BIDIKAN SUHA BERHASIL melesat, Danar pun mulai melompat ke sebuah tali gantung, kemudian melakukan salto hingga kaki memapaki tanah dengan sempurna. Kegesitan lelaki itu membentuk gerakan indah, target ketapel dari Suha berhasil memutus tali yang menggantung tangan Jagau, hingga satu gesekan saja sudah dapat terlepas. Kerja sama mereka nampak ikuti intuisi, seolah terhubung sesamanya.
Prajurit segera ambil tindak atas kegaduhan yang ditimbulkan mereka bertiga, sedang Danar tersenyum melihat kepanikan pada mimik wajah para prajurit. Ia menendang perut salah satunya, membuat sang korban merintih serta jatuh ke permukaan bersama tombak tiada guna. Jelas alat tajam itu diambil Danar ketika mendapat kesempatan untuk mencuri. Kemudian Jagau diam melongo karena ingin menunggu aba-aba, ia tak mau jika berakhir mengacau rencana apalagi menyakiti sebagian rakyat tak bersalah. Juga ia merasa ragu oleh satu hal, kepada laksamana perempuan. Bagaimana jika si wanita berkepala tiga menaruh dendam?
Prajurit Aestemore semakin banyak datang sekaligus mengelilingi mereka dari segala arah, para militer pun memasang pelatuk mereka di lantai atas istana. Meski berhasil membalikkan keadaan, tetap saja Loka Dè Janitra masih kalah dalam jumlah. “Jangan bergerak!” ucap prajurit pada para pembuat onar di depan mereka.
Suasana berubah menjadi tegang, sorak gembira tadi digantikan ketakukan rakyat akan teror kegelisahan. Segera pihak yang bertugas mengamankan warga dan coba mengepung kelompok perompak. Serta bantuan tiba dari satu bidikan saja, sudah berhasil menggulingkan jejeran prajurit. Danar tersenyum, ia merasa bangga pada gadis itu sebab bisa melakukan bidikan sempurna. “Dia boleh juga.” Danar tatapi Suha dengan sedikit takjub sesaat ia ikut mengayun turun menggunakan tali.
Emosi yang sebelumnya pudar kini meluap drastis, air wajah sejuk berubah menjadi tak menyenangkan. Festival perayaan sehabis penobatan sang adik justru berlangsung dengan berantakan tanpa pembukaan apapun. “Kalian para bajak laut, memang sukar kedamaian. Bukan hanya di samudera, kalian selalu saja mengacau di negeri orang.” Nabeel memandang sinis penuh benci, ia melompat turun dari podium dan melangkahkan kaki secara tegas menuju posisi Danar.
String!
Nabeel mengeluarkan pedang dari sarung. Ia mengarahkannya pada Danar sampai leher tergores tipis di ujung, sang empu hanya menatap wajah pangeran dengan tajam. “Segitu kau menginginkan harta karun itu?” tanya Nabeel skeptis ke Danar.
Danar tersenyum miring yang sama sekali tidak terlihat manis dalam posisi sekarang. Terkepung. “Semua orang tahu seberapa berharganya barang di peti itu, pangeran.” Di luar dugaan justru Nabeel langsung melayangkan pedang tajamnya untuk menebas kepala Danar. Jagau melotot, ia ingin menolong tetapi tak bersiap.
Trang!
Satu ketapel dengan cepat menepis pedang di tangan si pangeran. Danar dalam hati berucap syukur karena tak jadi mati. Ia lirik cahaya dari arah atas, rambut si gadis nampak terbang oleh Dewi Angin, cokelat menyala berhasil pancarkan terik. Suha membuka salah satu mata saat fokus berhasil mengenai target.
Nabeel mundur dua langkah perlahan, “Kalian semua ... bunuh mereka tanpa ada yang tersisa!!” Urat di kepalanya mendadak kencang, ia sungguh tak terima hari berjaya akan berakhir tanpa satu pun masalah bisa terselesaikan. “Habisi mereka, ayo habisi!!”
Sorakan prajurit maupun militer laut pun mengudara, gejolak amarah mulai kembali bergemuruh menyelimuti gairah perang. Suha langsung melompat layangkan tendangan, diikuti Danar mengambil perisai lalu melakukan gerakan memutar supaya dapat melempar benda itu ke depan. Beberapa musuh sukses terpukul ke belakang hingga mereka tumbang.
Di tengah penyerangan, mata tajam Danar melihat bahwa Nabeel membawa pergi harta karun itu menjauh dari huru-hara. Karena tidak memungkinkan jika ia masuk ke dalam, maka berpindah tugas ke Suha. Kepala pun mendongak sekilas, berteriak, “Oit! Susul harta karunnya, Suha!”
Suha mengangguk. Tapi sebelum pergi ia menatap Jagau yang masih diam sedari tadi tengah menunggu aba-aba. “Jagau! Aku mengandalkanmu, lakukanlah apa yang bisa kau lakukan! Lumpuhkan semuanya!”
Jagau menyetujuinya. “Aku mengerti!” Ia pikir tak perlu berbuat banyak hal. Yang penting lumpuhkan mereka dahulu sampai tidak bisa berdiri dan menyerang dengan menambah pasukan lagi.
Suha melangkah terburu-buru untuk masuk ke istana. Ia tak lihat jalan hingga sampai salah pijakan. Dirinya terjeblos pada salah satu atap kayu hingga jatuh. “Pinggangku!” Gadis itu memejamkan matanya sembari meringis, ia yakin tidak makan banyak sampai berat badan naik drastis. Bahkan belakangan ini sedang miskin jadi makan cukup sehari sekali. Namun bangunan mungkin memang sudah tua, ia mendarat di tempat paling rendah, gempa bisa terasa di sekitar. Hal tersebut sebabkan figura ikut terlepas dari dinding lalu pecah kacanya membuat persegi lain keluar dari balik debu sana. Sebuah foto keluarga berbahagia.
Kepala penuh tanda tanya. Ketika melihat seorang anak laki-laki tengah genggami tangan sang ibu, Suha pikir dia adalah Haki. Namun, anak itu lebih mirip orang yang membawa harta karun tadi alias Pangeran Nabeel. Wanita tersebut nampak tersenyum bahagia, lalu pria di samping adalah sang raja dari kepala keluarga tersebut—ayah Haki dan Nabeel. Suha menduga, “Apa ini foto sebelum Haki lahir?” sebab umur Nabeel masih sangat kecil di foto, ditambah wanita dalam gambar berpose dengan memegang gundukan atas perutnya.
Sebelum Suha berpikir lanjut, gempa pun semakin melanda tempat itu. Pasti Jagau sudah mulai menyerang para prajurit maka debu hingga kertas-kertas tua jatuh secara berhamburan pada atas kepala sampai ke lantai. Mata Suha pun tak sengaja beri pandang ke sebuah koran harian lama milik Aestemore lalu membaca judul pertama karena huruf dibuat lebih besar ketimbang lainnya. “Ratu keguguran setelah mengandung dua bulan ….”
—
LEMBAB PADA SEBUAH ruangan sunyi pun tiba dihadiri oleh ketiganya. Ada debu yang menemani di setiap sudut. Ruangan itu hanya dijaga oleh satu penjaga, manakala sudah lama bekerja untuk Keluarga Sabilal. Ia dipercaya melakukan tugasnya meski melakukan dengan sangat berat hati.
Tok, tok, tok!
“Pak, tolong, pak! Mayatnya hidup lagi!” teriak Gauri sedikit histeris. Dari balik lubang di mana ada satu-satunya celah yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dikarenakan ruangan cukup kedap suara. Gauri berteriak keras disertai kepanikan dalam nada bicaranya. Penjaga otomatis berbalik memastikan keadaan, “Ada apa?”
“Ada mayat hidup, pak! Sungguh! Kalau tidak percaya, lihatlah kemari!”
Penjaga tersebut merematkan tombaknya, membuka pelan pintu kayu yang tebal itu untuk mengetahui masalah mereka. Lalu tangan gesit dari dalam ruangan langsung membuka pintu lebar-lebar, cahaya dari lentera pajangan depan pintu masuk begitu saja. Berhasil menampakkan tumpukan mayat tergeletak di sekitaran tempat tersebut kemudian seseorang berdiri pada tengah-tengah dengan jalan tertatih-tatih.
“Bisa dilihat 'kan, mayat hidupnya?” Gauri mengarahkan telunjuknya ke arah orang itu, penampilannya kotor dan bersimbah darah. Namun, saat si penjaga hendak mendekati yang disebut ‘mayat hidup’, mendadak pandangan menjadi gelap. Seseorang telah menutup kepalanya dengan kain basah. Gauri menoleh cepat. “Haki, sekarang!”
Haki keluar dari persembunyian sembari membawa botol yang terbuat dengan gelas kosong. Ia memukul kepala penjaga lewat alat itu, hingga pecah menjadi beberapa kepingan besar. Oknum bertugas pun pingsan secara mudah. Gauri serta Haki sontak memberi apresiasi kerja keras mereka bertiga. “Mampus! Pergi sana kau ke alam baka!”
“Kerja bagus, bangsawan buangan!” Haki mengernyit tak suka dengar pujian itu. “Hei, aku punya nama!” Namun, Gauri tak mengindahkan ucapan si lelaki.
“Astaga, pura-pura menjadi hantu ternyata sesulit ini.” Arung nampak mengeluh kecil. Muka sudah terlihat masam setelah rencana mereka sukses besar. Ia melepas kemeja tipis milik salah satu mayat tak bernyawa kemudian menyeka tubuh kotornya. “Bagaimana aktingku? Sudah keren belum?” tanya Arung minta validasi.
Haki melirik acuh. “Lebih dari totalitas.” Ia menendang tubuh sang penjaga sekadar untuk mengecek kembali. “Aku tak sedang memujimu omong-omong.”
Arung memutar bola mata malas. “Aku pun tidak mengharapkan pujianmu, bertanya saja.” Ia nampak mengendus-endus bau badannya. “Tapi baguslah, tidak sia-sia aku menahan mual saat mencium bau busuk di sekujur tubuhku. Tcih! Gorila betina itu pasti akan memintaku agar mandi seratus kali nanti!” Arung mengeluarkan kelesah.
Gauri tersenyum mengejek. “Wah, wah. Aku laporkan pada kapten karena kau berani memanggilnya gorila.” Urat di kepala Arung reflek muncul, ia menggertakkan gigi. “Hoi! Kau senang melihatku dipukuli kapten, ya? Lagipula kupikir kau akan menyuruh Haki yang menjadi mayat tapi aku korbannya!”
Mereka berancang-ancang untuk memulai perkelahian, Haki menggeleng lelah. Lalu terpaksa menarik keduanya untuk masuk lebih dalam ke istana. Gauri masih sahuti Arung dengan realistis. “Wajahnya bisa dikenali nanti. Kau ingin ditangkap, ha?”
Arung menyengir lalu geleng kepala gugup. Haki tak kuat menahan amarah lagi. “Cepat tinggalkan tempat ini, jangan berisik! Dasar lamban.” Sedang Gauri menepis tangan Haki, lanjut melangkah sendiri. Tetapi Arung justru menyilangkan kedua tangan di depan dada, wajah nampak tidak ikhlas. Mereka sempat berdebat sebentar hingga bangsawan tersebut segera mengeluarkan pedangnya. “Kau ingin jalan sendiri atau kupajang kakimu di depan gerbang?”
Mata Arung melotot, ia berjalan cepat langsung menyusul Gauri di depan. Tak butuh waktu lama hingga mereka sampai ke lantai atas. Mereka pun menuju ke tengah untuk melihat keadaan di bawah, apakah masih ada penjaga ataupun tidak. Tak lama mereka dikejutkan oleh getaran yang membuat benda-benda pajangan milik dinding mulai berjatuhan.
Biru pada netra Haki mengilap saat tangkap bayangan itu berjalan membawa sebuah kotak cukup besar. “Nabeel!” Hati nampak memanas, gejolak amarah perlahan ambil alih diri. Segera ia berjalan mundur, siapkan ancang-ancang lompat. Lalu berlari untuk melompat ke punggung Arung. “Argh! Sakit hoi, punggungku!” Gauri menatap kasihan.
Aksinya berhasil membuat Arung langsung jatuh tengkurap sembari pegangi punggung sehabis digunakan oleh Haki sebagai tempat kaki berpijak. Di mana ia berhasil melangkah ke arah pagar pembatas lalu melompat lagi. Arung cepat-cepat bangkit untuk melihat apa yang terjadi. Ia menarik Gauri ikut serta menyaksikan. “Terlihat keren! Gauri, ayo ikut lompat juga!”
Rasanya Gauri ingin mematahkan kepala Arung saat itu juga, “Kau gila, ya? Aku tak mau lompat. Kita turun lewat tangga!” Arung cemberut namun tetap menurutinya.
Haki nampak meraih lampu gantung hanya dengan satu tangan, dan meluncur bebas ke tempat Nabeel. Suara dari Haki sukses membuat kakaknya berpaling. Sadar Haki tak mudah dijatuhkan, ia mempercepat langkah tetapi Haki langsung meluncur ke bawah. Haki nampak sangat marah. “Dasar Nabeel keras kepala! Pantas aku memiliki sifat yang sama dengannya.” Haki sadar jika langkah Nabeel semakin cepat, ia segera meluncur ke bawah tak lagi berjalan. “Hei, kak, diam di sana!”
“Kau memanggilku itu? Sungguh tak dapat dipercaya.” Nabeel tersenyum sinis. “Siapa lagi di sini yang memiliki nama seperti itu selain dirimu, kak.” Penuh kecepatan tinggi, Nabeel menangkis tendangan Haki menuju kepalanya dengan pedang yang belum kembali pada sarung. Sehingga mereka berdua sama-sama terpental dalam jarak beberapa meter tak jauh. “Kau sadar sudah sejauh mana kau tersesat, Kak Nabeel? Aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan semuanya!” Haki memang mudah tersulut emosi, kali ini ia berhak suarakan tanya penyebab api amarah terbakar.
Nabeel tersenyum tipis. Air wajah terkesan mengejek si lawan bicara. Ia memijak harta karun yang dibawa sambil menancapkan pedangnya ke lantai. Perlahan berbalik lalu mendekati posisi Haki. “Kupikir sehari yang lalu kepulanganmu, sudah cukup waktunya untuk menjawab semua teka-teki. Ternyata kau masih tidak mengerti juga, ya? Untuk rencanaku selama ini, apakah kau tidak melihat itu?” Netra pangeran memicing.
Haki tak bergeming. Ia tengah berusaha memikirkan perkataan sang kakak. “Jelas aku tak mengerti jika kau tak beritahu aku, kak! Rencana apa yang kau maksud itu?!”
Kemudian Nabeel merenung. Ia bertekad akan menceritakan semua pada Haki. Tak terkecuali. Di mana terdapat ingatan masa lalu membuat mereka sama-sama terluka menggunakan cara berbeda. Kebenaran pahit telah Aestemore kubur agar tak menjadi aib, justru luka semakin tumbuh subur. Bagaimana pondasi Aestemore dipaksa terus tegak dengan membebankan penerus tanpa tahu apa-apa. Namun dalam perspektif tiap orang selalu hadir penjahat bersama korban tercipta ke sebuah kisah.
Bertahun-tahun lalu, saat sang ratu tengah mengandung. Malapetaka berhasil dimulai, mengacaukan kekokohan batin serta jiwa yang ditinggalkan. Bersama mata polos ikut menyaksikan semua kejadian sadisnya.
—
DULU SEMASA KECIL, Nabeel tidak pernah mempunya teman bermain. Ia selalu pergi sendirian. Waktu senggang dihabiskan demi berlatih serta melukis. Maka suatu hari, si pangeran pergi ke hadapan ibunda. Berharap anugerah datang memberikan berkat, “Ibu, apa Nabe boleh mempunyai adik?” pertanyaan kecil diberi jawaban oleh ratu dengan anggukan manis. Dipintanya Nabeel menunggu sejenak waktu tiba untuk melahirkan kecil harapan milik pangeran.
Ketika hari di mana air ketubannya pecah, kondisi perut sang ratu tidak stabil. Hingga semua kekhawatiran serta rasa takut jadi satu ditutupi oleh sakit. Karena kesehatan nampak menurun, ia tak sanggup lakukan persalinan. Raja Nir Sembada pun dihadapi oleh dua keputusan, pilihan yang tersedia tidak ada satu pun pembuat hati tenang. Antara dua nyawa, ia hanya boleh memilih satu agar diselamatkan. Ratu Moriah Rut tetap hidup tapi bayi dalam kandungan bisa tiada, atau sebaiknya. “Tabib, aku mohon selamatkan istriku!”
Peristiwa tersebut berhasil diakui menjadi berita paling sedih ke sejarah Aestemore. Ratu mereka mengalami keguguran. Raja sangat marah bukannya merasa berduka. Pagi itu, Nabeel datang di ruangan sang ibu sembari membawa setangkai Bunga Melati setengah layu. Ia mendekati permukaan perut ibunya yang sudah dijahit dua hari lalu. Tenaga pun hilang, wajah enggan lagi anggun nan berseri. “Nabeel, sayang. Apa kau kecewa karena ibu gagal melahirkan adikmu?” Moriah hanya membuka mulut tanpa menoleh, tidak berani menghadapi anak sendiri bersama wajah lesunya.
“Ibu ... ini 'kan ... tubuhmu. Aku tak berhak untuk merasa kecewa sementara ibu sudah bertaruh nyawa dalam melahirkan adik. Ibu yang sakit, bukan aku.” Anak berumur enam tahun bisa mengatakan hal luar biasa pada sang ratu, hati Moriah terasa diremas sampai kering. Bulir hangat mata sukses merembes jatuh tanpa disuruh, wanita tersebut menggigit bibir bawah agar isakan cengengnya tak didengar oleh Nabeel. Namun Nabeel juga tak dapat bohong jika bibir tersenyum bersama pipi membentuk aliran sungai, bersedih bersama kepahitan milik ibu juga. Tak ingin pahlawannya sakit.
Kehilangan anak adalah patah hati terbesar seorang ibu. Rasa sakit berubah menjadi dendam, semenjak saat itu Moriah memiliki ambisi agar dapat mempunyai anak kedua. Raja Nir Sembada yang tak mau jika istrinya kesakitan lagi justru menentang keputusan ratu. Dan mata polos Nabeel menyaksikan perdebatan mereka di balik pintu. Dari sana ia mengetahui bahwa Moriah berhasil ikuti serangkaian ritual ilmu hitam agar memiliki anak lagi. Ternyata manjur maka Sembada harus menerima dia juga setelah lahir.
Walau Moriah hanya meminum ramuan ajaib dan bayi itu tetap lahir dari rahimnya, Raja Sembada masih tak menerima sampai berani menuduh bahwa bayi tersebut haram atau putra Moriah dengan lelaki lain. Agar tak menimbulkan aib bagi Aestemore, Sembada datang pada kamar tersebut di kala Nabeel masih menjaga adik. “Di mana bayi sialan itu?” Jantung Nabeel berdegup lebih kencang tetapi langkah tetap berani menghadangi ayah yang sudah kehilangan akal. “Ayah tidak boleh mendekat!”
“MINGGIR, NABEEL, KALAU KAU TAK MAU AKU LUKAI JUGA!” Sontak Nabeel pecahi tangisnya, diambillah sang bayi untuk ia gendong. Ringan dan begitu kecil, Nabeel peluk dengan erat. “Dia juga adikku, ayah.”
Kejadian masa kecil membuat Nabeel jadi tumbuh memiliki sikap yang overprotektif pada adiknya. Ia selalu menekani prinsip bahwa Sabilal Mehaki, adiknya itu tidak boleh terluka sedikit pun entah fisik maupun batin. Tetapi saat Haki mulai bertumbuh besar, rakyat entah darimana asalnya tahu jika Haki datang dengan asal usul paling aneh. Ditambah karena efek sihir hitam, Haki justru memiliki sikap buruk hingga menyebabkan semua orang jengkel.
Mereka menyebut jika Haki tetap dibiarkan hidup maka dapat mendatangkan kutukan. Haki diartikan sebagai iblis kecil pembawa mala bagi mereka, membuat masyarakat semakin enggan menerimanya. Ia seolah diperlakukan bagai benda kotor dalam tempat sampah. Sosok pangeran tersebut tumbuh besar dengan ajaran sang ibu agar menjadi pemimpin berdedikasi serta caci-maki rakyat terus melempar benci. Tak lupa, rangkulan Nabeel adalah penyembuh atas segala luka yang sudah Haki peroleh.
Haki tentu acuh pada segala cemoohan itu. Tapi tidak dengan Nabeel yang terusik akan omong kosong tak penting mereka. Sampai Haki sendiri khawatir jika kakaknya ikut diejek lantaran bergaul bersama orang cacat hati bak si adik. Jadi ia mendorong pergi. “Kenapa kau selalu mendekatiku, kak? Kau dengar orang-orang di luar sana bicara buruk tentangku? Jadi sebaiknya menjauh agar tak ikut terkena masalah.”
“Biarlah mereka menilai, tentangmu cukup aku saja yang tahu. Kita, 'kan, saudara.”
Kembali pada masa kejayaan Aestemore yang masih stabil seperti sebelumnya, ratu menjadi lebih banyak menghabiskan waktu bersama putra-putranya daripada beri bantu ke Raja Aestemore XI agar hadir dalam membereskan kekacauan rakyat. Oleh karena itu, raja menjadi pusing dua kali lipat dibanding biasa. Dari sanalah ia jadi mulai sakit-sakitan hingga menuntut agar segera diganti pemegang tahta baru.
Namun, Nabeel yang saat itu sudah tiba di umur duapuluh tahun. Tengah sibuk urusi adiknya karena memasuki masa pubertas yaitu 14 tahun. Mereka terus akrab meski teriakan rakyat bisa semakin keras dari itu. Nabeel selalu berjanji ke Haki untuk tetap menjadi saudara. Itulah mengapa ketika pernyataan tersebut menjadi omong kosong, Haki sangat marah. Seharusnya saudara tidak saling menghunus kebencian.
Tetapi mengingat betapa baik Nabeel kala masa-masa pelatihan bukan lagi sebagai rutinitas melainkan menjadi perlombaan untuk melihat siapa yang lebih pantas di tahta raja. Mereka berkompetisi secara adil. Walau Nabeel sudah pasti tahu bahwa raja pengganti ayahanda tentu adalah dirinya. Sedari dulu paham jika Haki miliki tekad kuat maka ia ajaklah Haki bergabung dalam klub-klub resmi hingga melatih kemampuan di bidang kepemimpinan. Nabeel ikut hanya sekadar formalitas belaka, bila Haki murni atas keinginan impi-impi besarnya.
Beberapa tahun kemudian berlalu hingga berhasil membentuk Haki sekaligus Nabeel menjadi ksatria pemberani. Bentuk sebuah apresiasi dari perkataan Nabeel seperti dapat menyihir Haki dan perlahan memberi kepercayaan diri yang tutupi kekurangan dalam cacat hati sampai mati. Haki ingin dihargai kehadirannya, mungkin saat ia menjadi pangeran sekaligus berpartisipasi ulurkan bala bantuan bagi Aestemore, serta menjalin kerja sama dengan pulau tetangga pasti Aestemore bisa semakin maju. Dengan itu, rakyatnya akan mulai menerima hingga mencintai Haki sedikit demi sedikit.
Nabeel yang mengetahui cita-cita adiknya pun menjadi bangga. Tak pernah barang sekali ia menjatuhkan ekspektasi sang adik dalam menggapai seluruh pekerjaan. Tentu pro serta kontra selalu ada di dunia. Ratu Moriah percaya bahwa Haki bisa melakukan tugas-tugas raja dengan baik, tapi bagi Raja Sembada sendiri memiliki keinginan besar untuk menobatkan Nabeel sebagai raja selanjutnya daripada meresmikan Haki. Dari situlah, Nabeel pertama kali berani menentang keputusan ayah, ia menolak himbauan beliau untuk menobatkannya.
“Aku tidak ingin menjadi raja, ayah.”
“Apa katamu?! Seenaknya saja kau tidak mendengarkan aku. Pergi berlatih sana dan ikuti sungguh-sungguh agar kau bisa jadi raja yang berdidikasi.” Tetap saja, Nabeel tidak mendengarkan. Sikap pembangkang mulai berkembang besar sehingga makin tak peduli pada perkataan orang lain. “Aku lebih senang menjadi rakyat biasa, hidup dengan melukis bahkan menjual karyaku. Aku lebih senang dikenal sebagai seniman daripada raja yang mudah dilupa, ayah.”
Ia bahkan rela melakukan pelanggaran seperti membolos dari kelas pelatihan, sengaja menjatuhkan diri selama berlatih kuda agar ayahnya yang mengawasi dapat berpikir bahwa Nabeel buruk jika menjadi raja tetapi bukan membaik justru Haki pun disalahkan atas segala perbuatan onar milik Nabeel. Hingga sang putra mahkota mulai berbicara empat mata, “Ayah harus dengar aku! Haki begitu bersemangat. Apa perlu membuatnya kecewa untuk kesekian kali?”
Ayahnya yang masih kesal dengan kelakuan Haki pun membalas gondok. “Kenapa kau selalu bertingkah macam pahlawan? Tidak usah membantah, lakukan sesuai perintah.”
Mereka saling menatap sengit, anak dan ayah itu seperti cerminan diri. Ketika salah satunya terobsesi dengan sesuatu, mereka tak dapat menghentikan keinginan sendiri hingga tak ada bisa menghalangi di esok hari. Tetapi Nabeel pergi dari ruangan, hendak mencari-cari keberadaan Haki yang senang sekali berkeliling. Ia memutuskan untuk memakai jubah agar orang-orang tidak heboh melihat kedatangannya. Walau semakin ditemukan informasi dapat secara mudah mengacaukan pikiran, Nabeel saja bingung membedakan benar juga salah.
“Pangeran Nabeel yang malang, iblis kecil itu selalu merenggut sesuatu darinya.”
“Dia bahkan masih berbaik hati mengalah setelah si serakah itu merebut kursi tahta.”
“Kasihan, pangeran. Jika ia terus begitu maka tak ada nasib baik yang datang.”
“Bila Pangeran Nabeel sampai menobatkan adiknya yang berhati busuk itu, aku akan demo. Ini sangatlah tidak adil!”
Bisik-bisik semakin ramai datang agar bisa menyakiti telinga siapapun pendengarnya. Dada Nabeel seakan dihantam oleh paku besi dan hatinya memanas hanya dengan mendengar perkataan orang-orang resmi Aestemore kepada Haki. Jadi, merekalah penyebab dari senyum Haki pudar. Selalu merusak bahagia yang Nabeel ciptakan.
“Huft, andai aku bisa membeli rakyat baru.”
Hal tersebut terlintas begitu saja dalam benak tanpa sedikit pun rencana matang. Itulah dia, Nabeel bisa memulai lempari bantu dengan menyingkirkan barang rongsokan tak berguna lalu menggantinya jadi barang lebih bagus. Tanpa siapapun ketahui, ia mudah menjalani rencana ini.
Kemudian Nabeel sengaja bertemu Haki, ia langsung mengatakan bahwa, “Haki, aku menemukan informasi jika ada ramuan agar bisa mengobati sakit parahnya ayah. Kau harus pergi mencari obat itu ke Ranah Shakir, supaya kau tahu memerintah koloni serta pasukanmu nanti.” Haki tentu tertarik dengan perkataan Nabeel, selain karena ia menyebut hal-hal berbau kepemimpinan. Hal tersebut dapat dijadikan bukti apabila Haki layak menjadi raja kepada rakyat dan keluarga. Maka ia pun setuju, ditinggal ke pulau sendirian juga rencana milik Nabeel. Ia butuh Haki pergi demi ganti penduduk sekaligus tatanan pemerintahan baru.
Dalam tiga hari tiga malam itu, aksinya berjalan mulus. Sesuai dengan rangkaian rencana di kepala Nabeel. Di hari ketika Ratu Moriah tahu aksi anak pertama kesayangan, ia langsung mengamuk pada Nabeel. “Kau sudah melewati batas!” Dari perkataan tersebut, hatinya terluka dan menganggap bahwa si ibu tak mendukung perbuatan Nabeel. Maka ia meracuni beliau saat perjamuan teh berlangsung.
Perlahan-lahan selama kurun waktu tiga hari Nabeel membantai semua rakyat lalu menambah pemasokan penduduk baru. Ia menyuruh mereka beraktivitas seperti rakyat Aestemore secara umum. Ambisi Nabeel hampir terpenuhi, tapi kepulangan Haki sebelum empat hari sudahlah menjadi petaka bagi Nabeel. Karena Haki terpaksa melihat si ayah tiada setelah perbuatan putra sulung sendiri. Haki sendiri tak dapat menghentikan niat Nabeel, ia pikir kakaknya sudah hilang akal.
Nabeel sendiri pun mengaku tidak bisa membantai seluruh umat Aestemore. Maka dari itu ia mengeluarkan harta karun yang sudah disimpan lama oleh kerajaan. Benda kuno yang konon dipercaya orang sebagai pendatang kematian. Tapi adiknya terlanjur pulang, membawa bajak laut hingga segala jadi kacau-balau secara langsung.
—
“KENAPA KAU MELAKUKAN ITU UNTUKKU, SIALAN?!” Haki masih berusaha layangkan tinju ke arah Nabeel. Ambisinya setinggi milik Nabeel. “Kau tahu 'kan itu sangatlah dilarang oleh ayah dan ibu!”
Tangan Nabeel menghantam pipi Haki. “Aku tidak peduli! Mengapa kau sebegitu peduli atas aturan ayah dan ibu yang tak pernah menyayangimu itu?” perkataan Nabeel reflek melukai hati si bungsu. “Mengapa kau sangat mematuhi peraturan sampah itu padahal aku tahu batinmu sangat tersiksa? Mereka harus merasakan lukamu juga.”
Haki menggeleng pelan sambil mengusap keringat di bawah dagu. “Ingatlah statusmu di depan semua orang, apa pantas seorang pangeran melakukan hal keji seperti ini?”
Nabeel mendecih kasar. “Kau sepertinya sangat peduli ya dengan kasta dan tahta kebangganmu itu.” Ia tersenyum miring. “Apakah jabatan rajamu telah membutakan perasaan serta akal sehatmu, Haki?”
Si bungsu kembali bangkit. “Lalu, apakah kasih sayangmu sudah tidak ada karena diganti dengan obsesimu?”
Bunyi gesekan pedang mulai terdengar dari sisi Nabeel. “Jangan menanyakan omong kosong!” Haki sontak tertawa renyah. “Kau sendiri yang memintaku untuk memerintah kerajaan ini, 'kan? Tapi mengapa ketika aku sudah berada di puncak, kau menyuruhku untuk melihat ke bawah?”
Tatapan Nabeel berubah sendu, seolah ia kembali dibayangi masa lalu. “Supaya kau tidak melupakan orang-orang di bawahmu, Haki.” Yang disebut lewat nama terdiam. “Kau selalu bercerita kepadaku bahwa kau ingin membangun peradaban kedamaian, bagaimana bisa jika rakyat membencimu? Aku harus mencari cara agar kau dapat diterima dalam pemerintahan yang baik, tapi sikapmu bahkan tak mencerminkan raja sama sekali. Jangankan orang-orang berkasta rendah, kakakmu sepantaran kastanya ini saja dilupakan.”
Perkataan Nabeel sukses membuat Haki makin membisu. Ia menunduk agar tak terlihat jika sedang menangis. “Jika kau terus seperti itu, tatanan Aestemore bisa saja hancur dan tak bisa berjaya, Haki.” Si bungsu menggeleng kekeuh. “Kau masih berpikiran begitu? Berarti kau meremehkan kekuatanku. If you doubt my leadership, you doubt yourself.”
Paham jika ia mengalah maka perdebatan mereka dapat terselesaikan. Nabeel balik membalas. “Aku tahu perbuatanku salah. Namun, hanya cara ini yang aku ketahui dan bisa kulakukan untukmu!”
Pembelaan diri itu tiada artinya bagi Haki. Ia menggeleng miris. “Aku tak menyangka bahwa kau di balik semua ini, kak. Jika niat memang baik, mengapa kau sampai harus menghancurkan pulau kita?”
Nabeel kembali tersulut. “Apa kau buta? Lihat kedamaian di depan sana!”
Haki ikut menunjuk luar istana. “Tidak ada kedamaian, kak, hanya ada kehancuran dimana-mana!”
Anggukan dari kepala Nabeel entah kenapa jadi menyeramkan bagi Haki. “Mungkin benar nampaknya, jika orang-orang selalu saja ingin merusak rencanaku. Apa kau juga menjadi salah satu dari mereka? Setelah apa yang kulakukan untukmu, Haki?”
Dilema datang menyerang, Haki tak miliki alasan lain untuk membela Nabeel. “Kau saudara yang buruk! Aku membencimu!”
Rasanya sesuatu berhasil menghantam sekujur tubuh Nabeel. “Haki ... dulu kau sangat sayang padaku. Saat kau sudah kehilangan semua, kau justru mendorongku pergi. Kau ingin sendirian di dunia, Haki?”
Haki menggeleng. “Aku serius mengatakan jika aku menyayangimu! Tapi harusnya kau tidak melakukan hal buruk seperti itu hanya untuk aku sebab aku sungguhan tidak apa, kak. Ketahuilah, jika kehadiranmu sudah cukup menjadi obat penyembuh di kala aku sedih.” Haki berjalan mendekati Nabeel sembari menghapus jejak air mata di pipi. “Aku senang Tuhan menciptakan kakak terbaik sepertimu. Namun, perlakuanmu itu salah! Aku harap kau mengerti ...”
Nabeel tersenyum pahit. “Tapi semuanya sudah berakhir. Aku tak bisa kembalikan nyawa rakyat-rakyat yang sudah mati itu. Kerajaan yang kau pimpin sudah hampir sempurna sebentar lagi. Aku harap itu cukup untukmu memerintah nanti. Dan kita bisa hidup berdamai sama-sama, Haki.”
Haki tersenyum kecil. “Oh, percayalah, Kak Nabeel. Selalu ada jalan untuk setiap masalah. Kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki tatanan sama-sama.” Si bungsu langsung menghambur ke pelukan kakak. “Kita berdua. Hanya kau dan aku.”
Nabeel melemparkan pedang ke sembarang arah. Syukur tak mengenai posisi Gauri dan Arung yang sedari tadi terharu mendengar percakapan mereka. Diam-diam mereka berdua dekati peti kemudian mengambil harta karunnya. “Aku ingin beritahu kau sesuatu. Alasanku mengapa aku tak ingin menjadi raja karena aku lelah dengan suruhan ayahanda. Yang kedua adalah, aku ingin kau menjadi raja karena kau hebat, Haki.” Lelaki lebih muda di pelukan berikan anggukan mantap, pertanda bahwa sudah dimaafkan. Tapi Nabeel tetap melakukan permohonan resmi. “Aku minta maaf karena melakukan hal ini. Semoga perbuatanku nanti cukup untuk menebus kesalahanku.”
Haki pun membantu Nabeel mengusap pipi sang kakak. Mereka kembali berpelukkan. “I’m so proud of you, Haki. And you will always be my favorite little brother, no matter what.” Akhirnya berbaikan juga.
Di tengah peristiwa haru itu, guncangan dari dalam tanah tetiba mendatangi seluruh sisi pulau. Seolah seseorang telah sengaja membuatnya menari. Kemudian Gauri dan Arung tengah sibuk dengan harta karun tadi mulai terkejut akan hantaman air yang hampir sampai ke istana. Mereka buru-buru membuat rencana penyelamatan untuk memperingatkan kakak-beradik di depan.
Arung dengan cepat berlari dan lebih dulu sampai pada keduanya, ia berhasil meraih genggaman Haki. Namun, tidak dengan Gauri. Ia hampir saja sampai tetapi Nabeel terlanjur tertimpa reruntuhan langit istana yang langsung roboh karena berat dari lampu gantung. Tiba-tiba air laut berhasil menghantam ruangan itu. Gauri gagal menyelamatkan kakak dari sang kawan. Haki terpaku sesaat walau sudah diteriaki mereka berdua. “Arung! Cepat bawa Haki pergi!” Gauri secara tegas memerintah.
Pupil biru raja baru itu bergetar, sebelum ia beranjak untuk mengangkat lampu gantung dari tubuh maka Arung terlanjur menggaet presensinya. Keluar dari istana secara terburu-buru, dan Haki nampak sekali memberontak brutal lantaran berjanji tak akan meninggalkan Nabeel sendirian.
Kepergian mereka dari istana, diiringi dengan suara teriakan Haki yang histeris. Mengamuk minta dilepaskan. Demi lampiasi emosi. Tapi petaka datang tanpa diduga. Mereka harus segera pergi. Terutama Haki wajib menyerahkan peta itu pada Loka Dè Janitra. Jika Arung melepaskan sang raja, kapten akan memarahi tim itu karena gagal mendapat peta.
Retakan tanah mulai menghampiri untuk membelah Aestemore. Tentakel raksasa menjebak pulau dari bawah, air merembes hingga banjir di mana-mana. Bertemulah mereka dengan bocah yang mengamuk—berhasil memporak-porandakan Aestemore dengan ombak dan ... monster laut dalam kendali. Kapal angkatan laut hingga para perompak diremuk tanpa ampun oleh binatang bengis. Monster misterius paling ditakuti segala jenis pelaut, Kraken. Dalam beberapa menit, siapapun berani tunjuk wujud di depan jangkauan akan berakhir.
—
TANAH BERGETAR HEBAT, membelah diri menjadi retakan besar. Tentakel raksasa si Kraken menyibak kesana-kemari, hati sukar untuk tenang di situasi mendesak macam sekarang. Makhluk itu meremukkan segala jenis benda yang disentuh. Arung berusaha mengeratkan pegangan pada Haki, takut laki-laki itu jatuh dari gendongan punggung sebab ia sedari tadi sudah tak bertenaga kala ditinggalkan kakak tersayang. Bibir kelu walau sekadar menggumam, mata hanya menatap kosong pada retakan tanah di mana nampak semakin melebar ukuran.
Gauri pun bertemu dengan Suha yang baru saja keluar dari sebuah rumah. Ia reflek menarik tangan pemudi padahal si empu bisa melangkah sendiri. Keduanya berlari beriringan, meloncati retakan tanah hingga bebatuan besar sembari terus menghindar dari serangan ombak laut ganas. “Kau tahu, Gauri? Aku bisa melakukannya sendiri.” Di sela-sela pelarian, Suha sedikit mendesis. Ia tidak terlalu menyukai sentuhan fisik, tapi sungkan menolaknya. Sesaat ucapan tersebut keluar, reruntuhan atap rumah jatuh hendak mengenai kepala Suha. “Kau 'kan punya aku, Suha? Marilah coba saling melindungi. Lewat sini!” Aneh, genggaman tangan Gauri begitu halus sekaligus hangat meski gadis itu suka memoles senjata.
Kemudian tim yang baru saja keluar dari penjara ikut serta dalam pelarian mereka. Mata hazel Inir mencari objek paling dicari yaitu seseorang membawa harta karun tetapi tak ada tanda-tanda Nabeel akan muncul. Ia pun melangkah pergi ke arah Danar tanpa sepatah kata pun. Gemuruh raungan Kraken nampak menyaingi milik Jagau di mana geram lantaran laksamana laut enggan melepas Jagau barang sedikit seolah ada masalah belum terselesaikan.
Meski sudah terengah-engah akibat luka singgah di mana-mana. Bagi Jagau maka mundur adalah tindakan pengecut oleh si petarung agar kabur dari suatu duel. “Oh, sebenarnya kau ini siapa? Mengapa sangat tak terkalahkan?” pertanyaan laksamana tidak salah. Sebab mereka memiliki level kekuatan sama padahal berbeda kasta jua klan makhluk di dunia. “Aku dari Hutan Crophaya.” Secara otomatis mimik wajah Laksamana Qesia kaku karena terdiam.
Hala menghampiri di tengah kekacauan. “Permisi, nyonya! Lebih baik anda ambil andil menyelamatkan masyarakat daripada mengurusi kami!” Hala setengah berteriak, tak menunda langkah kaki. Jagau pun ikut berdiri menghadap Hala, “Tidak, aku harus menang melawannya!” Araf yang sudah ketakutan terhadap Kraken menjerit kesal pada Jagau. “Maksudmu, di saat seperti ini?! Kau ingin mati, hah??” Takut jikalau sesuatu terjadi lebih buruk, Hala anjurkan Araf serta Livana kembali ke kapal lebih dulu untuk menyusul empat anggota lain. Sementara Hala mencari cara jauhkan Jagau dari sana, sebelum dimakan Kraken.
WOOARRGHHHH!!
Langit-langit bergemuruh, hitam pekat dan atmosfer mengerikan semakin mengusik suhu tubuh mereka semua. Jeritan raksasa itu sampai ke daratan saat salah satu tentakelnya terluka. Sentruman petir milik Hala berhasil mencegah benda lengket menyakiti komplotan. Laksamana dibuat terkesima, sampai ia lupa tanah di pijakan terus meretak jua rusak. Tapi Jagau sukses menyelamatkan dengan melempar raganya pada angkatan laut pengatur keamanan orang-orang Aestemore sana.
Sementara banyak sekali bajak laut pilih mundur saat merasakan amarah mendalam. Ini sama saja dengan kegagalan bagi para perompak. Anehnya, ada satu kapal yang tak gentar untuk terus maju. Acuh pada segala tebasan tentakel mengamuk ke arah daratan. Si pengendali ombak menggaruk kepala frutasi. “Dasar manusia, seenaknya saja berbuat congkak!” Sudut bibir nampak terangkat. “Tapi ... aku jadi punya sesuatu untuk menarik perhatian Pak Tua itu, eh ... aku memang jenius!” Tangan terangkat, ombak berdesir kencang. Membawa dia lebih dekat dengan dermaga meskipun telah hancur. Ia abaikan Kraken di samping.
Pindah ke sisi lain, Loka Dè Janitra terus terpojokkan. Retakan tanah Aestemore semakin menegangkan pijak yang tak lagi aman. Kala Hala berusaha lari ke kapal, Kraken muncul setelah menembus tanah. Menatap dari dekat membuat ia ketakutan setengah mati, sekujur tubuh mulai gelisah bahkan lupa cara bernapas. “Oh, shit!”
Sebelum semuanya berakhir buruk, Jagau melompat sekaligus kembali transformasi. Ia berlari sekencang badai sembari bawa Hala ke tumpangan. Berhasil lolos dari tentakel juga penghisapan inti bumi. Ada pula peri bersayap sisik sekaligus makhluk dengan banyak taring menghiasi berbaik hati menawarkan bantuan supaya pergi. Kedua orang asing itu berhasil melindungi Jagau dari segala serangan selama sibuk dalam berlari. Kemudian seseorang dengan kuasa es secara brutal menghentikan pergerakan Kraken dengan menusuk satu-satu tentakel tersebut hingga teriakan terdengar ke seluruh penjuru pulau.
Sayangnya salah satu koloni dari mereka tertinggal di belakang, atau tujuan memang berbeda. Setelah ombak meledaki kapal keduanya hingga tersapu jauh. Ombak pun memisahkan Loka Dè Janitra dari Inir serta Danar. Tapi Inir sempat berteriak untuk jaga-jaga. “Kau harus berikan harta karun itu pada kami, Hala! Segera ke Ragnarok!”
Ia mengangguk mantap, kemudian menoleh ke setiap sudut-sudut kapal. Hala mencari seseorang, wajahnya lemas. “Ayo jalan!”
Suha langsung paham kode. Dengan peta baru pemberian Haki, ia pun mulai lajukan kapal ke arah di mana Ragnarok berada.
Setelah mereka pergi, akan kalian temui perbandingan dua kawan lama kembali bercakap mengenai tahta harta karun itu.
BERSAMBUNG.