggang agar dapat berjaga-jaga. Sedang Suha melihat dengan sangat waspada gerak-gerik lawan bicara di depan. 

BRAK!

Mereka tersentak. Salah satu dari bajak laut turun dari meja, memegang cawan berisikan rum segar. “Ada perlu apa kalian dengan bajingan Lesmana Danar itu?”

Baru saja hendak menjawab, namun satu orang kurang ajar di belakangnya menarik cawan dengan lengkungan panjang itu secara tiba-tiba. Dagu Hala jatuh seketika.

“Ah! Aku masih haus, apa ini? Minumannya menggigit tenggorokanku!” Araf terbatuk. Kemudian tanpa rasa bersalah, ia menaruh cawan kembali ke genggaman orang asing.

Urat di kepala bajak laut tersebut muncul. Suara gesekan pedang mulai terdengar di rungu nampak ramai akan mengancam nyawa mereka. “Cari mati, ya?”

Gaya bajak laut rookie ini memang identik dengan kerusuhan. Waktu Hala sudah mulai bergerak panik, lanjut ia memelintir telinga Araf yang menjadi penyebab kekacauan. “Araf! Kau ini, tidak boleh meminum rum milik orang! Cepat minta maaf!”

Araf mendengarnya jadi tidak terima. “Hah? Rasanya tidak enak, kenapa aku harus minta maaf?!”

Hala jadi semakin frustasi. “Kau ini emang bikin kita dalam bahaya saja bisanya!”

CLACK!

Telinga Jagau yang tajam menangkap sinyal bahaya. Dilihatnya sebuah granat ditarik dari segel. Benda meledak itu sebentar lagi akan melayang ke arah mereka. Suha pun menoleh ke sana-sini, dengan cepat temui nampan jatuh datang lewat pertikaian tadi. Pengemudi kapal tersebut mengambilnya lalu ia lempar ke arah Araf agar keributan bisa dihentikan. Sedang Gauri segera ikut andil membantu, lemparkan panah ke sana.

PRANG! TAK! BOOM!

Granat itu berhasil meledak di udara. Maka akibatnya muncul kabut membutakan para penglihatan bajak laut. Ditambah suara yang berasal dari nampan jatuh berhasil mengalihkan perhatian semua, Loka Dè Janitra sedikit aman. Dari jauh ekor mata Jagau menangkap bayangan Danar dari kerumunan manusia. Datang sendirian tanpa Inir. Tangan Jagau pun langsung menarik segala anggota Loka menjauhi wilayah depan sehingga masuk ke bagian tengah. Haki sudah terengah-engah, ia masukkan kembali pedang ke sarung. Sepatu mereka dibuat melangkah cepat.

Danar tersenyum cerah. “Eits, tenang saja. Mereka kawanku, masih amatir pula. Wajar kalau mereka bingung karena baru pertama kemari.” Saat ia berbicara dengan mereka, Danar memberi kode lewat kepala agar seluruh anggota Loka masuk ke arah tuju.

“Yah, kami tidak ada masa untuk bertarung. Simpan saja omong kosong kalian dan pergi dari sini!” perkataan orang asing diangguki oleh Danar. Ia pun masuk ke tempat yang dimaksud. Sedang Arung diangkat bak karung oleh Jagau, jujur itu memalukan. Ia menutupi wajah saat Jagau berusaha mencegah tawa lolos. Sedang Araf digeret begitu saja oleh Haki, di mana kerjanya suka mencari perhatian. Mereka akhirnya masuk ke sebuah tempat, menyusul kapten sekaligus para gadis mereka dalam sana.

Satu-persatu anggota duduk ke kursi milik kedai tersebut. Arung melipat tangan pada meja, mengusap peluh. Namun mata justru melihat sesuatu familiar tengah berkilau. Punggungnya langsung berdiri. Gauri lihat itu menjadi tak ambil pusing. Sudah muak dengan kegiatan Arung yang mencintai uang sepenuh hati.

“Aku tak menyangka kalian datang secepat ini, apakah perjalanannya aman?” Danar bertanya penuh antusias. Ia pun memanggil pelayan agar membuatkan mereka minum.

Arung mengangguk. “Yah, aman, walau kami sempat hampir dimakan oleh Kraken!” Gauri mengangkat bahu. “Tapi kami bisa mengatasinya.” Suha setuju. “Karena kita semua kuat.” Livana tersenyum. “Apa yang tak bisa dilakukan Loka memangnya?” Araf nampak mendecih sombong. “Sebenarnya mereka menang berkat bantuanku.” Jagau mengernyit tak suka. “Araf jangan bohong!” Haki memutar bola mata malas. “Mulutmu itu banyak dustanya saja, ya.” Livana sudah bersiap mengeluarkan sihir. “Lama-lama mulut Araf akan kusegel.” Sedang Araf hanya memberi cengiran tak berdosa.

Danar mengangguk berkali-kali. “Baiklah, baik. Beruntung kalian semua selamat. Tapi aku terkejut, bangsawan ini jadi krumu?”

“Haha, panjang ceritanya ...” ia menjawab gugup. Percakapan mereka terpotong saat Gauri melotot melihat Suha mengintip menu minuman sedang Haki hendak mulai memesan, gadis itu berteriak ke arah dua orang. “Suha dan Haki! Jangan minum, aku tidak ingin kalian mabuk sembarangan!”

Dengan cepat Haki melempar menunya ke sembarang arah. Jagau bertukar pandang pada bandit di sana. “Apa rum itu sejenis anjing laut?” Arung mengangguk yakin di jawaban ngawurnya. “Benar.” Araf lagi-lagi menyaksikan kebodohan baru yang berhasil buat perut merasa geli. Mata emas Jagau justru berbinar. Livana menatap pemuda pemilik kekuatan dahsyat tersebut terlihat begitu polos. “Tidak sesuai penampilan.”

“Jadi apa yang kau butuhkan?”

Hala nampak mengeluarkan peta dari dalam saku kemudian menyerahkan pada Danar agar bisa ditelisik. “Aku mendapatkan petunjuk bahwa petinggi itu berada di tempat yang sulit ditafsirkan, tetapi aku tak tahu jalannya. Aku sudah mencari lokasi tepat dan mendapatkan peta dari Haki, namun, aku masih saja buntu.” 

Danar nampak berpikir sejenak lalu ia beri senyum setelah mengingat sesuatu. “Kalian hanya perlu pergi ke pulau ini,” ucap Danar sembari menunjuk letak pulau seberang.

Araf yang tahu sedikit informasi melayang protes. “Kau gila?! Itu rumah sekumpulan Veela menakutkan. Kami bisa mati di sana.”

Danar tersenyum miring. “Aku tak bohong. Memang harus kesana. Aku tidak akan beri saran apapun tetapi di pulau itu, kau akan menemukan petunjuk sesungguhnya, Hala.”

“Apa yang terjadi jika aku tak kesana?”

Danar menggidikkan bahu. “Kau bisa saja hanya berputar-putar mengelilingi laut jika tak kesana, tanpa menemukan titik akhir.”

Hala menjadi penasaran pada petunjuk dari Danar memiliki motif tertentu. “Bagaimana kau bisa tau? Apa rencanamu sebenarnya?”

Rupanya gadis di hadapan bisa menyadari rencana Danar. “Aku juga ingin menangkap petinggi itu tadinya. Bukan karena imbalan, melainkan akhir dari tujuanku.”

Hala masih sedikit tak paham. Kemudian ia mengorek lagi informasi. “Jadi kau pernah menyiapkan segalanya, tetapi mengapa tidak kau teruskan?” Danar merubah mimik rupa dengan meringis kecil. “Aku tak punya kawan, Hala. Aku tak miliki ambisi sebesar dirimu. Lagipula, aku percaya kau bisa temukan ‘dia’ sejak pertama aku memberi poster sayembaranya kepadamu.”

“Tetapi ... aku meragukan diriku sendiri ...”

Arung jadi ikutan sedih. Ia pun merangkul pundak Hala dengan lembut. “Nona Hala, aku tahu jika aku banyak khawatirkanmu. Tapi aku yakin kau bisa menjalankan ini.”

Gauri mengangguk. “Dan kau tak harus melangkah sendirian. Rasa khawatir kami makin menjadi-jadi bukan karena nyawa kami ikut bertaruh, melainkan takut jika dirimu semakin rapuh.”

“Oleh karena itu kami di sini datang untuk membantumu, jangan merasa terbebani begitu.” Suha tersenyum teduh.

Araf ikut menyahut. “Betul itu, kadangkala kau melupakan kebaikanmu sendiri.” Haki jadi terbawa suasana. “Apapun keputusan yang kau ambil, Hala, aku tetap berada di sisimu.” Jagau sekaligus Livana langsung meralat. “Kami juga!” Hala dalam hati tak sadar berterima kasih secara tulus.

“Baiklah, aku kehabisan waktu, aku harus segera pergi.” Danar pun berdiri dari kursi. Ia menggulung petanya kembali dan diberi pada Hala lagi. “Hei, mau kemana?” tanya Arung berbasa-basi. Danar sendiri memberi jawaban santai. “Menjual benda istimewa.”

Merasa bahwa informasi dari Danar sudah lebih dari cukup. Mereka pun setuju untuk kembali ke penginapan sebab istirahat jua diperlukan agar tenaga serta stanima bisa kembali kuat. Maka perjalanan bisa dilanjut besok karena Suha mengaku butuh tidur. Sedang Arung berpisah dengan rombongan demi mengantar Jagau membeli makanan berupa daging segar. Berharap nanti jika aktivitas keduanya lama, tak sampai pulang larut selama mengelilingi pasar gelap itu.





BERSAMBUNG.

Senin, 19 Juni 2023

VOL—V: PERSETERUAN BATIN SI KAPTEN.

ARAF MEMUTAR BOLA matanya malas, ia membenarkan posisi jempol Hala pada nadi milik temannya itu. “Jempolmu ditaruh yang benar, jangan sembarangan!” Nampak nadi pun masih berdetak, bahkan tidak lambat seperti sebelumnya. Apakah tinta Zephia memang semanjur ini?

Jantung Hala hampir merosot, kaki lemas seperti tak bertulang. Rasanya sangat lega. “Tapi kenapa Arung belum bangun juga?”

“Kau tahu kata ‘sabar’ tidak?!”

Hala mendelik. “Aku hanya bertanya!”

Araf dan Hala sebaiknya memang tidak berada dalam satu tim. Mereka mudah saja tersulut emosi ditambah lagi sangat sensitif akan hati dari pihak sendiri-sendiri.

Lautan bintang bergemerlap, surya makin lama terbenam hingga langit digantikan oleh cahaya redup. Namun, keindahannya tak kalah hebat dengan cerah milik mentari. Rembulan menyebarkan kerinduan, ditemani bintang-bintang yang berkelip pelan. Malam itu, Haki sudah sadar setelah beberapa waktu terlelap. Ia merasa bahwa kepala miliknya sangat sakit. Sehingga ia mengambil air minum terlebih dahulu.

Sedangkan Hala menghampiri Gauri, yang sedang melamun sambil mengisi bidikan persediaan anak panah ulang. Hala hendak berterima kasih, lalu berkata bahwa Gauri telah lakukan tugasnya untuk selamatkan Arung dengan sangat baik. Ia merasa jika Gauri sudah cukup dipercaya. Tetapi topik pembicaraan menyentuh itu berubah ketika Hala mulai membawa lagi tujuan Gauri, “Oh ya, jadi kau sudah memutuskannya?”

Gauri memandang Hala bingung. “Putuskan apa?” Ia mengalihkan pandang ke laut.

“Sesuai yang kita rundingkan sebelumnya. Kau ingin tetap menjadi kru kapal kami atau pergi ke arah yang berbeda?” Gauri seperti tak bergeming, kepala si nona berputar. Jawaban Gauri—hal yang ingin ia pilih itu sebenarnya apa? Di kedua pilihan, Gauri takut akan salah memilih keputusan lalu berakhir menyesal di kemudian hari. Hatinya ditekuk oleh dilema, apapun pilihan nanti pasti akan ada konsekuensi.

“Keputusanmu, Gauri. Katakanlah.” Gauri menghela napas. “Aku tetap membantu kalian. Sampai tujuanmu berhasil dilaksana.” Hala yang merasa senang pun memeluk Gauri dengan erat, ia ucapkan banyak-banyak terima kasih kemudian pergi menghampiri Haki. Melihat itu, Gauri tersenyum kecil. Dia pun melanjutkan tidur.

Haki yang baru kembali dari kamar mandi menatap Hala datar. “Ada apa?”

Hala sangat paham jika Haki pasti masih menyimpan dendam pada Jagau maupun Araf. Mungkin dia akan mendorong mereka berdua ke tengah laut dan membiarkannya mati tenggelam. Hala mencoba agar bujuk si bangsawan baik-baik tetapi respon yang diberikan sangat di luar dugaan. “Tetap saja mereka telah berniat merampok kapal kita, kapten!” Nyali Hala jadi ciut seketika.

“Haki, aku tahu kedatangan mereka itu menyebalkan. Jagau tidak mencerminkan sebagaimana manusia harus bersikap walaupun dia juga sebetulnya bukan manusia utuh. Tetapi, Araf sudah baik dengan membantu kita untuk selamatkan Arung saat kau pingsan.” Hala bertumpu tangan pada ujung pembatas kapal, sedang menikmati pantulan bintang di perairan dan angin sepoi-sepoi sekitaran sana. “Jadi meski mereka kurang ajar, masih saja berbuat baik pada kita.”

Bangsawan itu menghela napas, di sisi lain Hala ada benarnya juga. Tapi membagi kapal dengan mereka saja ia tidak rela. Meskipun kapal ini bukan milik dia. Namun, tujuan Haki bisa saja tertunda karena mereka. “Baiklah kapten, terserah saja.”

Hala mengangguk. Ia dengan suara pelan mengucapkan selamat malam, pun beritahu Haki agar secepatnya pergi tidur.




KEESOKAN PAGINYA SALAH satu jiwa telah dikembalikan pada raga yang lama terlelap hampir mengakhir takdir. Benar kata orang, semesta memang sudah ada pengaturan. Hanya saja sebagai penghuni harus tetap berusaha untuk andil dalam ekosistem jalannya hidup. Angin nampak menyapa malu-malu, menyapa para awak kapal di mana kondisi masih baru saja bangun. Dan Haki adalah seseorang dengan bangun paling terlambat, ia langsung dibawa oleh Hala ke pelukan mereka semua—bersama memeluk Arung yang sudah sembuh total.

Setelah puas mengobati rasa rindu pada Arung, suasana kembali sunyi. Hala pun menyalakan lentera sebab mentari masih belum jua tiba. “Ada yang ingin kukatakan,” ucap Hala, mereka melingkari lentera itu.

“Yang kemarin berhasil menyelamatkanmu, Arung, adalah kami semua. Araf, manusia tersesat itu pun berjasa bagi kita. Ditambah lagi Jagau karena mengetahui tanamannya. Jujur saja, aku sempat kesal niat mereka adalah jahat hendak mencuri kapal tetapi bagaimana pun kita harus membalas budi.”

Araf hendak menyela perkataan Hala. “Aku sebetulnya tidak ada niatan buruk. Hanya saja kedatanganku ke kapal kalian karena aku ingin pergi dari Hutan Crophaya. Agar bisa memiliki pekerjaan maupun tempat tinggal. Aku tak bisa harus bergantung pada Jagau terus-menerus.”

Jagau yang dari jauh mendengar itu jadi tak enak perasaan hatinya. “Kau berniat untuk meninggalkanku?” Araf langsung melotot akan pertanyaan Jagau, ia buru-buru saja menjawab. “Bukan begitu. Aku tidak suka merepotkan orang lain.”

“Tetapi kau bisa saja merepotkan kami,” jawab Suha sarkas hendak mewakili isi hati kawan-kawan bajak lautnya. Tetapi Hala menatap Suha tajam. “Aku akan merekrut mereka. Jadi Araf, selama di perjalanan kau boleh saja menemukan tujuanmu hendak kemana dan mencari destinasi tempatmu hidup. Jagau pun bisa ikut dengan Araf.” Kemudian Hala tertawa kikuk, ia menatap para awak kapal di sana bergantian pada rupa mereka. “Lalu, bagaimana pendapat kalian soal Haki?” tanyanya kepada semua, apakah setuju untuk mengantar atau tidak.

Arung duluan mengangkat telunjuk. “Kita culik dia dan meminta keluarganya untuk membayar tebusan.”

Livana ikut angkat tangannya. “Lemparkan saja ke tengah laut, lalu biarkan dia berenang sendiri ke sana.”

Entah mengapa, ide mereka sebaiknya dipendam ke hati. Sia-sia untuk diutarakan. Spontan Hala memijit pangkal hidung, “Baiklah. Gauri atau Suha, mungkin?”

Gauri menunduk. Tak berniat untuk berikan pendapat. Tetapi Suha mengangkat ibu jari. “Antarkan saja dia ke Aestemore, tapi minta dia untuk memberikan kita peta dari militer laut. Kurasa Aestemore cukup kental akan hukumnya.” Dan Hala mengangguk secara mutlak. “Baik. Kita lanjut ke Aestemore. Kita pula perlu membeli perlengkapan dan bahan pangan, bukan? Sementara Haki bisa memberikan kita peta dari militer laut, kita juga perlu menentukan tujuan selanjutnya. Termasuk mencari petunjuk mengenai keberadaan petinggi itu.” Tetap saja, ambisi Hala untuk capai tujuan tidak berkurang. Justru semakin berapi-api saja semangat.

“Aye, captain!” ucap mereka serempak. “Eh memangnya kita ini bajak laut?” Arung pun mengetuk kepalanya, bingung. Hala sendiri menggeleng. “Kita, 'kan, cuma pelaut.”

“Ayo jadi bajak laut!” tanpa pikir panjang, Arung berseru. Jagau berkedip dua kali, “Tapi bajak laut itu orangnya banyak,” ucap dia tak bernada. Datar tidak, tegas pula tidak, sepertinya Jagau kelelahan.

Suha menyetujui, dia mengangguk. “Kita hanya berdelapan. Butuh lebih.” Haki yang sejak tadi menguping pun membantah. “Aku bukan bagian dari kalian, tidak perlu dihitung.” Sedang pemuda Dierja tengah membelakangi bangsawan itu berbalik tak terima pula, “Yang kedelapan itu adalah Abyss, bukan kau! Jangan berharap!” Ia menyebut peliharaanya sendiri. Haki seperti ingin menghilang saja, wajah sudah memerah karena menahan malu. Sialan, lebih baik menenggelamkan diri ke dasar laut.

“Lalu, apa nama kelompok bajak laut kita?” Araf yang melemparkan tanya. Terserahlah, dia sendiri memilih untuk tetap tinggal jua. Kapten mereka harus lebih sabar di masa depan yang akan datang sebentar lagi.

“Loka? Tidak begitu buruk kurasa. Aku terinspirasi dari nama sebuah tanaman di Hutan Crophaya kemarin.” Gauri dengan ide cemerlang datang memberikan usul.

“Margamu apa, Nona Hala? Setiap bajak laut harus meletakkan marga kapten pada nama kelompoknya.” Hala tersenyum kecil, padahal ia sudah memberitahu Arung di pertemuan perdana mereka. “Janitra saja.”

“Bagus! Loka Dè Janitra!” Arung dan Hala melompat-lompat kegirangan dan mereka memutari para awak kapal lain. Sedangkan Haki tidak tahu harus bereaksi apa selain memutar bola mata kesal sebab diabaikan.

Tapi meski begitu, ada Arung si pengacau. “Jangan menyentuhku sembarangan! Aku ini bangsawan! Bahkan seorang pangeran!” Arung  sebenarnya tidak peduli status Haki saat ini atau nanti. Toh, bangsawan di sini cuma dia sendiri. Tujuan Arung hanya satu, yaitu menggeledah isi kantong Haki. Apa ada sesuatu yang berkilau dan mahal harganya? Bandit itu pun merotasikan bola mata lalu menepuk pundak Haki. “Kami juga punya pangeran. Kau lihat di sana? Nah, yang sedang melamun itu Jagau Riyaad, pangeran serigala dari Crophaya.”

Haki melihat Jagau dari bawah kaki hingga ujung helai rambut putihnya. Penampilan jauh dari seorang pangeran. “Pangeran lumpurkah maksudmu?” Tidak beralas kaki, bajunya kotor, dan kusam. Jagau pun belum mandi sedari memasuki kapal ini. Bahkan ia tak pernah sekotor sekarang tadinya.

Arung memandang Haki penuh skeptis. “Kau tak akan mengerti sebelum mengenal dia, Tuan Bangsawan.” Ia pun dengan cepat memegang kantong celana Haki, si empu justru takut hal aneh terjadi padanya. Saat selesai, Arung mendengus. “Katanya kau bangsawan, kenapa hanya membawa pedang dan kompas? Kau miskin, ya?”

Haki menggertak geram. “Bandit miskin sepertimu tidak berhak berkata demikian,” sinis Haki. Arung hanya mendecih. Lalu ia mencubit bekas luka cakaran Jagau di pipi Haki. Bangsawan itu mengaduh dan lempari Arung pukulan sebagai balas dendam, tapi mereka jadi berakhir dalam perkelahian.

“Bisakah kalian berhenti ribut!”

BAAM!!

Suara meriam yang datang ditembakkan dari balik kabut, meledakkan sebagian Hutan Crophaya. Sangat memekakkan telinga, Hala pun menjadi panik. Ia buru-buru memerintahkan anggota kapal agar mengangkat jangkar lalu pergi dari perairan sana. Segera menuju ke Aestemore. Maka perlahan mereka meninggalkan Pulau Obat. Berharap bahwa kelompok penyerang tidak mengetahui keberadaan Loka Dè Janitra.

Haki melanglang ke presensi bulan atas sana. Araf menyadari itu, maka ia lempari tanya. “Ada apa denganmu?” Tetapi Haki menggeleng. Sebab Araf sudah penasaran, ia pun menepuk pundak Haki demi berhasil membujuk yang lebih muda. Maka Haki pun bercerita, “Dua hari yang lalu, aku diminta mencari ramuan ajaib untuk ayahku yang mulai sakit-sakitan. Kuakui jika aku memang tidak sabaran jadi aku turun lebih dulu demi melakukan tugasku. Tapi ketika sadar bahwa diriku butuh bantuan, karena aku tidak mengerti bagaimana ciri-ciri rumah si penyihir Livana itu. Maka kembalilah aku ke kapal, tapi mereka sudah tidak ada.” Netra Haki menatap lantai kayu lamat-lamat, “Aku melihat bayangan kapal mereka pergi menjauh. Meninggalkan aku sendirian.”

Tangannya pun menghantam tiang kapal. Haki memukul dengan kuat. “Mereka sama sekali tidak berniat menjemputku!”

Oh, benar dibuang rupanya, batin Arung yang cukup kasihan mendengar cerita dia tetapi itu bukanlah urusan si bandit.

Haki dalam hati memikirkan bahwa ia mungkin harus cepat-cepat pulang demi memastikan sebetulnya ada alasan apa sampai keluarga dia hanya diam ketika pangeran mereka tertinggal di Ranah Shakir. Ia gusar. Apakah seseorang tak ada yang mengkhawatirkan terlebih ingat dia?




UDARA MENERPA LAYAR, membuatnya berkibar melambai-lambai. Raja siang bersinar membawakan kehangatan. Surya terik sudah ada di atas kepala dan orang pertama sudah siap menyambut Aestemore adalah Haki. Mungkin jika ia berada dalam istana, terlanjur sparing dengan pedang kesayangan lalu berduel bersama ksatria lain. Atau mampir ke rumah gubernur untuk memeriksa berkas-berkas. Saat ini pula Haki harusnya sarapan, tetapi perut hanya berdering tanpa diisikan makan.

Datanglah Hala masih dengan apel curian sekaligus jus jambu buatan yang ia peras sendiri menggunakan tangan. “Kau mau ini?”

“Ew! Bangsawan sepertiku tidak memakan bahan pangan murahan dari rakyat jelata!” Haki mengernyit jijik, menyingkirkan tangan Hala dari hadapannya. Jelas si nona sedikit tersinggung. “Setidaknya aku sudah menawarimu, selamat menahan lapar.”

Hala memang berniat membeli bahan pangan baru. Tetapi karena lapar maka ia membuat apel di kabin menjadi lebih layak dengan memasaknya. Daripada keburu disentuh oleh Arung atau Livana, mereka buruk dalam memasak. Banyak sekali kecap serta rempah-rempah tidak penting masuk sehingga kuah menjadi hitam berlebihan bak racikan seorang penyihir tua.

“Arung, kita nanti akan berinteraksi dengan rakyat di Aestemore. Kuharap kau mandi dan mengganti pakaian.” Hala tersenyum manis tapi matanya mengilat tajam. “Juga jangan merampok siapapun. Kalau kita bermasalah apalagi ketahuan ada bajak laut di sini, bisa saja kita dihukum gantung.” Arung meringis, mengangguk berkali-kali.

Livana datang dengan muka suram. “Aku tidak suka pakaian ini.” Dia memakai gaun cokelat lusuh dengan jas pendek hijau gelap. Mungkin itu bagus tetapi karena cukup tua serta ada bagian yang sobek, Livana keluar dari kabin sedikit masam.

“Ayolah, kita harus menyamar jadi rakyat biasa dan terlihat miskin sedikit. Supaya ketika tawar-menawar dengan pedagang, mereka bisa menurunkan harganya karena kasihan!” Hala melipat tangan di depan dada, mengangguk sangat bangga.

Haki tidak habis pikir. “Heh, kalian itu tidak perlu menyamar untuk jadi rakyat miskin!”

Arung mengangguk setuju. “Kita miskin natural, sih.” Dan pantatnya sudah lebih dulu ditendang oleh Hala. “Cepat mandi!”

“Tapi pakaian Jagau terlihat mahal tuh. Menyebalkan sekali.” Tak dapat dipungkiri jika Araf iri dengan manusia serigala itu. Ia ingin memakai punya Jagau tetapi ukuran terlalu besar, jadi Araf memakai yang lain.

“Tak apa Araf, kau tetap tampan,” puji Hala.

Di ujung kapal terlihat Haki menatap tegas penduduk Aestemore yang nampak sibuk. Lalu atensi dia diganggu oleh kehadiran Hala, “Jangan lupa petanya, Tuan Sabilal.”

Ia menghela napas. “Iya. Dasar perompak!”

Saat kapal sukses menabrak dermaga dan Jagau memarkirkan kapal. Hala memulai bagikan tugas bagi para awak. Sementara Haki turun lebih dulu. Ia memiliki tugas paling beda dari lainnya. Untung saja kapal sudah diikatkan ke dermaga oleh Jagau, jangkar sudah diturunkan, mereka pun mengunci pintu kabin. Untuk berjaga-jaga, setidaknya tidak ada yang memeriksa. 

“Jadi, begini tugasnya. Aku akan berbelanja bahan makanan, Gauri bersama Arung bisa membeli perlengkapan kebutuhan kita di laut. Araf lalu Livana khusus kalian, belilah pakaian sekaligus cari perlengkapan sihir kekuatan kau berdua. Dan Jagau, tunggu di kapal, jaga saja selama tiga jam. Oke?” Hala menatap mereka bergantian. “Setelah lewat tiga jam, kau bergabung denganku ya Jagau. Lalu Gauri dan Arung bisa tukar tugas dengan Araf bersama Livana. Boleh?” Lalu ia menoleh ke araf Suha, “Untuk Suha, kau bebas berpencar demi informasi baru atau cukup awasi sekitar kami. Paham?”

Mereka mengangguk. Setuju dengan rencana Hala. “Tapi pertama-pertama, kita tukar emas ini menjadi uang.”

Arung mendelik. “Bagaimana jika emas itu lebih laku di pasar?”

Hala cemberut. “Menukarnya tidak akan menghabiskan emas ini. Masih banyak di kabin.” Arung pun memberikan cengiran.

Mereka akhirnya mulai pergi memasuki pasar. Langkah membawa ke kumpulan orang-orang yang tengah wira-wiri nampak sibuk sekali. Suasana ramai seolah kerajaan milik keluarga Haki hendak mengadakan pesta. Aroma roti panggang menyerbu indera penciuman Hala. Mereka pun sampai di tempat penukaran uang. Hala bilang jangan dulu berpencar sebelum emas ditukar. Jadi, keenam awak kapal berjalan mengekori dari belakang dengan membawa dua tas berisi emas—cawan, koin, kalung, cincin, dan sebagainya. Mereka terlihat seperti habis merampok rumah orang kaya.

Tidak ada hal di dunia selain uang yang Arung sukai. Matanya berubah menjadi pen setelah melihat jumlah uang hasil tukar. Saat mereka keluar, Hala membagi uang secara merata agar mereka dapat belanja dengan baik. Ada beberapa dilebihkan, dan sisa uang disimpan ke dalam tas Suha. 

“Gauri, kalau Arung masih tidak mendengar apa perkataanmu, kau bisa menghajarnya.” Gadis hutan itu mengangguk, berharap Arung benar-benar bertingkah dan Gauri punya alasan untuk memukul si pemuda. Sebab Arung selalu menyebalkan di mata Gauri, menyatukan mereka berdua dalam satu kelompok benar-benar ide buruk. Tetapi Hala tak mau ambil repot urusan akan anggotanya. Jadi dia menyatukan si petangguh dengan pembuat onar. 

“Gauri, kita beli itu!”
“Tidak penting.”
“Kalau yang ini?”
“Tidak perlu.”
“Lihat dulu, nona, kita akan beli ini!”
“Itu kita sudah punya.”

Lama-lama darah si bandit bisa meledak sebab mendidih oleh Gauri. Gadis itu menyenangkan Arung saja tidak mau. Sedangkan menurut Gauri, tiada sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun, heran menghampiri pikiran setelah melihat sekerumunan orang tengah berdiri di depan sebuah papan. Mungkin Gauri pikir, papan fungsinya sama seperti untuk membagikan pengumuman, dia pun menarik tangan Arung agar mengikuti langkah Gauri. Yang ditarik hanya pasrah beserta ikhlas melihat barang unik dari jauh, ingin sekali membeli.

Saat pandangan keduanya menuju ke arah papan. Mata mereka membesar, apalagi Arung. Yang berbeda adalah mereka tidak melihat dua objek sama. Melainkan Gauri dengan berita penobatan Haki, sedangkan Arung melihat poster buronannya. Di sana terpampang jelas wajah sekaligus harga kepala yaitu 800.000 keping emas. Nampak lebih mahal dari sebelum-sebelum itu. Jantung Arung berpacu begitu cepat, saat sadar bahwa dia berada di keramaian. Sial, kenapa posternya bisa sampai Aestemore?

Tunggu, rakyat sekitaran pasar seperti tak mengenalnya. Apa karena Arung mandi? Tetapi dirinya sekarang jauh lebih segar dan tampan daripada foto di poster. Ternyata efek mandi tak mandi bisa berpengaruh sebesar ini dalam menyembunyikan identitas.

“Wajahmu seperti mirip dengan buronan itu, apa kaulah yang ada di poster, Tuan?” Rasanya Arung ingin sekali menjawab pakai bertanya lagi tetapi tentu saja ia tidak akan mengaku. Langit selalu suka mengabulkan apa yang warga-warga kehidupan cemasi.




HAKI BERJALAN SANTAI, dia memang suka berpatroli saat sore hari sekalian membeli cemilan biasanya. Sehingga ia hapal jalan mana yang bisa membawa diri ke istana. Kali ini ia merasa asing, tidak ada perasaan takut ataupun kaki gemetaran. Semua sisi dari tubuh sungguhlah siap. Langkah ia ambil dengan tegas, kini hanya tersisa perasaan marah sekaligus kecewa. Ditambah mendengar bisik-bisik dari akan ada penobatan seseorang kala ia sendiri bahkan belum kembali pulang. Lantas, siapa menjadi raja? Kemana pergi sang ayahanda? Pertanyaan terus bersarang dalam kepala Sabilal Mehaki sampai tak sadar jika sudah tiba di depan kastel.

Sang pangeran menoleh ke kanan dan kiri. Ia melihat tempat gantung sebagai alat penghukum bajak laut dan orang yang terlibat dengan perompak itu. Meski tidak membantu sekalipun, jika mereka pernah dekat dengan kelompoknya maka tetap digantung. Agar Aestemore bersih dari tindakan kriminal, minim dari kekacauan. Namun, bagaimana jika akhirnya salah satu keluarga dia tahu bahwa Haki memiliki relasi bersama Loka Dè Janitra? Mungkin saja ia bisa berakhir sama seperti jiwa-jiwa malang tersebut. Membayangkannya tidak sanggup. Diam-diam Haki meringis lalu mengalihkan pikiran buruk tersebut. Sedikit membatin pasti ada pencuri lagi sehingga alat tersebut berada di halaman istana. Langkah kaki pun dibawa Haki berjalan memasuki istana. Detak jantung sudah tidak tenang ketika melewati pintu tanpa pengawal yang biasa menjaga di depan.

Sabilal Mehaki sukses dibesarkan dengan kekayaan keluarga, itulah kenapa sifatnya menjadi sombong kepada warga kelas rendah di bawah kasta milik Sabilal sendiri. Dia tidak sudi jika ego yang dimiliki terluka karena dibuang keluarga. Haki bepikir jika dia dilahirkan untuk selalu berada di atas, dan sekarang ia takut terjatuh sendirian.

Badannya terasa panas dingin saat sampai di ruang santai yang mana biasanya ramai akan Ayahnya dan Ibu Ratu bercengkrama. Tetapi kali ini sepi. Entah kenapa ia merasa tidak nyaman karena melewati tempat itu dengan mudah. Hanya saja, kemana semua orang? Padahal di luar ramai sekali?

“Haki ...?”

Tangan si empu nama mendadak kaku, ia sedikit lagi akan membuka pintu. Tetapi suara seseorang menginterupsi langkah Haki. Suara ini ... tanpa sadar senyumnya terangkat lebar. Dengan cepat berbalik.

“Kak Nabeel?!”

Kedua kakak-beradik itu berlari hendak memeluk satu sama lain. Ketika sudah sampai, Nabeel ingin mencapai kepala Haki lalu mengelusnya pelan. Ditunjukkanlah betapa rindunya si sulung akan sang adik. “Where have you been? Kenapa baru saja pulang? Habis darimana kau?”

Haki mengernyit bingung. Sangat mungkin jika kakaknya tahu soal tugas Haki untuk mencari obat bagi sang ayah namun kenapa pertanyaan tersebut seperti asing sekali. “Aku ...” entah kenapa lidah Haki kelu walau sekadar mengucap tempatnya dibuang, Ranah Shakir. Ia ingin mengadu tapi bagaimana jika ada pengkhianat di anggota kerajaan mereka? Haki benar-benar tidak memiliki nyali. Baru kali ini menyesal jadi pengecut. Seketika membenci diri sendiri.

Nabeel yang sadar bahwa Haki nampak linglung dan raut seperti orang tersesat, membawa si bungsu arah dapur. “Ayolah makan dulu. Kau seperti kelaparan sekali. Hari ini penobatanmu, adikku tampan,” ucap Nabeel sembari mengacak-acak rambut Haki dengan sayang. Ia tertawa.

Haki sendiri mendelik. “Kapan? Now? Aku tidak tahu soal itu, kenapa mendadak?”

Nabeel hanya tersenyum manis. Lesung pipitnya muncul di dua sisi bibir. “Kau akan tahu nanti. Sudahlah, ayo makan dulu dan bersiap-siap menyambut tamu undangan.”




HALA SEDANG BERSENANDUNG ria di area pasar. Sesudah membeli bahan pangan, ia akan mencoba kuliner sebab jajanan rakyat Aestemore sangat mewah dan nampak lezat dalam mata memandang. Lagipula Hala lapar sekali. Sudah rindu bagaimana tekstur lembut Cinnamon Toast mampir ke lidahnya yang kurang gizi akhir-akhir ini.

Namun, tiba-tiba datang orang yang berani menarik Hala masuk ke sebuah gang gelap lalu menghimpit dia ke tembok milik rumah salah satu warga, kedua tangan memblokir pergerakan gadis ini. Sekujur tubuh Hala seketika lemas. Keringat dingin mulai turun.

“Halo, nona. Boleh pinjam salah satu yang ada di dalam tasmu?” Hala meneguk saliva keras-keras. Bagaimana laki-laki ini tahu jika ada sesuatu? Yakni adalah senjata.




SEMENTARA JAGAU SENDIRIAN bersama Abyss di kapal. Tiga jam menunggu mereka kembali untuk bergantian pergi itu sangat membosankan. Jagau juga ingin jalan-jalan. Tapi untunglah Abyss menemani Jagau mengobrol walau Jagau tidak begitu yakin apakah hewan peliharaan Arung ini dengar suaranya atau tidak. Ketika Jagau baru saja selesai mengawasi kapal di ujung dermaga, ia mendapati Abyss justru turun dari meja dengan lompatan kecil. “Woof, woof!”

Jagau kaget. “Abyss, jangan turun. Nanti kau bisa jatuh, duduk di pangkuanku saja.” Laki-laki itu berkata demikian, tetapi Abyss tidak menuruti. Alhasil ia mengikuti Abyss.

Abyss mengibaskan ekor. Sepertinya tidak sabar menunggu Hala dan yang lain pulang. Sekarang pun sudah tiga jam berlalu tapi batang hidung mereka tak kunjung muncul. Dengan otot kaki, Abyss meloncatlah dari kapal untuk turun ke dermaga. Jagau lagi-lagi terkejut dengan aksinya, “Abyss, kita harus menunggu.” Abyss sendiri hanya memberi balas dengan lompat di tempat, seperti menunggu Jagau ikut turun. Ia sendiri ingin sekali memasuki Aestemore, tapi Hala memintanya unruk menunggu. Jagau jadi dilanda dilema kuat sekarang.

Tapi Jagau ingin sekali ...

Lalu manusia setengah serigala itu menatap kakinya, Hala bilang jika Jagau harus memakai alas kaki agar telapaknya tidak tertusuk duri maupun pecahan kaca. Jagau menghela napas, dia tak suka pakai alas kaki. Senangnya nyeker macam biasa. Lagipula siapa Hala berani mengatur apa yang Jagau suka dan nyaman pakai? Ia reflek mengangguk-angguk. Segeralah melompat dan pergi tanpa alas kaki. Namun, belum keluar penuh dari dermaga. Beberapa koordinator dermaga—tukang parkir kapal—menyita langkah Jagau.

“Hei, kau harus bayar pajak,” ucapnya seorang pria sambil melihat buku catatan.

“Apa kau tidak kasihan, kawanku? Lihatlah, penampilannya seperti gembel!”

Meski hanya cemooh kecil, Jagau masih bisa tersinggung. Boleh saja Arung atau kru kapal lain jahil padanya. Tapi kalau orang asing, ia tidak segan untuk membalas.

“Tck, itu kapalmu bukan? Bayar atau kami akan menyita barang-barang di dalamnya.”

Rekan satunya tertawa remeh, “Kau yakin kasim ini pemilik kapal itu? Pffft— ...”

Seketika mata emas menyala tanpa ramah.

“Katakan lagi maka hidupmu bisa berakhir.”





—BERSAMBUNG.



CATATAN KAKI:
KASIM : adalah sebutan untuk pelayan istana yang bertugas sebagai penjaga tempat tidur bagi keluarga kerajaan.

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...