Minggu, 28 Mei 2023

VOL—II: PENYERBUAN TAHKIK BARA FAJAR.

ADA SEPETAK cerita lama di mana bukan sebuah legenda maupun mitos yang dibesar-besarkan pada masa. Pertunjukkan manusia tengah mengais humanis pencuri. Sanggupkah ia belajar maaf serta ucapi kata terima kasih? Demi berhasil menjadi manusia utuh. Sang pemilik jiwa kosong.




TEPAT KETIKA Nur Hala Janitra berjalan tertatih-tatih kakinya bersama bandit paling ditakuti rakyat Marjinal, Arung Dierja. Turun dari perahu curian mereka berdua, mendayung menuju Pegunungan Camargo demi menyewa kapal yang cukup untuk menampung mereka berlayar. “Akhirnya kita sampai!” seru Hala, “Hei, tunggu! Apa yang kau lakukan?” Hala segera menghampiri Arung

Arung menoleh dan menunggu Hala yang tengah berlari menghampirinya. “Seperti yang kau lihat, nona. Mengapa kita tidak duduk dulu? Memang tak lelah mendayung sejauh itu hingga sampai ke sini?”

“Ya ... sedikit sih,” jawab Hala terengah-engah, “Tapi jika kita lebih cepat itu lebih baik tau.” Arung pun berdecak. “Ck, sedikit apanya? Kau enak berkata seperti itu, nona. Karena aku yang mencuri juga mendayung perahu itu hingga kita sampai di sini,” protes Arung tidak terima. 

Hala kesal, memutar bola mata. “Berhenti bicara. Bandit ini tidak ikhlas rupanya.”

Arung menggeleng cepat. “Bukan seperti itu, Nona Hala,” sangkal Arung. “Nanti bayar jasaku sebesar 700.000 pen, oke?”

“Yang benar saja. Kau ini gila, ya, Rung?” tekan Hala sekali lagi, dengan mimik muka kesal. “Itu bahkan biaya makanku dalam sebulan. Tak usah banyak pinta!” tambahnya sinis. 

Arung mengelak, “Hei! Itu sudah murah, nona cantik. Kau harusnya berterima kasih karena aku membantumu untuk sampai ke tempat ini.” Hala mengerut kening. “Senang sekali kau bisa ambil kesempatan dalam kesempitan. Kau memang licik dan matre, Bandit sialan!”

"Ya. Itulah aku. Senang bekerja sama denganmu, Nona Hala.”

“Sudahlah. Ayo turun!”

Setelah pertengkaran kecil itu selesai. Arung turun dari perahu dan menyusul Hala, ia juga langsung duduk di toko minuman daerah pegunungan tersebut. Sang pemilik toko Garda Rum—bernama Suhailah Laksmi datang semenit kemudian untuk melayani. Arung dan Hala duduk di sebuah kursi tanpa penyangga di depan meja bar, beberapa bartender berjalan lalu-lalang di seberang meja. 

“Kau sering ke tempat seperti ini, Rung?” tanya Hala datar. Meski begitu, setiap dia menatap datar lurus ke arah objek yang diajak bicara, kesan yang diberikan pasti mengintimidasi. “Ya, tidak terlalu sering,” jawab Arung, “Kau tau, aku ini bandit kere yang tidak punya uang.”

“Hahaha. Payah,” ejek Hala. Salah seorang dari bartender menghampiri Hala dan Arung. Lalu menanyakan apa yang ingin Hala dan Arung pesan. “Selamat datang di Garda Rum, tuan dan nona! Ada yang bisa aku bantu?”

“Oh, aku ingin memesan satu gelas anggur,” jawab Arung. Sedangkan Hala menggeleng pelan. “Aku tidak ingin pesan apa-apa,” cetus Hala. 

“Nona? Kau yakin? Minuman di sini sangat enak, kau akan menyesal jika tak cicipi.” Arung menawarkan Hala sekali lagi. “Selama aku hidup, aku hanya pernah minum air. Aku tidak pernah minum rum. Takut-takut aku yang malah menyesal,” ucap Hala yang memang tak minat sejak awal. Si pemilik toko minuman mengangguk. “Baik. Jadi hanya segelas anggur?” tanya Suha memastikan.

“Ya, itu saja.” Arung mengangguk puas. “Baiklah, tuan dan nona. Pesanan anda akan datang dalam lima menit.” Suhailah langsung pergi untuk menyiapkan pesanan Arung. Dia mengambil gelas, mengisinya dengan minuman anggur.

“Arung, kau yakin kita aman berdua saja?” Hala bertanya seraya melihat sekitar, seperti ada rasa ragu dalam hati. “Tentu saja. Jangan khawatir, nona. Bandit ini dapat melakukan apa saja,” ucap Arung.

“Tentu, termasuk membual,” celetuk Hala.

“Hei, itu tidak termasuk dalam membual ya!” protes Arung tak terima. Suha yang sedari tadi mendengarkan jadi penasaran. “Memangnya kalian ingin pergi kemana?”

Arung hendak menyahut, ia memukul keras meja bar. “Kau tau soal petinggi Tanah Marjinal itu? Ia sudah hilang berhari-hari lamanya,” ucap Arung mulai menjelaskan. “Oh ya. Aku tau itu.” Suha mengangguk paham. “Nah, kami mau mencari— ...” belum sampai pada tujuan utama Arung menjelaskan, “... —dan akan mencuri sebuah kapal untuk mencarinya,” cicit Arung. Hala mendelik. “Hei! Kita tidak merencakan itu sebelumnya. Itu hanya niat burukmu.” Hala protes, sebab pembicaraan Arung memang di luar rencana mereka.

“Ya. Aku hanya berkata jujur. Memangnya kau punya uang untuk beli atau menyewa sebuah kapal, nona? Jadi lebih baik jujur bukan?” jelas Arung berpikir realistis. “Jangan bicara soal uang, kalau jawaban kau sama saja.” Hala sudah tak habis pikir dengan jalan pikiran Arung. Ia hanya beri cengiran. “Hehe. Setidaknya aku memiliki ide agar tujuan kita tercapai,” kekeh Arung. Hala tidak paham, tetapi Arung melirik Suha dengan intim seolah niat mencurinya kambuh kembali. Hei, yang benar saja?

“Jadi kalian berdua mencari petinggi Tanah Marjinal yang menghilang? Maksud kalian sayembara itu? Oh, jangan bilang kalian tertarik dengan sayembara itu.” Paham apa maksud kedua orang di depannya ini Suha jadi tertarik. Arung pun menyahut lagi. “Ya. Tentu! Siapa yang tak tergiur jika hadiahnya saja adalah harta apapun yang kita ingin, bung?” Munafik bila setiap pekerjaan tak meminta imbalan, seperti Arung. Kemudian ia melanjut, “Sekaya apa dirimu hingga tak butuh hadiahnya? Jika itu aku, tentu akan kulakukan semua cara agar bisa bertemu petinggi itu.”

Suhailah melongo. “Astaga! Toko Rum ini hampir saja bangkrut, kawan. Aku bukan tak tertarik dengan sayembara dan imbalan. Hanya saja, aku lebih menyayangi nyawaku daripada harta itu.” Tak menutupi kenyataan jika nyawalah yang lebih penting dari sebuah harta. “Kan ada kami,” ucap Arung santai.

Suha mendecih remeh. “Apa yang bisa aku andalkan dari kalian berdua? Aku rasa nona ini tidak memiliki bakat sama sekali dalam melaut. Dan, bandit mana bisa dipercaya?” Suha melontarkan keraguan. Dengan cepat Arung protes tak setuju, “Apa maksudmu? Kau pikir kami selemah itu?!” Ia berdiri siap untuk melempari Suha dengan uang. “Hei! Tidak usah buat masalah di tempat orang, tenanglah.” Hala coba menahan amarah Arung. Lalu Suha kembali menyeletuk, “Membantu kalian bukanlah masalah besar bagiku. Kalau begitu, aku akan antar kalian pergi berlayar.”

Mata Hala berbinar. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih.” Suha mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku serius dengan apa yang kuucapkan barusan.” Namun, netra Arung memicing curiga. “Tanpa bayaran apapun? Kau taukan, kita butuh pemasukan lebih, juga aku harus mencuri kapal. Sangat amat merepotkan untuk merekrut anggota lagi tanpa tambahan uang.” Lagi-lagi Bandit satu ini berbicara soal uang. “Hadiahnya dibagi-bagi. Uangnya pasti tidak sedikit,” celetuk Hala. Arung melotot. “Dia bilang dia akan bangkrut, nona. Bisa jadi dia butuh jasanya dibayar juga.” Arung coba ingatkan sebuah fakta. “Apakah kau pikir dia masih memiliki simpanan uang lebih?” lanjutnya.

Suha menyeringai. “Percayalah kalian berdua membutuhkanku, bukan uangku.” Hala pun menatap prihatin. “Kau dengar, Arung? Dia hampir bangkrut. Pakai sedikit hatimu itu.” Hala memang kapten baik hati.

Arung berdecak. “Ck, iya, nona. Aku hanya sedikit bercanda. Kaku sekali.” Arung coba menguasai diri. Hala menoyor kepala bandit. “Lagian kepalamu ini isinya memang uang saja,” sindir Hala. Suha pun menyela pembicaraan, “Kalian tidak perlu membayarku. Tapi aku tidak janji dengan itu. Mungkin saja suatu saat aku berubah pikiran.” Dengan perangainya yang tenang Suha coba meyakinkan. Arung beri angguk. “Baiklah. Jadi keputusanmu, kapten?” Kini Arung yang bertanya pada Hala. “REKRUT SUHA!” Tanpa pikir panjang Hala akhirnya menyetujui Suha untuk bergabung. “Baik. Terima kasih atas keputusan kalian.” Suha tersenyum simpul. “Ini anggur pesananmu, Tuan Bandit.” Segelas anggur tersaji di atas meja. “Ada yang ingin kutanyakan. Apakah kalian punya kapal?” tanya Suha habis itu.

Arung tersenyum di sudut kecil bibir. “Sudah kukatakan, aku ingin mencuri kapal,” ucap Arung mulai menyesap sedikit anggurnya. “Apa kau tau kapal yang sering ditinggal oleh pemiliknya? Agar aku bisa dengan mudah mencuri.” Arung lontarkan sebuah pertanyaan. Suha balas dengan gelengan kecil, “Aku tidak begitu tau.” Ia mencoba mengingat-ingat. “Aku terlalu sibuk untuk mengetahui hal seperti itu.” Suha pun mengusap dagu. “Bagaimana jika aku yang akan meminjamkan kapal?” Suha memberi sebuah tawaran.

Arung tertawa canggung dengan keras. “HAH?! KAU PUNYA KAPAL SENDIRI?!” Arung sampai ingin terjungkal mendengar perkataan Suha. “Kenapa tidak bilang dari tadi,” cicitnya kecil. Suha hanya meringis. “Tentu. Ada lima kapal di sini. Sebetulnya kapal ini dari peninggalan orang-orang dulu. Tapi terkadang aku memakainya saat berlayar dengan Bara Fajar,” ujar Suha sambil tersenyum tipis. “Favoritku adalah kapal yang ada di tengah sana. Selain karena bagasi luas serta kapalnya besar, juga terbuat dari bahan kayu terkuat.” Ia menunjuk salah satu kapal kebanggaan, memang tak berbohong. Nampak dari jauh kapal tersebut sudahlah keren.

Arung melihat ke arah kapal yang tadi ditunjukkan oleh Suha. “Wow, terlihat amat antik dan cantik. Jikalau dijual, pasti harganya bisa lebih mahal dari kepalaku.” Mata Hala menatap Arung tajam. “Mulai lagi si bandit ini.” Suha hanya terkekeh. “Pilih saja kapal mana yang kalian sukai untuk berlayar nanti,” pinta Suha. 

Hala menatap Suha tak enak hati. “Kami serahkan saja padamu, Suha. Kami tidak terlalu banyak tau soal kapal, kau ahlinya.”

Suha hampir tersedak. “Astaga ... baiklah.”

Arung melirik Hala dengan jahil. “Bilang saja nona ingin semuanya, hahaha. Aku bercanda, oke? Baik, Suha. Kami serahkan padamu. Seperti apa yang kapten katakan tadi.” Suha mengangguk patuh. “Akan aku pilihkan. Jadi nanti kita berlayar dengan kapal tengah. Aku bisa menjadi navigator yang paling diandalkan. Tenang. Percayalah padaku.” Suasana pun makin memberikan keyakinan bahwa mereka bertiga bisa atasi permasalahan yang sedang dihadapi. Hala merasa beruntung karena bertemu Suha yang mau membantu dengan tulus.

Arung menyeringai puas. “Wow, terdengar sangat meyakinkan. Jadi sudah berapa lama karirmu dalam mengarungi laut ini, Nona Suha?” Suha berpikir sejenak. “Ya ... sekitar lima tahun lamanya.” Mereka berdua mengernyit heran. “Lalu, kenapa berhenti?”

“Aku memutuskan untuk berhenti karena ada rumah yang harus kujaga. Jadi aku berhenti dan fokus saat tinggal di sini.” Ia memandang Pegunungan Camargo dengan sendu. Seolah-olah alam menyimpan luka.

Hala menatap Suha lembut. “Tak apa-apa, Suha. Keputusanmu pasti sudah dipikirkan matang-matang. Tokomu pasti bisa sukses kedepannya, percayalah.” Arung yang dengar itu mengerlingkan mata. “Ah, manis sekali. Apa aku tidak dapat ucapan? Aku ingin juga. Ayo berikan.” Hala hanya balas menatap Arung sengit. “Kau mau dapat ucapan apa? Bantu saja tidak ikhlas. Selalu iming-iming uang.” Arung melotot dramatis. “Hei! Kejam sekali nona kepadaku. Aku ‘kan hanya berusaha untuk tidak rugi di tengah bencana ini,” ungkap Arung.

“Terima kasih,” ucap Suha penuh gembira. “Ini perjalanan panjang, bila ada hal tidak terduga yang datang maka kita harus bisa bekerja sama.” Mereka berdua beri angguk setuju. “Tentu! Mari saling membantu!"

Hala menghela napas. “Asal tidak ditinggal lari saja.” Arung merasa tersindir. “Terus saja salahkan aku. Bandit memang selalu salah.” Dan Suha hanya tertawa geli.

“Mau kau kemanakan kapal itu, Suha?” Suara asing bertanya dari kejauhan. 

Suha menoleh dan terdiam. Sedang Hala beserta Arung merasa bingung akan kehadiran mereka.

Perjalanan baru saja akan dimulai sebentar lagi. Petualangan di seberang lautan luas sana tak pernah terungkap misteri apa saja yang bermunculan. Dan sebelum mereka bersua dengan angin laut, Suha didatangi oleh perompak lamanya—Bara Fajar. Mereka melarang kapal itu dipinjamkan! 

“Aku ingin menggunakan kapal ini untuk berlayar,” ujar Suha.

“Aku tak setuju!” kata si pengendali kemudi kapal Bara Fajar, Nona Langit, tetap bersikeras dengan kemauannya.

“Kenapa tidak? Kapal ini adalah milikku. Aku berhak untuk memakainya.”

“Kau lupa dengan jasa kami? Kalau bukan karena kami, kau juga bisa saja merusak kapal itu dan tidak akan pernah jadi bajak laut terhormat, Suha.” Aruna Mala, salah satu anggota ikut menyahuti.

Rajo, sang navigatornya Bara Fajar pun lempar balasan lain. “Kau memang tidak berubah ya, Suha, kau masih sama saja seperti yang dulu. Kau tak pernah belajar.”

Hala jadi frustasi. “Apa maksud kalian?!”

“Bebaskanlah jiwa-jiwa yang ada di sini, kau menyiksa mereka, Suha! Baru aku akan ijinkan kau meminjam kapal milik mereka.” Langit berteriak pada si kapten Bara Fajar.

“Aku menolong mereka!” bentak Suha.

Arung ikutan panik. “Suha, kau gila, ya?!”

“Dan kalian semua juga akan menjadi salah satu bagian dari mereka. Kau berterima kasih padaku nanti.” Suha mendekat lalu mencekik Langit dengan kuat.

Pandangan Aruna Mala melunak. “Kau tidak akan pernah berhasil menjadi manusia jika kau sendirian, Suha.”

Suha menoleh acuh. “Aku tidak sendirian! Mereka bersamaku.”

“Kau salah!” Rajo berteriak tanpa dosa. “Sejak saat kau terlahir di dunia, kau sudah sendirian, Suha.”

Perkataannya berhasil membawa Suha ketika ia pertama merasakan hidup, sebuah kehidupan yang persis macam manusia.




SUHAILAH LAKSMI, ia tidak pernah tahu siapa yang melahirkannya. Dia hanyalah mengerti bahwa diri sendiri masih bernapas tenang.

22 tahun yang lalu.

Pegunungan Camargo damai seperti biasa. Burung-burung yang memutari pulau, bersenandung merdu dengan kicauannya. Meski pulau itu selalu kebagian musim panas ekstrim, tetap saja menjadi rumah kesayangan bagi hewan-hewan. Tetapi karena terlalu panas, tidak ada yang memilih Pegunungan Camargo sebagai tempat tinggal sebab kurang layak ditinggali oleh para manusia.

Namun, suatu ketika, beberapa kapal besar singgah. Jika dilihat dari dekat, itu adalah kapal perang. Ada senjata, meriam, dan hal-hal tak menyenangkan juga mereka bawa serta. Termasuk para budak. Oh, mereka adalah rakyat dari lawan perang yang disandera oleh oknum tak berbakti suka ingin menang tanpa mengurangi tentara maupun penyimpanan senjata.

Selama menempati Pegunungan Camargo, mereka memburu makhluk hidup yang bersemayam di sana sebagai makanan. Dengan kejam, kelompok itu juga memberi makan bagi rakyat Dufa—tawanan—dari makanan sisa. Ada pula yang dibiarkan mati kelaparan. Tentara para penyandera ini sungguh berpuas hati lihat Dufa menderita. Tiada mengetahui bahwa salah satu rakyat Dufa, tengah mengandung seorang anak. Sayangnya, malapetaka itu terlanjur terjadi.

Pembantaian paling menyedihkan pun tiba. Tak ada yang tersisa dari kelompok rakyat Dufa kecuali keturunan si wanita, sempat ia melahirkan kala perang hadir di depan mata. Anak itu, adalah Suhailah Laksmi. Namun, wanita tersebut tak selamat. Pada akhirnya Suha bertahan sendirian pada pulau yang hancur-lebur sehabis perang.

Dan dari situlah ia hidup, bersama hewan liar, sehingga Suha belum mengerti bahasa manusia seperti apa.

Sampai lagi-lagi suatu hari bencana besar yang sama datang pada Pegunungan Camargo. Pemburu hewan-hewan langka mulai menyerang para penghuni. Satu persatu dari hewan itu ditembaki dan dimasukkan ke dalam jaring. Mereka hendak dijual. Suha kecil berumur lima tahun saat itu, ia pun melihat. Terdengar jelas rungu akan bagaimana raungan sakit meminta tolong, dan makhluk yang sejenis dengan Suha justru menyiksa mereka. 

Bencana terus berdatangan. Pegunungan Camargo menjadi tempat saksi penyiksaan yang menarik karena tidak akan ada pemerintah berani menangkap aksi penjahat itu. Peperangan, perbudakan, penebangan hutan, Pegunungan Camargo menjadi sasaran empuk bagi orang-orang tak berhati nan berakal budi pekerti.

Yang terlintas di pikiran Suha saat saksikan itu adalah; manusia sangatlah berkuasa. Berarti dirinya juga, 'kan? Apakah dirinya pun bisa berbuat sesuka hati? Manusia-manusia tadi ia amati memiliki emosi yang berbeda-beda. Sedih, marah, gundah, lara, gusar, kesal, putus asa, arogan, sampai bertindak semena-mena demi mengikuti kemauan pribadi. Mereka tidak pernah merasa bersalah, manusia selalu benar.

Lalu, apakah benar manusia seperti itu?

Berarti menurut Suha, jika dia sendiri marah karena mereka merusak pulaunya, itu adalah tindakan yang benar. Mereka bisa membunuh hewan-hewan di sini, bahkan manusia lainnya juga. Sambil tertawa, ada pun tanpa menunjukkan ekspresi. “Sebaiknya, aku membunuh mereka dengan emosi apa?” adalah pertanyaan Suha ketika melakukan hal di mana menurut dia adalah perbuatan baik.

Kabar kapal-kapal besar menghilang mulai terdengar secara gempar saat warta tersebut sampai ke telinga para pelaut. Khususnya bajak laut, mereka seakan tertantang untuk mendatangi Pegunungan Camargo. Ada saksi mengatakan bahwa mereka diserang oleh hantu di balik pohon. Kemudian berita makin luas tersebar. Para rookie hingga bajak laut senior malah saling bekerja sama menghancurkan Pegunungan Camarho karena mengira terdapat jimat, ruh, ataupun penjaga ghaib dalam pulau.

Tetapi ketika sampai, mereka hanya akan menjatuhkan pedangnya. Memohon ampun pada Yang Berkuasa. Jadi seperti itulah manusia dari kacamata Suhailah Laksmi. Rasa puas tergambar ketika melihat orang jahat tidak ia senangi berlutut meminta belas kasihan. “Setelah mati pun, jiwa akan tetap di sini. Rasa sakit itu, kalian rasakan berulang-ulang, dan selama-lamanya.”

Entah bagaimana, menyerang adalah hal biasa bagi Suha seiring waktu berjalan. Tapi ketika tidak ada siapa-siapa lagi orang bertandang hendak mengunjungi pulau, terasa begitu aneh. Seperti ada sesuatu hilang, kurang lengkap sebab sepi tak terbendung. Ia bahkan membangun istana di tepi gunung untuk pertahanan. Suha adalah Tuan Putri dari Camargo. Lebih tepatnya, tugas hidup sudahlah mengabdi pada pulau panas ini. Dan dialah, petaka berbahaya dari Camargo itu sendiri.

Sampai setidaknya ia bertemu dengan Bara Fajar. Mereka adalah bajak laut sungguhan yang pergi ke Pegunungan Camargo demi mencari petunjuk juga mengenai suatu tempat. Suha yang selalu waspada dan tak ingin pulaunya kembali terluka, maka dia serang kelompok tiga orang itu. Sebelum hal tersebut berhasil dilakukan, Suha mulai menyadari, bahwa segala perbuatan yang ia tiru perlahan adalah suatu kesalahan besar.

Jiwa-jiwa yang Suha ambil menjadi bagian dari butiran-butiran pasir panas. Dicampur dalam persatuan dari darah kotor hingga mereka yang tak bersalah. Bagi Suha, membunuh mereka si tanpa dosa adalah keringanan dunia, tak lagi mereka rasakan menderita karena Suha sudah selamatkan.

Pada dasarnya Suha adalah manusia, dia belajar cara menjadi manusia pada contoh yang salah.




“Apa yang kalian lakukan pada Suha?!”

Langit mendecih. “Tidak ada, kami hanya mengajarkannya kebaikan. Dan lihatlah dia lupa pada kami setelah bertemu kalian.”

Arung menggaruk kepala bingung. “Tapi kami baru bertemu tiga jam yang lalu.”

“Diam!” Aruna Mala mengeluarkan pedang.

Suha mendongak dari tundukan kepalanya. “Tapi aku sudah belajar, apakah semua itu salah?” Biasa Suha bisa mengendalikan emosi seseorang. Tetapi bertemu dengan Bara Fajar, ia kalah telak, dia tak sedominan itu. Setelah tahu bahwa dirinya hanya satu kesalahan rapuh, Suha mulai meragukan jati diri serta kemampuan bertarung.

Benar. Dari awal Suha seharusnya tidak ada. Lalu, apakah ia masih pantas hidup sebagai manusia?

“Suha. Dengarkan aku!” teriak Hala. Suha mendengar itu pun menatap dengan terluka. Arung jadi kasihan. “Gagal dalam suatu hal tidak membuatmu seburuk yang kau kira! Jika kau gagal menjadi manusia yang seharusnya maka kau tinggal perbaiki yang salah. Dan kau bisa menjadi lebih unggul dari sebelumnya. Kau dapat berhasil menjadi manusia lebih baik lagi!” serunya pada Suha, berusaha meyakinkan.

“Bagaimana ... manusia memperbaikinya?”

Ada secercah harapan muncul, Hala pun bersemangat. “Mudahnya, manusia itu saling mempelajari! Aku akan mempelajari dirimu, dan kau ajan mempelajariku!”

Suha sedikit tersentuh baru perdana ini ada seseorang yang mau memahami dirinya yang penuh teka-teki. “Pertama, yang harus manusia lakukan ketika bersalah adalah meminta maaf, Suha.”

Karena perkataan Hala, perlahan Suha menghadapkan diri kembali pada Langit. Lalu membisikkan pelan. “Maafkan aku.”

Sadar walaupun Langit masih terluka sebab kapal tersebut tetap jua akan diambil. Ia pun kembali melayangkan serangan ke arah Suha, begitupun lainnya berikan bantuan. Pertengkaran mulai terjadi anantara kubu Bara Fajar juga kubu Suha. Arung dan Hala tak tinggal diam, mereka pun ikut berantem dan tentu saja berpihak pada Suha.

CTAKK... CTAKK!

Tetapi, seorang elf baik hati dari Hutan Marjinal membantu dengan senang hati, si Mahika Gauri. Serangan tiba-tiba datang dari seorang perempuan berambut cokelat. Sasaran tepat mengenai bahu si pilot Bara Fajar yang langsung meringis kesakitan sebab goresan besar tertinggal di sana.

“Sialan! Siapa kau?” pekik Rajo Kelinggar.

“Aku, Mahika Gauri. Sebaiknya kalian pergi dari sini, atau akan kubuat keningmu juga ikut menjadi warna merah,” ujarnya penuh mengintimidasi berhasil Gauri lontarkan.

Pengemudi kapal Bara Fajar dan kedua kru lainnya tak banyak berkutik, sepertinya mereka sudah habis tenaga pula kalah telak, atau lebih tepat adalah mengalah. Hingga mereka pun putuskan untuk pergi. Kedatangan Gauri serupa emas yang jatuh dari langit karena berkat bantuan Gauri pertengkaran itu berakhir. “Terimakasih sudah membantu, Gauri,” ujar Suha yang dibalas Gauri dengan senyuman kecil.

“Sebenarnya aku sempat mendengar pembicaraan kalian tadi, apakah benar kalian akan pergi berlayar?” tanya Gauri memastikan. Hala sebagai kapten maju selangkah, menjelaskan rencana mereka kepada Gauri mulai dari sayembara hingga tujuan utama untuk pergi berlayar. Gauri tentu tertarik dan berniat ikut, namun Hala tak setuju karena Gauri hanyalah orang asing. Lalu Hala mengajak Arung serta Suha agar berdiskusi. “Aku tidak begitu yakin dengan Gauri.” Si kapten Hala melontarkan keraguannya pada Gauri.

“Menurutku tidak apa-apa merekrut dia, kau lihat sendiri tadi bagaimana ia melawan Bara Fajar yang keras kepala itu hingga akhirnya bisa pergi?” Suha meyakinkan.

Arung mengangguk setuju, “Tidak ada salahnya kita merekrut dia. Sedikit saja bermanfaat untuk bantu menyerang.”

“Oke baiklah.” Akhirnya, Hala setuju.

Setelah berdiskusi bersama Arung dan Suha, akhirnya Gauri berhasil direkrut oleh Hala, tentu atas kesepakatan bersama. Gauri lantas tersenyum dan memberitahu jika ia hanya akan menumpang dan bantu hingga setengah perjalanan, setelah itu keputusan ada di tangan mereka apakah akan tetap melanjut menjadi kru kapal mereka atau tetap membuang Gauri.




DI TENGAH kegelapan malam dan sinaran bulan pada kapal mereka, Arung Dierja pergi mengendap-endap hampiri si nona. Mendatangi Gauri yang sedang mengasah ujung panahannya agar semakin tajam. “Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan nona?” ucap Arung penasaran.

Gauri melirik tanpa minat. “Aku tidak punya tujuan.” Gadis itu berkata jujur, ia memang tak tahu harus kemana.

Arung mengernyit. “Lalu? Untuk apa kau bersikeras bergabung bersama kami?” Arung tak henti lontarkan pertanyaan.

Gauri melirik sinis. “Aku tidak bersikeras!” Ia memprotes. “Aku ingin menemukan tujuanku saat ikut kalian berlayar, jikalau sudah mengunjungi tempat-tempat baru,” ujarnya sekaligus menghela napas hingga samar-samar terdengar, spontan Gauri berhenti mengasah busur panahnya yang sudah semakin tajam itu lalu berdiri.

“Astaga ... berarti aku harus melindungi tiga perempuan sekarang,” keluhnya seraya memijit pelipis. “Oh, tidak. Entah ini sebuah keberuntungan atau sebuah malapetaka.”

“Hei! Jaga mulutmu!” Gauri menunjuk Arung dengan busur panahnya, “Aku tak butuh perlindungan. Aku pintar bela diri.” Kedua netranya melirik Arung tajam. Kalau tak ingat bagaimana ia bisa di sini mungkin Arung sudah ia panah sekarang. Sungguh, Gauri ingin bersikap tenang pun sepertinya tak bisa.

“Tetap saja kau perempuan!” nadanya terdengar meremehkan. Jelas Gauri tidak terima, “Memangnya kenapa jika aku ini perempuan? Mereka tidak selalu lemah,” sahutnya. “Lagipula kau tidak percaya dengan ‘kaptenmu’ sendiri? Karena dia seorang perempuan juga?” Baru kali ini Gauri bertemu manusia menyebalkan seperti Arung.

“Bukan tidak percaya.” Arung berusaha mengelak, “Tapi Nona Hala tidak sekuat yang kau pikirkan,” lanjutnya.

“Hei, kalian berdua lebih baik tidurlah!” teriak Suha yang sedang menyetir kapal.

“Hah ... aku harap kau dapat dipercaya, Gauri, ucap Arung berjalan masuk ke dalam kapal. Gauri mengangguk mantap, “Tentu, aku adalah orang yang bisa dipercaya.”

Keduanya beranjak pergi, masuk ke dalam kabin kapal masing-masing untuk pergi tidur. Sedangkan Suha dibiarkan untuk menjalankan kapal.

Tanpa diketahui mereka, Hala terbangun dan mengetahui percakapan mereka. Namun, semangatnya tidak akan patah begitu saja. “Tidak apa-apa, aku datang berpetualang untuk membawa kemenangan di depan ibuku. Bukan menjadi kapten nomor satu.” Walau begitu, ia tetap akan memperbaiki apa yang kurang. Hala yakin suatu hari nanti, ia tak'kan butuh ada seseorang melindunginya, melainkan ia jadi pelindung itu sendiri. Tenanglah, ini masih terlalu awal bagi para komplotan tersebut.

Malam itu, dewa-dewi mulai menarikan jari-jemari mereka. Perjalanan Loka Dè Janitra masih pada ujung garis peta, belum memasuki kawasannya. Walau begitu, esok pagi, mereka akan bertemu naga—atau lebih parahnya lagi, peperangan yang sebenar? Tidak ada yang tahu.





BERSAMBUNG.

3 komentar:

  1. Suha ???? kenapa gemes banget

    BalasHapus
  2. kisah suha sedih bgt napa relate juga dah

    BalasHapus
  3. Suha emang gemes, selalu cantik, selalu bikin jatuh cinta.

    BalasHapus

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...