FAJAR TELAH BANGKIT dari ujung timur. Hala yang kelaparan hanya memakan dua buah apel dari simpanan kabin, nampak bahwa bahan makan pun adalah hasil curian. Seketika Hala merasa berdosa, tidak dengan Arung di mana menggunakan apel untuk memancing ikan.
Gauri menyapa Suha di pagi hari yang sudah sibuk dengan petanya. “Ada apa dengan dia?” Suha menggeleng, “Entahlah. Buronan tapi bodoh.”
Merasa tidak akan ada ikan mendekat, Arung berjalan ke arah meja dengan penuh kekecewaan. Lagi pula ikan mana yang bisa memakan apel?
Sampai kemudian mereka berempat duduk mengitari meja, Suha membuka peta. Lalu menjadikan lentera yang sudah lama padam untuk mencegah angin menutup kembali pagelaran peta tersebut. “Kita harus lewat ke daerah teluk ini. Bagaimana?”
“Kita harus membayar jika melewatinya.” Sudah pasti itu adalah perkataan Arung.
Hala menoleh ke arah Arung dengan wajah kebingungan. “Kita hanya perlu bayar saja.”
Arung menggeleng kekeuh. “Tidak! Uang kita akan berkurang, nona!” mendengar itu membuat Hala malas. Dia menggeserkan kursi sedikit menjauh dari Arung, tak ingin ada alasan aneh lagi keluar dari mulutnya. Kemudian atensi Hala beralih penuh ke Suha, membiarkan Arung sibuk hitungi berapa uang yang akan berkurang.
“Menurutmu kita harus ke teluk itu atau daerah pulau ini?” Suha bertanya lagi. Mata Arung membesar, biaya makan di setiap pulau-pulau itu sangat mahal.
Gauri menundukkan kepalanya. “Aku tahu jalan yang jarang dilewati orang-orang.”
“Tunjukkan arahnya,” perintah Hala. Dalam hati merasa bangga sebab tak salah untuk merekrut Gauri. Presensi gadis ini berguna juga ternyata melebihi perkiraan.
“Kita lewati sisi kematian, Laut Kambera.”
—
CUACA DENGAN CEPAT berganti ketika mereka melawan arah peta. Perlahan batu-batu besar, perbukitan, serta pulau-pulau sana ditelan kabut. Arung yang tak pernah menelusuri jalan baru apalagi mengetahui soal Laut Kambera itu sedikit khawatir. Takut-takut jika arahan Gauri salah dan berakhir membuat mereka semua mati di tengah laut luas tersebut. Sedang Hala tetap berdiri memandang lurus ke depan, seolah percaya bahwa arahan Gauri sangat tepat bagi tujuan utama semuanya melaut.
Ombak mulai berdatangan semakin ganas ketika mereka mulai memasuki daerah Laut Kambera. Namun, beruntung bahwa kapal Suha memiliki pondasi kuat sehingga tidak berakhir tenggelam di perjalanan. Gauri sebelumnya pun memang memberitahu, bahwa melewati Laut Kambera akan menjadi jalan pintas, tetapi bukan berarti sampai ke sana adalah hal yang mudah.
Gelombang besar ombak itu berhasil secara sempurna untuk membawa kapal mendarat di sebuah pulau yang terlihat kosong tanpa adanya kehidupan. “Apa ini tidak terlalu nekat? Maksudku, sebuah kebetulan kita mendarat sempurna. Tetapi, kau yakin ramuannya bisa terpercaya?”
“Dan betulan murah?” Gauri berdecak akan pertanyaan Arung. “Tenang saja, dia itu temanku. Ramuan yang ia punya selalu lengkap dan pastinya murah.”
Arung pun turun lebih dulu untuk memantau keadaan sekitar, lalu disusul oleh ketiga temannya. Sang Dierja menoleh ke arah Gauri dengan tatapan sengit. “Kau yakin di sini rumahnya?” tanya Arung.
“Tentu saja, aku tak mungkin lupa,” sahutnya dengan nada yang sama.
“Tapi ini pulau kosong bodoh! Kau tidak lihat bahwa tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini?” protes Arung tak sabaran.
Gauri memutar bola mata sebal, “Rumahnya itu transparan, dan jangan panggil aku bodoh!”
“Baiklah, lalu bagaimana agar kita bisa melihat rumah itu?” Arung berusaha menahan emosinya pada Gauri. Sedang Gauri menoleh ke arah Hala untuk meminta uang yang mereka punya sebesar 10 pen, namun Arung tidak mengijinkan. “Hei, itu untuk keperluan yang lain!”
“Bandit ini kenapa pelit sekali, sih? Padahal cuma 10 pen,” celetuk Suha.
“Cuma? Itu sangat berguna untuk membeli keperluan lain. Jangan boros, memangnya kau kaya raya?” kata Arung sembari bersedekap dada, menatap teman-temannya dengan sinis.
“Sudahlah, kalau kalian terus bertengkar seperti ini kita tidak akan bertemu dengan penyihir itu dan akan di sini sampai malam tiba,” ujar Hala yang sudah lelah melihat teman-temannya bertengkar.
Di waktu bersamaan, tiba-tiba sesuatu besar melintasi mereka dari atas langit. Gauri yang melihat itu menyadari bahwa ada seekor naga besar sedang terbang dengan seseorang mengendarainya. “Hei tunggu, lihat di atas! Dia ada di sana.”
“Siapa itu?” tanya Suha sembari mengikuti pandangan Gauri. “Aku baru tahu jika penyihir menaiki naga bukannya sapu terbang,” celetuk Hala yang merasa sedikit asing nan terkejut karena melihat sebuah naga besar di atas sana. “Mungkin saja sapunya kabur karena bosan harus menerbangkan dia,” sahut Arung.
“Kenapa bosan?” tanya Suha.
“Karena badannya berat,” jawab Arung.
Hala mengangguk setuju mendengar itu.
Keempat menusia itu refleks berjalan mundur ketika melihat sang naga sudah semakin dekat dengan mereka. Dan, ketika naga tersebut sudah menginjakkan kakinya di ranah pulau, turun sebuah gadis cantik dengan rambut hitam panjang. Ia menoleh sekilas dan berjalan ke arah Hala. “You must be Nur Hala Janitra, right?”
Hala yang mendengar pun terkejut karena ia sendiri belum memperkenalkan diri, lalu menatap gadis berambut hitam itu dengan tatapan curiga. “Kau siapa?! Kau—kenal Gauri ya?” spontan menunjuk presensi dia.
“Oh, apa Gauri membicarakan sesuatu tentangku? Aku Livana Shakir, senang bertemu dengan kalian semua,” ucap Livana sembari tersenyum manis.
“Hei, katakan darimana kau tahu namaku?”
“Apa memangnya yang tidak aku ketahui?” balasnya dengan sangat tenang.
“Kalau kau tidak mau memberikan jawaban, tubuhmu secara pasti akan tersengat listrik yang dahsyat dari tanganku,” ancam Hala, membuat justru terkekeh oleh itu. “Tetapi itu bukan penyebab kematianku."
“Kami datang bukan untuk basa-basi,” kata Gauri sembari melangkah ke depan Livana.
“Santai dululah, Gauri. Mau minum teh?”
“Jangan lupa dengan janjimu Livana.”
Spontan Livana terdiam sejenak, kemudian kembali tersenyum manis secara misterius sambil beri tawa canggung. “Baiklah, ayo masuk.” Livana berjalan lebih dulu, Arung membalikkan badan lalu langsung tersedak dengan air liurnya kala melihat ada sebuah rumah di sana. Pemuda itu rela bersumpah karena saat pertama kali mereka datang, yang mereka lihat hanyalah sebuah tanah kosong. Namun kini ada sebuah rumah yang datangnya entah darimana. “Astaga, sebenarnya kau ini apa sih?” tanya Arung.
“Aku dukun,” jawab Livana sembari memasukkan kunci rumahnya.
“Hah?” semua orang membeo.
“Kalian percaya? itu sungguh lucu.” Livana tertawa pelan lalu membuka pintu, ia pun mempersilahkan mereka untuk masuk. “Jadi, apa tujuan kalian kesini?” tanya Livana lalu memperhatikan Hala dari atas kepala sampai ujung kaki.
“Aku hanya ingin membeli beberapa ramuan, dan... mengantarkan Gauri,” jawab Hala sembari menoleh ke arah Gauri.
“Aku yang ada perlu denganmu,” sahut Gauri sembari melempar sebuah buku ke hadapan Livana. Membuat Livana langsung terdiam melihat tersebut, namun sedetik kemudian gadis itu tersenyum. “Itu bukumu yang terjatuh di hutan dulu.”
Livana mengambil buku tersebut lalu menoleh ke arah Gauri, “Baik sekali kau mengembalikannya, terima kasih, nanti akan kuberikan kau sebuah imbalan. Tetapi sekarang, aku ingin melayani Hala terlebih dahulu.” Livana mengajak Hala ke sebuah ruangan, meninggalkan mereka bertiga dengan Arung yang merasa janggal dengan hal itu. Pemuda Dierja memandang Gauri dengan tatapan tajam, “Gauri, kemari kau! Mengapa dia membawa Hala pergi? Jangan bilang kau sedang berusaha menipu kami?”
Gauri panik. “Aku tidak menipu! Percayalah padaku, aku tidak bohong. Ia akan sangat membantu karena Livana tahu segalanya kecuali suara hati kalian. Dan apa yang dilakukan oleh Livana tidak ada sangkut pautnya denganku,” jawab Gauri yang merasa tidak terima dituduh seperti itu.
Arung mengangkat kerah baju Gauri dengan kasar, lalu berbisik pelan, “Aku tahu bahwa Nona Hala tidak selemah itu. Tapi, jika saja kudapati satu gores saja luka pada tubuhnya saat kembali nanti aku akan membunuhmu.” Tatapan Arung nampak semakin tajam. Gauri dengan cepat menyingkirkan tangan Arung dari pakaiannya, “Ya, aku berjanji Hala tidak akan kenapa-kenapa.”
Sementara di ruangan lain ada Livana yang mendengar keributan kecil itu, tetapi dirinya tak peduli. Sekarang pada hadapannya ada Hala yang masih terdiam menunggu Livana mengeluarkan suara. Lalu dia mengambil sebuah tas yang sudah diisi untuk bekal selama mereka berlayar. “Dengarkan aku, Hala. Isi tas ini adalah buah apel dan ramuan yang kau pinta. Tapi ingat, ramuan ini hanya digunakan untuk penyembuhan luka kecil, bukan besar.”
Hala menerima tas itu dengan baik dan hati-hati, “Terima kasih Livana, aku akan menggunakannya dengan baik.”
“Harus begitu! Aku akan mengawasimu.”
“Tunggu, apa? Mengawasi?” Hala bingung.
“Ya, karena aku akan ikut kalian berlayar.”
“Apa? Kenapa?”
Livana mengerutkan dahinya, “Mengapa kau sangat terkejut? Kau tak suka ikut?” Ditanya seperti itu, membuat Hala langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, bukan seperti itu. Aku belum mengajakmu, kalaupun kau ikut juga aku tidak keberatan.” Kemudian senyum tipis singgah pada bibir cantik Hala.
“Gauri sudah memberitahuku sebelumnya.”
“Ada apa dengan kalian ini?” Hala benar-benar merasa curiga dengan Livana dan Gauri. Livana hanya menggeleng lalu menunjuk ke dalam tas, “Hampir lupa aku mengatakan ini, di dalam tas itu juga ada sebuah gelang, tolong dipakai sebagai pelindungmu selama kita berlayar nanti.”
“Gelang? Mengapa kau memberikannya padaku?” tanya Hala. Livana menaikkan bahu, “Seseorang memberikannya padaku, tak usah bertanya, kau akan tahu nanti.”
“Baiklah, kalau begitu aku akan keluar. Terima kasih, Livana.” Hala pun beranjak pergi dari ruangan.
“Hala,” panggilan Livana menginterupsi langkah kaki Hala agar berhenti. Ia pun menoleh lagi, “Ya?”
Tetapi Livana hanya menggeleng. “Tidak apa-apa.” Jawaban Livana membuat Hala terheran-heran, Hala merasa seperti ada yang ingin disampaikan oleh Livana. Namun karena tidak ingin ambil pusing, Hala pilih untuk berjalan keluar ruangan menyusul teman-temannya. Livana memandangi kepergian Hala dengan tersenyum puas. “Ya, sebuah pertemuan yang tepat, sebentar lagi kutukannya akan sempurna."
Sementara di luar ruangan ada Arung dan Gauri yang menunggu Hala dengan cemas. Arung berdecak sebal, “Nampak temanmu itu mengancam Nona Hala. Tak seharusnya kita meninggalkan dia dengan Livana sendirian.” Gauri memutar bola mata malas. Namun sepersekon kemudian ia melihat Hala dan Livana berjalan berdampingan, buat ketiganya langsung berdiri dan hampiri Hala. “Nona, kau baik-baik saja?” tanya Arung.
“Aku baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya,” jawab Hala sembari tersenyum, membuat Arung dan Gauri langsung hela napas lega. “Liv, apa kau tahu dimana keberadaan petinggi itu?” tanya Hala.
“Aku tahu. Dia sudah di surga, beristirahat dengan tenang di pangkuan-Nya.” Gauri berdecak sebal, “Jangan bohong, Livana.”
“Hahaha! Aku hanya bercanda, kalian ini mengapa serius sekali? Tidak ada yang tahu kebenarannya, seseorang mencoba menutupi bagian penting itu. Petinggi berada di tempat yang sulit ditafsirkan. Aku bersumpah, aku tidak bohong,” kata Livana sembari mengangkat kedua jarinya.
“Kalau sekali lagi kau mempermainkan kami, kubunuh kau,” ancam Arung.
“Tolong, kita baru saja memulai perjalanan ini,” keluh Hala yang merasa pusing secara tiba-tiba setelah mendengar ucapan Livana. Mendengar itu, Arung tentu saja merangkul nona-nya dengan lembut. “Tenang, nona, kami akan membantumu. Kita lanjutkan saja perjalanan ini.”
Livana melirik penuh misterius. “Aku juga akan membantu kalian nanti,” sahut Livana.
“Baiklah kalau begitu, jangan membuang-buang waktu. Mari kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan,” ajak Arung lalu berjalan lebih dulu dan disusul oleh Hala.
Gauri masih terdiam di sana. Lalu tatapi Livana penuh cekaman. “Kalian duluan saja, aku ada urusan yang masih belum selesai dengan Livana.” Gauri menarik tangan Livana untuk menjauhi teman-temannya, sedang Livana hanya bingung sembari berusaha menarik kembali tangannya. “Hei, apa maksudmu? Lepaskan, Gauri.”
Gauri berhenti dari langkahnya. “Aku ingin menagih janji lamamu. Katamu kau akan membangkitkan sihirku jika aku sudah mengembalikan buku ‘kan? Sekarang cepat lakukan itu!” kata Gauri sembari dengan kuat mencengkram tubuh Livana.
Sudut bibir Livana terangkat. “Gauri, aku mengatakan itu karena dirasa mustahil. Tapi ternyata, kau tidak mudah menyerah, ya?” sahut Livana santai. Namun Gauri yang dengar itu langsung merasa marah, didorongnya Livana hingga menubruk sebuah batu lalu ditodongkannya Livana dengan anak panah kebanggaan.
Ia menatap tajam. “Livana ... kau ingin mati, ternyata? Akan kulemparkan senjataku agar kau dapat tertidur tenang, seperti yang kau katakan tentang petinggi itu.”
Bukannya merasa takut Livana malah terkekeh, “Aku minta maaf Gauri, itu diluar kemampuanku.” Dan Gauri masih luapkan kekecewaan. “Aku rela menunggu lima tahun untuk dan ketika aku datang lihat apa yang kudapatkan?! Tidak ada!”
Tiba-tiba saja Aung menghampiri mereka yang masih bertengkar. “Apa-apaan ini?! Kita akan berangkat kenapa kalian malah bertengkar? Jangan membuang-buang waktu!” Gauri menghela napas, kemudian menyimpan kembali senjatanya. Sedang Livana langsung berdiri dan merapihkan pakaiannya. Arung menarik keduanya dan mendorong agar jalan perlahan ke depan, “Berjalanlah sana, jika masih bertengkar kuhajar kalian.” Livana berjalan persis di belakang Gauri, perempuan itu berbisik pelan, “Gauri, aku memang tidak bisa mengembalikan kekuatanmu. Tapi akan ada cara lain yang akan kau tahu nantinya.”
Gauri memberikan tatapan sinis. “Hentikan omong kosongmu, Livana. Sebelum anak panahku kembali meluncur.” Arung yang mendengar pun sedikit panik. “Hei, hei! Mau kuhajar ya?” Dan niat Gauri pun urung. “Jangan memperlambat jalan kita hanya karena permasalahan kalian.”
Mereka berempat pun berjalan kembali pada kapal, Arung seperti biasa membantu para wanita ini untuk naik. Namun, bunyi dentingan pedang yang bergesekan menyambut telinga mereka. Di sana terdapat Suha tengah bertarung bersama salah satu orang asing dengan pakaian mewah sedikit acak-acakan.
Sedang di sisi lain, Suha yang tengah melamun sambil menjaga kapal, terkecoh akibat gonggongan dari Abyss yang buat dia kaget. Suha pun menoleh ke kanan-kiri, pupil matanya mengarah ke semak-semak. Suha sedikit menyipit untuk mengetahui sesuatu di baliknya. Namun, tiba-tiba peluru melesat dan hampir menancap ke leher. Jantung pun berdetak kencang. “Peluru bius, ya. Berani sekali menyerang orang yang tengah bersantai.”
Abyss masih menggonggong. Ia menarik celana ketat milik Suha. “Aku tidak paham bahasa anjing!” Tapi yang jelas seseorang berusaha menyerang dirinya. Siapakah?
Kemudian kemunculan seorang pemuda entah darimana datang berikan presensi. Suara pedang yang keluar dari sarung membuat Suha berdecih. “Hei, orang asing, pergilah dari kapalku!!”
Orang itu tersenyum penuh seringaian. “Kalau aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan?” lalu menyiapkan ancang-ancang demi menyerang wanita di hadapan.
Sudah menghabiskan sekitar setengah jam dari semenjak Suha turun untuk melawan perompak. Bagi ukuran bajak laut, mungkin penampilannya terlalu mewah. Kenapa dia? Apakah bangsawan yang tersesat? Namun, kenapa hendak mencuri kapal ini?
Nyali Suha boleh juga sebab ia melawan dengan tangan kosong. Pedang miliknya saja masih digunakan sebagai penahan agar peta tidak terbang dibawa angin. Jadi segala jenis serangan telah ia lakukan, mata sendiri bahkan tak bersahabat sama sekali. Walau pria itu terus-terusan melayangkan pedang pada Suha, tergores sedikit pun tidak. Suha berhasil menangkis itu semua. “Jika kau punya harga diri, sebaiknya kau menggunakan tangan kosong, tanpa pedang. Satu lawan satu.”
Orang itu menunjuk dagu Suha dengan pedang. “Tak usah bicara soal harga diri, aku bahkan bisa membeli harga dirimu.”
“Sombong sekali kau rupanya.” Tepat saat Suha selesai mendengus. Ujung pedang tersebut hampir menusuk kepala, Suha pun melakukan rolling belakang. Lalu secara cepat menendang pedang orang itu. Namun, layangan pedang kembali ke udara tidak disia-siakan. Dengan gesit genggami erat pedang tajamnya, hendak bergerak menebas leher Suha. Navigator itu melenturkan tubuh ke belakang lagi, menahan beban dengan telapak tangan yang menapaki pasir putih.
Meski berada di posisi kayang, Suha masih bisa menggerakkan kakinya. Ia pun dengan kuat menendang rahang bagian bawah lawan. Pedang pun reflek terlepas hingga menancap di dekatnya, sementara orang itu oleng untuk mundur ke belakang. Tetapi nampak bahwa Suha kurang mendapati tenaga, maka punggung dia pun menabrak pasir putih lantaran kaki tidak mampu menekuk serta menahan bebannya lagi.
Lelaki berahang tegas itu kembali bangkit, kepala ia putar kencang. Bunyi retakan tulang langsung terdengar, ia meludahi kaki Suha dengan darahnya lalu menaiki kapal. Buru-buru Suha berdiri ingin menghalangi. “Menyerah sajalah wanita, kondisimu tidak sehat begitu,” ujar si pemuda sembari kembali mengangkat pedangnya. Suha diam-diam meringis, ia benar-benar direndahkan. Dia paling membenci ini.
Kemudian kapten beserta dua awal kapal lain, mungkin tiga sebab Livana berhasil direkrut entah kapan—Suha tidak mengerti. Mereka menghampiri sambil menatap pria di hadapan Suha penuh bingung. “Hei, hei. Apa yang kalian lakukan?” Hala memberi peringatan sebab terkejut akan pedang yang dilayangkan oleh orang asing itu. “Kau ini siapa?” tanya Hala sambil menyipit.
Pemuda dengan pakaian acak-acakan itu tercengang secara dramatis. Bahkan ikut menunjuk dirinya sendiri. “Kau bertanya padaku? Sungguh? Kau tak mengenal aku?”
Arung memandang ia sinis sebab merasa superior. Arung berani jamin jika melawan ketenarannya, maka ialah yang akan pasti menjadi pemenang itu. “Siapa? Kami tidak mengenalmu sama sekali,” jawabnya acuh.
Kaki pemuda itu singgah di atas meja. “Aku ini Sabilal Mehaki. Panggil aku, Pangeran Haki. Pewaris tahta dan putra kedua dari keluarga kerajaan paling terpandang, yaitu Aestemore.” Ia memperkenalkan diri dengan kebanggaan sangat mendalam.
Luka mengering itu kembali perih. Di balik kesakitannya, Suha menyeringai. “Oh, jadi kau bangsawan yang dibuang?” Gigi Haki menggertak geram, “Kurang ajar. Tutup mulutmu itu!” Terdengar tawaan keras dari Suha sekaligus Arung, mereka berhasil membuat si bangsawan buangan kesal.
Haki menunjuk Suha masih dengan pedang di hasta. “Tadinya aku masih ingin sekali menyiksamu lebih lama. Tetapi, aku lebih ingin kembali tidur ditumpukkan emas. Maka dari itu, jadilah budakku.” Suha pun manatap tak habis pikir. “Budak? Kau gila.”
Gauri yang merasa bahwa ucapan orang asing itu sudah kelewatan, ikut angkat bicara. “Kau ini tidak ada rasa hormatnya sama sekali ya dengan wanita. Pantas kau dibuang dari kerajaan,” ucapnya menohok.
Lelah dengan pertengkaran mereka yang tiada habis. Hala pun berusaha menghadapi dia penuh ketenangan. “Sebenarnya apa yang kau butuhkan dari kami?”
Pedang itu pun ia masukkan kembali dalam sarung. Haki menatap Hala secara hormat. “Aku butuh tumpangan untuk kembali ke kerajaanku. Ini penting. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan secepatnya di sana.”
Arung memandang rupa Haki benci. “Apa yang akan kami dapatkan jika memberimu tumpangan? Di dunia ini tidak ada yang gratis bung! Sekalipun kau itu bangsawan.”
Haki menyeringai sombong. “Kalian bisa meminta apa saja.” Dan Livana tersedak ludahnya sendiri. Gauri pun membalas perkataannya, “Jika kau bohong, aku akan memanah jantungmu.”
Meski Suha kalah telak, tapi ambisi dalam diri tak jua padam. “Dan aku tidak segan untuk memotong kakimu.” Tak ingin kalah, Arung pun ikut serta. “Aku juga tidak akan segan memeras uangmu.” Haki hanya beri anggukan. Suha pun kembali mendecih. Tumpangan boleh saja namun tidak akan ia serahkan kapalnya pada orang asing. Dasar gembel. Bangsawan kok merompak.
Hala dengan sisi bijaknya pun menerima Haki secara baik-baik, entah apa yang ada di pikiran kapten itu. “Tapi tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun. Masih baik hati kami memberimu tumpangan, Haki.”
Suha kembali pada kemudinya. Mereka lalu ambil posisi masing-masing dan Haki pun ikut menyesuaikan diri. Perjalanan sudah ditentukan ingin pergi kemana rupanya.
—
TW: blood.
“Kau sedang apa Suhaaaa?” tanya Livana dengan nada ceria. Suha yang sedang fokus menatap tanda merah pada peta pun sedikit terganggu, maka ia menjawab ketus, “Bukan apa. Aku tidak butuh bantuanmu.” Tahu jika niat Livana hanya ingin mencari kerja, Suha menolak karena takut justru Livana mengacau saja. Karena tawaran ditolak mentah-mentah oleh Suha, penyihir itu memilih ikut Arung memancing ikan. Sebab mereka kelaparan dan sedang butuh tenaga agar bisa lanjutkan perjalanan.
Penantian Arung akhirnya sirna. Mata hitam pekat itu menyala. “Lihat! Aku menangkap sesuatu. Eh, belut! Sudah lama aku tidak makan belut.” Arung bersorak girang saat kailnya berhasil dimakan hewan laut. Pupil kegembiraan seketika bergetar ketika belut justru mematuk bahunya. Arung terjatuh langsung, darah segar mengalir dari bahu.
Gauri yang tengah mengarahkan panah ke tiang tiba-tiba berubah arah saat melihat Arung dalam bahaya. “Itu ... ular!” Panah pun melesat mengenai bagian ekor. Haki memotong tubuh ular tersebut lalu Livana melemparkannya kembali pada laut. Suha ikut menyaksikan kejadian tersebut berseru panik, ia pergi berlari melihat keadaan laut. Bola matanya membesar, “Di peta aku pikir titik laju kita sudah dekat ke Aestemore, dan kita berhenti pada titik yang salah.”
Dugh!
Kapal yang melaju perlahan itu mendadak kini berhenti seperti menabrak sesuatu, bahkan hampir saja oleng ke samping. Jantung mereka berpacu saat menyadari langit berubah gelap dan muncul ombak yang mengombang-ambing. Air laut semula tenang, berubah mengamuk dalam waktu cepat. Perlahan dari bawah laut, kepala suatu monster menampakkan diri. Rembesan air terdengar, kepala monster sampai depan mereka. Leher menjulang panjang, hanya saja ekornya melilit jangkar sehingga kapal tak dapat digerakkan kemana-mana. Mereka terjebak dalam jeratannya. Walaupun Loka Dè Janitra memiliki Hala, kesempatan berhasil tak bisa dihitung secara mudah. Hala sendiri berdiri kaku, keberanian hilang ditelan raga.
Makhluk itu pun mulai mengamuk. Raungan terdengar sangat mengerikan, bergema kencang dalam telinga mereka. Tubuh Hala kini tak mau bergerak. Beda sekali dengan Arung, ia berpura-pura seolah dia paling bugar. Dengan berani mengambil pedang dari kotak persenjataan lalu melompat ke badan Leviathan, bertarung melawannya bersama si bangsawan buangan—Haki.
Gauri di belakang bersiap memanahi bagian sensitif agar cepat lumpuh. Suha pun sama menjadi cadangan lewat belakang. Lalu Livana menyerang dari belakang mereka agar bisa cukup melindungi diri sendiri. Sedang Hala masih terdiam, ia sedang kembali mengumpulkan nyalinya pada hati.
Ketika kru kapalnya sibuk menyerang Leviathan, Hala menyadari satu hal bahwa sisik kulit monster itu sangat keras. Maka serangannya tidak mempan, bisa saja hanya terasa seperti semut. Jika begitu, mereka harus melukai di bagian kepala. “Arung, Haki, serang kepalanya!” Lalu Hala menghampiri Suha dengan cepat, “Aku ingin kau menggerakkan kapal ketika tepat lilitannya terlepas. Mengerti?” Walau Suha terlihat ragu, ia pun tetap mengangguk.
Mata si gadis hutan menangkap bahwa Haki beserta Arung kesusahan membuat monster itu tenang. Mungkin jikalau Haki masih memiliki semangat setinggi bukit, tetapi Arung sudah merasakan bahwa denyut nadinya melambat. Maka ia jatuh pingsan dan tergeletak ke lantai kapal secara keras. Haki yang geram menahan kepala Leviathan dengan tangan kosongnya sendiri, tetapi ia mengamuk lalu taring tajam berhasil melukai lengan. Takut tak dapat bertahan maka ia mundur, Livana penuh kesigapan bantu menyembuhkan luka tersebut setelah mengamankan tubuh Arung yang terlalu dekat pada si monster.
Hanya tersisa Gauri bersama Hala. Meski tubuh sangat gemeteran, ia memfokuskan target pada matanya Leviathan. Karena durasi mereka tidak akan cukup, jadi Gauri langsung berlari lalu menarik panahnya. Tepat sasaran! Leviathan mengamuk lagi, kepala dengan cepat datang menghampiri Gauri hendak memakannya meski mata sudah buta. Tetapi Hala tidak membiarkan itu, kuasa petirnya menyengat secara kilat ke arah Leviathan. Akibat kejut, raga si monster ambruk, terhempas masuk kembali di kedalaman Laut Kambera. Jeratan pun melonggar, sehingga Suha mulai jalankan kapal menggunakan kecepatan maksimal.
Hala meringis, ia hampiri tubuh Arung yang nampak semakin melemah. Mata terlalu berat untuk dibuka, sisa tenaga habis ia gunakan demi menyerang ular tadi. Walau begitu setidaknya Leviathan buta karena bisa anak buah sendiri—berkat racun ular telah diberi oleh Livana ke panahan Gauri.
Saat Haki berhasil menghampiri setelah sembuh bersama Livana. Hala pun memberi tatapan panik luar biasa. “Livana apa kau bisa sembuhkan Arung? Kumohon,” ucap Hala putus asa. Gauri di sampingnya masih berusaha menyadarkan Arung.
Ketakutan para awal kapal itu kini sirna, digantikan oleh kegelisahan tiada dua. Livana pun menunduk. “Aku hanya bisa menyembuhkan rasa sakit dan luka bagian fisik. Tetapi racun ataupun serangan dalam tubuh. Maaf, aku tidak bisa.” Sesuatu menghimpit dadanya. Tidak tega melihat salah satu rekan baru meregang nyawa.
Hala lalu menoleh pada Haki yang mungkin bisa memberikan secercah harapan berarti. “Haki, apa kau tahu pulau yang menjual penawar racun? Atau mungkin tabib? Kita harus membawa Arung ke sana!” Bekas gigitan ular milik Arung meninggalkan bengkak serta bercak biru. Hala semakin dilanda rasa panik.
Haki ragu-ragu memberikan jawaban. “Jika Aestemore, punya. Tapi akan butuh waktu sepuluh jam perjalanan agar sampai sana. Sedangkan Arung ... mungkin hanya bisa bertahan selama lima jam,” ujaran Haki seperti tertahan, ia tak berani menatap Hala, “Setelahnya dia akan mati.”
Kegundahan menyelimuti kapal besar itu, tak ada yang berani membuka usulan. Bibir mereka terasa kelu. “Haki, lalu apakah kau tahu hal lain yang bisa menyelamatkan Arung selain dari Aestemore?” Barulah Hala kembali berucap setelah berpikir serius.
Laki-laki itu nampak ragu, “Ada pulau yang letaknya lumayan jauh dari Aestemore. Di mana ada hutan tempatnya para pecinta herbal, sayang banyak tanaman liar yang hidup, sehingga sulit untuk ditemukan.”
“Hutan Crophaya?” sergah Hala. Dan Haki beserta Livana mengangguk. “Kita akan ke sana.” Kapten melayangkan tatapan dingin, tangan tidak mau lepas dari tubuh Arung barang sedetikpun. “Tapi ... jika memang akan ke Hutan Crophaya, waktu yang tersisa untuk memcari tanaman itu hanya dua jam. Kita juga tidak tahu tanamannya benar ada ataupun tidak, bahaya datang pun kita tidak bisa menduga,” sanggah Haki dengan sedikit nada panik.
“Kau jadi banyak bicara.” Hala menatap Haki dengan penuh intimidasi. “Kau seolah mencegahku untuk pergi ke sana. Kau ingin Arung mati perlahan?” Gauri yang dengar itu merasa janggal akan nada bicara Hala, padahal gadis itu berperangai hangat serta selalu bersemangat. Ia ingin mengucapkan sesuatu tapi ragu, jadi diurungkan saja. Diam-diam Haki menghela napas, sedikit kesal sebab ujaran Hala tak menyenangkan hati. Ia berusaha memaklumi karena dia sudah bersama-sama hadir lebih dulu. Mungkin rasa kecemasan membuat nyali semangat dalam manik mata Hala meredup.
— BERSAMBUNG.