Minggu, 28 Mei 2023

VOL—III: MENGHANYUT KE MANTRA GELAP.

FAJAR TELAH BANGKIT dari ujung timur. Hala yang kelaparan hanya memakan dua buah apel dari simpanan kabin, nampak bahwa bahan makan pun adalah hasil curian. Seketika Hala merasa berdosa, tidak dengan Arung di mana menggunakan apel untuk memancing ikan.

Gauri menyapa Suha di pagi hari yang sudah sibuk dengan petanya. “Ada apa dengan dia?” Suha menggeleng, “Entahlah. Buronan tapi bodoh.”

Merasa tidak akan ada ikan mendekat, Arung berjalan ke arah meja dengan penuh kekecewaan. Lagi pula ikan mana yang bisa memakan apel?

Sampai kemudian mereka berempat duduk mengitari meja, Suha membuka peta. Lalu menjadikan lentera yang sudah lama padam untuk mencegah angin menutup kembali pagelaran peta tersebut. “Kita harus lewat ke daerah teluk ini. Bagaimana?”

“Kita harus membayar jika melewatinya.” Sudah pasti itu adalah perkataan Arung.

Hala menoleh ke arah Arung dengan wajah kebingungan. “Kita hanya perlu bayar saja.”

Arung menggeleng kekeuh. “Tidak! Uang kita akan berkurang, nona!” mendengar itu membuat Hala malas. Dia menggeserkan kursi sedikit menjauh dari Arung, tak ingin ada alasan aneh lagi keluar dari mulutnya. Kemudian atensi Hala beralih penuh ke Suha, membiarkan Arung sibuk hitungi berapa uang yang akan berkurang.

“Menurutmu kita harus ke teluk itu atau daerah pulau ini?” Suha bertanya lagi. Mata Arung membesar, biaya makan di setiap pulau-pulau itu sangat mahal.

Gauri menundukkan kepalanya. “Aku tahu jalan yang jarang dilewati orang-orang.”

“Tunjukkan arahnya,” perintah Hala. Dalam hati merasa bangga sebab tak salah untuk merekrut Gauri. Presensi gadis ini berguna juga ternyata melebihi perkiraan.

“Kita lewati sisi kematian, Laut Kambera.”




CUACA DENGAN CEPAT berganti ketika mereka melawan arah peta. Perlahan batu-batu besar, perbukitan, serta pulau-pulau sana ditelan kabut. Arung yang tak pernah menelusuri jalan baru apalagi mengetahui soal Laut Kambera itu sedikit khawatir. Takut-takut jika arahan Gauri salah dan berakhir membuat mereka semua mati di tengah laut luas tersebut. Sedang Hala tetap berdiri memandang lurus ke depan, seolah percaya bahwa arahan Gauri sangat tepat bagi tujuan utama semuanya melaut.

Ombak mulai berdatangan semakin ganas ketika mereka mulai memasuki daerah Laut Kambera. Namun, beruntung bahwa kapal Suha memiliki pondasi kuat sehingga tidak berakhir tenggelam di perjalanan. Gauri sebelumnya pun memang memberitahu, bahwa melewati Laut Kambera akan menjadi jalan pintas, tetapi bukan berarti sampai ke sana adalah hal yang mudah.

Gelombang besar ombak itu berhasil secara sempurna untuk membawa kapal mendarat di sebuah pulau yang terlihat kosong tanpa adanya kehidupan. “Apa ini tidak terlalu nekat? Maksudku, sebuah kebetulan kita mendarat sempurna. Tetapi, kau yakin ramuannya bisa terpercaya?”

“Dan betulan murah?” Gauri berdecak akan pertanyaan Arung. “Tenang saja, dia itu temanku. Ramuan yang ia punya selalu lengkap dan pastinya murah.”

Arung pun turun lebih dulu untuk memantau keadaan sekitar, lalu disusul oleh ketiga temannya. Sang Dierja menoleh ke arah Gauri dengan tatapan sengit. “Kau yakin di sini rumahnya?” tanya Arung.

“Tentu saja, aku tak mungkin lupa,” sahutnya dengan nada yang sama.

“Tapi ini pulau kosong bodoh! Kau tidak lihat bahwa tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini?” protes Arung tak sabaran.

Gauri memutar bola mata sebal, “Rumahnya itu transparan, dan jangan panggil aku bodoh!”

“Baiklah, lalu bagaimana agar kita bisa melihat rumah itu?” Arung berusaha menahan emosinya pada Gauri. Sedang Gauri menoleh ke arah Hala untuk meminta uang yang mereka punya sebesar 10 pen, namun Arung tidak mengijinkan. “Hei, itu untuk keperluan yang lain!”

“Bandit ini kenapa pelit sekali, sih? Padahal cuma 10 pen,” celetuk Suha.

“Cuma? Itu sangat berguna untuk membeli keperluan lain. Jangan boros, memangnya kau kaya raya?” kata Arung sembari bersedekap dada, menatap teman-temannya dengan sinis.

“Sudahlah, kalau kalian terus bertengkar seperti ini kita tidak akan bertemu dengan penyihir itu dan akan di sini sampai malam tiba,” ujar Hala yang sudah lelah melihat teman-temannya bertengkar.

Di waktu bersamaan, tiba-tiba sesuatu besar melintasi mereka dari atas langit. Gauri yang melihat itu menyadari bahwa ada seekor naga besar sedang terbang dengan seseorang mengendarainya. “Hei tunggu, lihat di atas! Dia ada di sana.”

“Siapa itu?” tanya Suha sembari mengikuti pandangan Gauri. “Aku baru tahu jika penyihir menaiki naga bukannya sapu terbang,” celetuk Hala yang merasa sedikit asing nan terkejut karena melihat sebuah naga besar di atas sana. “Mungkin saja sapunya kabur karena bosan harus menerbangkan dia,” sahut Arung.

“Kenapa bosan?” tanya Suha.
“Karena badannya berat,” jawab Arung.
Hala mengangguk setuju mendengar itu.

Keempat menusia itu refleks berjalan mundur ketika melihat sang naga sudah semakin dekat dengan mereka. Dan, ketika naga tersebut sudah menginjakkan kakinya di ranah pulau, turun sebuah gadis cantik dengan rambut hitam panjang. Ia menoleh sekilas dan berjalan ke arah Hala. “You must be Nur Hala Janitra, right?”

Hala yang mendengar pun terkejut karena ia sendiri belum memperkenalkan diri, lalu menatap gadis berambut hitam itu dengan tatapan curiga. “Kau siapa?! Kau—kenal Gauri ya?” spontan menunjuk presensi dia.

“Oh, apa Gauri membicarakan sesuatu tentangku? Aku Livana Shakir, senang bertemu dengan kalian semua,” ucap Livana sembari tersenyum manis.

“Hei, katakan darimana kau tahu namaku?”

“Apa memangnya yang tidak aku ketahui?” balasnya dengan sangat tenang.

“Kalau kau tidak mau memberikan jawaban, tubuhmu secara pasti akan tersengat listrik yang dahsyat dari tanganku,” ancam Hala, membuat justru terkekeh oleh itu. “Tetapi itu bukan penyebab kematianku."

“Kami datang bukan untuk basa-basi,” kata Gauri sembari melangkah ke depan Livana.

“Santai dululah, Gauri. Mau minum teh?”
“Jangan lupa dengan janjimu Livana.”

Spontan Livana terdiam sejenak, kemudian kembali tersenyum manis secara misterius sambil beri tawa canggung. “Baiklah, ayo masuk.” Livana berjalan lebih dulu, Arung membalikkan badan lalu langsung tersedak dengan air liurnya kala melihat ada sebuah rumah di sana. Pemuda itu rela bersumpah karena saat pertama kali mereka datang, yang mereka lihat hanyalah sebuah tanah kosong. Namun kini ada sebuah rumah yang datangnya entah darimana. “Astaga, sebenarnya kau ini apa sih?” tanya Arung.

“Aku dukun,” jawab Livana sembari memasukkan kunci rumahnya.

“Hah?” semua orang membeo.

“Kalian percaya? itu sungguh lucu.” Livana tertawa pelan lalu membuka pintu, ia pun mempersilahkan mereka untuk masuk. “Jadi, apa tujuan kalian kesini?” tanya Livana lalu memperhatikan Hala dari atas kepala sampai ujung kaki. 

“Aku hanya ingin membeli beberapa ramuan, dan... mengantarkan Gauri,” jawab Hala sembari menoleh ke arah Gauri.

“Aku yang ada perlu denganmu,” sahut Gauri sembari melempar sebuah buku ke hadapan Livana. Membuat Livana langsung terdiam melihat tersebut, namun sedetik kemudian gadis itu tersenyum. “Itu bukumu yang terjatuh di hutan dulu.”

Livana mengambil buku tersebut lalu menoleh ke arah Gauri, “Baik sekali kau mengembalikannya, terima kasih, nanti akan kuberikan kau sebuah imbalan. Tetapi sekarang, aku ingin melayani Hala terlebih dahulu.” Livana mengajak Hala ke sebuah ruangan, meninggalkan mereka bertiga dengan Arung yang merasa janggal dengan hal itu. Pemuda Dierja memandang Gauri dengan tatapan tajam, “Gauri, kemari kau! Mengapa dia membawa Hala pergi? Jangan bilang kau sedang berusaha menipu kami?”

Gauri panik. “Aku tidak menipu! Percayalah padaku, aku tidak bohong. Ia akan sangat membantu karena Livana tahu segalanya kecuali suara hati kalian. Dan apa yang dilakukan oleh Livana tidak ada sangkut pautnya denganku,” jawab Gauri yang merasa tidak terima dituduh seperti itu.

Arung mengangkat kerah baju Gauri dengan kasar, lalu berbisik pelan, “Aku tahu bahwa Nona Hala tidak selemah itu. Tapi, jika saja kudapati satu gores saja luka pada tubuhnya saat kembali nanti aku akan membunuhmu.” Tatapan Arung nampak semakin tajam. Gauri dengan cepat menyingkirkan tangan Arung dari pakaiannya, “Ya, aku berjanji Hala tidak akan kenapa-kenapa.”

Sementara di ruangan lain ada Livana yang mendengar keributan kecil itu, tetapi dirinya tak peduli. Sekarang pada hadapannya ada Hala yang masih terdiam menunggu Livana mengeluarkan suara. Lalu dia mengambil sebuah tas yang sudah diisi untuk bekal selama mereka berlayar. “Dengarkan aku, Hala. Isi tas ini adalah buah apel dan ramuan yang kau pinta. Tapi ingat, ramuan ini hanya digunakan untuk penyembuhan luka kecil, bukan besar.”

Hala menerima tas itu dengan baik dan hati-hati, “Terima kasih Livana, aku akan menggunakannya dengan baik.”

“Harus begitu! Aku akan mengawasimu.”
“Tunggu, apa? Mengawasi?” Hala bingung.
“Ya, karena aku akan ikut kalian berlayar.”
“Apa? Kenapa?”

Livana mengerutkan dahinya, “Mengapa kau sangat terkejut? Kau tak suka ikut?” Ditanya seperti itu, membuat Hala langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, bukan seperti itu. Aku belum mengajakmu, kalaupun kau ikut juga aku tidak keberatan.” Kemudian senyum tipis singgah pada bibir cantik Hala.

“Gauri sudah memberitahuku sebelumnya.”

“Ada apa dengan kalian ini?” Hala benar-benar merasa curiga dengan Livana dan Gauri. Livana hanya menggeleng lalu menunjuk ke dalam tas, “Hampir lupa aku mengatakan ini, di dalam tas itu juga ada sebuah gelang, tolong dipakai sebagai pelindungmu selama kita berlayar nanti.”

“Gelang? Mengapa kau memberikannya padaku?” tanya Hala. Livana menaikkan bahu, “Seseorang memberikannya padaku, tak usah bertanya, kau akan tahu nanti.”

“Baiklah, kalau begitu aku akan keluar. Terima kasih, Livana.” Hala pun beranjak pergi dari ruangan.

“Hala,” panggilan Livana menginterupsi langkah kaki Hala agar berhenti. Ia pun menoleh lagi, “Ya?”

Tetapi Livana hanya menggeleng. “Tidak apa-apa.” Jawaban Livana membuat Hala terheran-heran, Hala merasa seperti ada yang ingin disampaikan oleh Livana. Namun karena tidak ingin ambil pusing, Hala pilih untuk berjalan keluar ruangan menyusul teman-temannya. Livana memandangi kepergian Hala dengan tersenyum puas. “Ya, sebuah pertemuan yang tepat, sebentar lagi kutukannya akan sempurna."

Sementara di luar ruangan ada Arung dan Gauri yang menunggu Hala dengan cemas. Arung berdecak sebal, “Nampak temanmu itu mengancam Nona Hala. Tak seharusnya kita meninggalkan dia dengan Livana sendirian.” Gauri memutar bola mata malas. Namun sepersekon kemudian ia melihat Hala dan Livana berjalan berdampingan, buat ketiganya langsung berdiri dan hampiri Hala. “Nona, kau baik-baik saja?” tanya Arung.

“Aku baik-baik saja, terima kasih sudah bertanya,” jawab Hala sembari tersenyum, membuat Arung dan Gauri langsung hela napas lega. “Liv, apa kau tahu dimana keberadaan petinggi itu?” tanya Hala.

“Aku tahu. Dia sudah di surga, beristirahat dengan tenang di pangkuan-Nya.” Gauri berdecak sebal, “Jangan bohong, Livana.”

“Hahaha! Aku hanya bercanda, kalian ini mengapa serius sekali? Tidak ada yang tahu kebenarannya, seseorang mencoba menutupi bagian penting itu. Petinggi berada di tempat yang sulit ditafsirkan. Aku bersumpah, aku tidak bohong,” kata Livana sembari mengangkat kedua jarinya.

“Kalau sekali lagi kau mempermainkan kami, kubunuh kau,” ancam Arung.

“Tolong, kita baru saja memulai perjalanan ini,” keluh Hala yang merasa pusing secara tiba-tiba setelah mendengar ucapan Livana. Mendengar itu, Arung tentu saja merangkul nona-nya dengan lembut. “Tenang, nona, kami akan membantumu. Kita lanjutkan saja perjalanan ini.” 

Livana melirik penuh misterius. “Aku juga akan membantu kalian nanti,” sahut Livana.

“Baiklah kalau begitu, jangan membuang-buang waktu. Mari kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan,” ajak Arung lalu berjalan lebih dulu dan disusul oleh Hala. 

Gauri masih terdiam di sana. Lalu tatapi Livana penuh cekaman. “Kalian duluan saja, aku ada urusan yang masih belum selesai dengan Livana.” Gauri menarik tangan Livana untuk menjauhi teman-temannya, sedang Livana hanya bingung sembari berusaha menarik kembali tangannya. “Hei, apa maksudmu? Lepaskan, Gauri.”

Gauri berhenti dari langkahnya. “Aku ingin menagih janji lamamu. Katamu kau akan membangkitkan sihirku jika aku sudah mengembalikan buku ‘kan? Sekarang cepat lakukan itu!” kata Gauri sembari dengan kuat mencengkram tubuh Livana.

Sudut bibir Livana terangkat. “Gauri, aku mengatakan itu karena dirasa mustahil. Tapi ternyata, kau tidak mudah menyerah, ya?” sahut Livana santai. Namun Gauri yang dengar itu langsung merasa marah, didorongnya Livana hingga menubruk sebuah batu lalu ditodongkannya Livana dengan anak panah kebanggaan.

Ia menatap tajam. “Livana ... kau ingin mati, ternyata? Akan kulemparkan senjataku agar kau dapat tertidur tenang, seperti yang kau katakan tentang petinggi itu.”

Bukannya merasa takut Livana malah terkekeh, “Aku minta maaf Gauri, itu diluar kemampuanku.” Dan Gauri masih luapkan kekecewaan. “Aku rela menunggu lima tahun untuk dan ketika aku datang lihat apa yang kudapatkan?! Tidak ada!”

Tiba-tiba saja Aung menghampiri mereka yang masih bertengkar. “Apa-apaan ini?! Kita akan berangkat kenapa kalian malah bertengkar? Jangan membuang-buang waktu!” Gauri menghela napas, kemudian menyimpan kembali senjatanya. Sedang Livana langsung berdiri dan merapihkan pakaiannya. Arung menarik keduanya dan mendorong agar jalan perlahan ke depan, “Berjalanlah sana, jika masih bertengkar kuhajar kalian.” Livana berjalan persis di belakang Gauri, perempuan itu berbisik pelan, “Gauri, aku memang tidak bisa mengembalikan kekuatanmu. Tapi akan ada cara lain yang akan kau tahu nantinya.”

Gauri memberikan tatapan sinis. “Hentikan omong kosongmu, Livana. Sebelum anak panahku kembali meluncur.” Arung yang mendengar pun sedikit panik. “Hei, hei! Mau kuhajar ya?” Dan niat Gauri pun urung. “Jangan memperlambat jalan kita hanya karena permasalahan kalian.”

Mereka berempat pun berjalan kembali pada kapal, Arung seperti biasa membantu para wanita ini untuk naik. Namun, bunyi dentingan pedang yang bergesekan menyambut telinga mereka. Di sana terdapat Suha tengah bertarung bersama salah satu orang asing dengan pakaian mewah sedikit acak-acakan.

Sedang di sisi lain, Suha yang tengah melamun sambil menjaga kapal, terkecoh akibat gonggongan dari Abyss yang buat dia kaget. Suha pun menoleh ke kanan-kiri, pupil matanya mengarah ke semak-semak. Suha sedikit menyipit untuk mengetahui sesuatu di baliknya. Namun, tiba-tiba peluru melesat dan hampir menancap ke leher. Jantung pun berdetak kencang. “Peluru bius, ya. Berani sekali menyerang orang yang tengah bersantai.”

Abyss masih menggonggong. Ia menarik celana ketat milik Suha. “Aku tidak paham bahasa anjing!” Tapi yang jelas seseorang berusaha menyerang dirinya. Siapakah?

Kemudian kemunculan seorang pemuda entah darimana datang berikan presensi. Suara pedang yang keluar dari sarung membuat Suha berdecih. “Hei, orang asing, pergilah dari kapalku!!”

Orang itu tersenyum penuh seringaian. “Kalau aku tidak mau, apa yang akan kau lakukan?” lalu menyiapkan ancang-ancang demi menyerang wanita di hadapan.

Sudah menghabiskan sekitar setengah jam dari semenjak Suha turun untuk melawan perompak. Bagi ukuran bajak laut, mungkin penampilannya terlalu mewah. Kenapa dia? Apakah bangsawan yang tersesat? Namun, kenapa hendak mencuri kapal ini?

Nyali Suha boleh juga sebab ia melawan dengan tangan kosong. Pedang miliknya saja masih digunakan sebagai penahan agar peta tidak terbang dibawa angin. Jadi segala jenis serangan telah ia lakukan, mata sendiri bahkan tak bersahabat sama sekali. Walau pria itu terus-terusan melayangkan pedang pada Suha, tergores sedikit pun tidak. Suha berhasil menangkis itu semua. “Jika kau punya harga diri, sebaiknya kau menggunakan tangan kosong, tanpa pedang. Satu lawan satu.”

Orang itu menunjuk dagu Suha dengan pedang. “Tak usah bicara soal harga diri, aku bahkan bisa membeli harga dirimu.”

“Sombong sekali kau rupanya.” Tepat saat Suha selesai mendengus. Ujung pedang tersebut hampir menusuk kepala, Suha pun melakukan rolling belakang. Lalu secara cepat menendang pedang orang itu. Namun, layangan pedang kembali ke udara tidak disia-siakan. Dengan gesit genggami erat pedang tajamnya, hendak bergerak menebas leher Suha. Navigator itu melenturkan tubuh ke belakang lagi, menahan beban dengan telapak tangan yang menapaki pasir putih.

Meski berada di posisi kayang, Suha masih bisa menggerakkan kakinya. Ia pun dengan kuat menendang rahang bagian bawah lawan. Pedang pun reflek terlepas hingga menancap di dekatnya, sementara orang itu oleng untuk mundur ke belakang. Tetapi nampak bahwa Suha kurang mendapati tenaga, maka punggung dia pun menabrak pasir putih lantaran kaki tidak mampu menekuk serta menahan bebannya lagi.

Lelaki berahang tegas itu kembali bangkit, kepala ia putar kencang. Bunyi retakan tulang langsung terdengar, ia meludahi kaki Suha dengan darahnya lalu menaiki kapal. Buru-buru Suha berdiri ingin menghalangi. “Menyerah sajalah wanita, kondisimu tidak sehat begitu,” ujar si pemuda sembari kembali mengangkat pedangnya. Suha diam-diam meringis, ia benar-benar direndahkan. Dia paling membenci ini.

Kemudian kapten beserta dua awal kapal lain, mungkin tiga sebab Livana berhasil direkrut entah kapan—Suha tidak mengerti. Mereka menghampiri sambil menatap pria di hadapan Suha penuh bingung. “Hei, hei. Apa yang kalian lakukan?” Hala memberi peringatan sebab terkejut akan pedang yang dilayangkan oleh orang asing itu. “Kau ini siapa?” tanya Hala sambil menyipit.

Pemuda dengan pakaian acak-acakan itu tercengang secara dramatis. Bahkan ikut menunjuk dirinya sendiri. “Kau bertanya padaku? Sungguh? Kau tak mengenal aku?”

Arung memandang ia sinis sebab merasa superior. Arung berani jamin jika melawan ketenarannya, maka ialah yang akan pasti menjadi pemenang itu. “Siapa? Kami tidak mengenalmu sama sekali,” jawabnya acuh.

Kaki pemuda itu singgah di atas meja. “Aku ini Sabilal Mehaki. Panggil aku, Pangeran Haki. Pewaris tahta dan putra kedua dari keluarga kerajaan paling terpandang, yaitu Aestemore.” Ia memperkenalkan diri dengan kebanggaan sangat mendalam.

Luka mengering itu kembali perih. Di balik kesakitannya, Suha menyeringai. “Oh, jadi kau bangsawan yang dibuang?” Gigi Haki menggertak geram, “Kurang ajar. Tutup mulutmu itu!” Terdengar tawaan keras dari Suha sekaligus Arung, mereka berhasil membuat si bangsawan buangan kesal.

Haki menunjuk Suha masih dengan pedang di hasta. “Tadinya aku masih ingin sekali menyiksamu lebih lama. Tetapi, aku lebih ingin kembali tidur ditumpukkan emas. Maka dari itu, jadilah budakku.” Suha pun manatap tak habis pikir. “Budak? Kau gila.”

Gauri yang merasa bahwa ucapan orang asing itu sudah kelewatan, ikut angkat bicara. “Kau ini tidak ada rasa hormatnya sama sekali ya dengan wanita. Pantas kau dibuang dari kerajaan,” ucapnya menohok.

Lelah dengan pertengkaran mereka yang tiada habis. Hala pun berusaha menghadapi dia penuh ketenangan. “Sebenarnya apa yang kau butuhkan dari kami?”

Pedang itu pun ia masukkan kembali dalam sarung. Haki menatap Hala secara hormat. “Aku butuh tumpangan untuk kembali ke kerajaanku. Ini penting. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan secepatnya di sana.”

Arung memandang rupa Haki benci. “Apa yang akan kami dapatkan jika memberimu tumpangan? Di dunia ini tidak ada yang gratis bung! Sekalipun kau itu bangsawan.”

Haki menyeringai sombong. “Kalian bisa meminta apa saja.” Dan Livana tersedak ludahnya sendiri. Gauri pun membalas perkataannya, “Jika kau bohong, aku akan memanah jantungmu.”

Meski Suha kalah telak, tapi ambisi dalam diri tak jua padam. “Dan aku tidak segan untuk memotong kakimu.” Tak ingin kalah, Arung pun ikut serta. “Aku juga tidak akan segan memeras uangmu.” Haki hanya beri anggukan. Suha pun kembali mendecih. Tumpangan boleh saja namun tidak akan ia serahkan kapalnya pada orang asing. Dasar gembel. Bangsawan kok merompak. 

Hala dengan sisi bijaknya pun menerima Haki secara baik-baik, entah apa yang ada di pikiran kapten itu. “Tapi tenanglah, aku tidak akan melakukan apapun. Masih baik hati kami memberimu tumpangan, Haki.”

Suha kembali pada kemudinya. Mereka lalu ambil posisi masing-masing dan Haki pun ikut menyesuaikan diri. Perjalanan sudah ditentukan ingin pergi kemana rupanya.



TW: blood.

“Kau sedang apa Suhaaaa?” tanya Livana dengan nada ceria. Suha yang sedang fokus menatap tanda merah pada peta pun sedikit terganggu, maka ia menjawab ketus, “Bukan apa. Aku tidak butuh bantuanmu.” Tahu jika niat Livana hanya ingin mencari kerja, Suha menolak karena takut justru Livana mengacau saja. Karena tawaran ditolak mentah-mentah oleh Suha, penyihir itu memilih ikut Arung memancing ikan. Sebab mereka kelaparan dan sedang butuh tenaga agar bisa lanjutkan perjalanan.

Penantian Arung akhirnya sirna. Mata hitam pekat itu menyala. “Lihat! Aku menangkap sesuatu. Eh, belut! Sudah lama aku tidak makan belut.” Arung bersorak girang saat kailnya berhasil dimakan hewan laut. Pupil kegembiraan seketika bergetar ketika belut justru mematuk bahunya. Arung terjatuh langsung, darah segar mengalir dari bahu.

Gauri yang tengah mengarahkan panah ke tiang tiba-tiba berubah arah saat melihat Arung dalam bahaya. “Itu ... ular!” Panah pun melesat mengenai bagian ekor. Haki memotong tubuh ular tersebut lalu Livana melemparkannya kembali pada laut. Suha ikut menyaksikan kejadian tersebut berseru panik, ia pergi berlari melihat keadaan laut. Bola matanya membesar, “Di peta aku pikir titik laju kita sudah dekat ke Aestemore, dan kita berhenti pada titik yang salah.”

Dugh!

Kapal yang melaju perlahan itu mendadak kini berhenti seperti menabrak sesuatu, bahkan hampir saja oleng ke samping. Jantung mereka berpacu saat menyadari langit berubah gelap dan muncul ombak yang mengombang-ambing. Air laut semula tenang, berubah mengamuk dalam waktu cepat. Perlahan dari bawah laut, kepala suatu monster menampakkan diri. Rembesan air terdengar, kepala monster sampai depan mereka. Leher menjulang panjang, hanya saja ekornya melilit jangkar sehingga kapal tak dapat digerakkan kemana-mana. Mereka terjebak dalam jeratannya. Walaupun Loka Dè Janitra memiliki Hala, kesempatan berhasil tak bisa dihitung secara mudah. Hala sendiri berdiri kaku, keberanian hilang ditelan raga.

Makhluk itu pun mulai mengamuk. Raungan terdengar sangat mengerikan, bergema kencang dalam telinga mereka. Tubuh Hala kini tak mau bergerak. Beda sekali dengan Arung, ia berpura-pura seolah dia paling bugar. Dengan berani mengambil pedang dari kotak persenjataan lalu melompat ke badan Leviathan, bertarung melawannya bersama si bangsawan buangan—Haki.

Gauri di belakang bersiap memanahi bagian sensitif agar cepat lumpuh. Suha pun sama menjadi cadangan lewat belakang. Lalu Livana menyerang dari belakang mereka agar bisa cukup melindungi diri sendiri. Sedang Hala masih terdiam, ia sedang kembali mengumpulkan nyalinya pada hati.

Ketika kru kapalnya sibuk menyerang Leviathan, Hala menyadari satu hal bahwa sisik kulit monster itu sangat keras. Maka serangannya tidak mempan, bisa saja hanya terasa seperti semut. Jika begitu, mereka harus melukai di bagian kepala. “Arung, Haki, serang kepalanya!” Lalu Hala menghampiri Suha dengan cepat, “Aku ingin kau menggerakkan kapal ketika tepat lilitannya terlepas. Mengerti?” Walau Suha terlihat ragu, ia pun tetap mengangguk.

Mata si gadis hutan menangkap bahwa Haki beserta Arung kesusahan membuat monster itu tenang. Mungkin jikalau Haki masih memiliki semangat setinggi bukit, tetapi Arung sudah merasakan bahwa denyut nadinya melambat. Maka ia jatuh pingsan dan tergeletak ke lantai kapal secara keras. Haki yang geram menahan kepala Leviathan dengan tangan kosongnya sendiri, tetapi ia mengamuk lalu taring tajam berhasil melukai lengan. Takut tak dapat bertahan maka ia mundur, Livana penuh kesigapan bantu menyembuhkan luka tersebut setelah mengamankan tubuh Arung yang terlalu dekat pada si monster.

Hanya tersisa Gauri bersama Hala. Meski tubuh sangat gemeteran, ia memfokuskan target pada matanya Leviathan. Karena durasi mereka tidak akan cukup, jadi Gauri langsung berlari lalu menarik panahnya. Tepat sasaran! Leviathan mengamuk lagi, kepala dengan cepat datang menghampiri Gauri hendak memakannya meski mata sudah buta. Tetapi Hala tidak membiarkan itu, kuasa petirnya menyengat secara kilat ke arah Leviathan. Akibat kejut, raga si monster ambruk, terhempas masuk kembali di kedalaman Laut Kambera. Jeratan pun melonggar, sehingga Suha mulai jalankan kapal menggunakan kecepatan maksimal.

Hala meringis, ia hampiri tubuh Arung yang nampak semakin melemah. Mata terlalu berat untuk dibuka, sisa tenaga habis ia gunakan demi menyerang ular tadi. Walau begitu setidaknya Leviathan buta karena bisa anak buah sendiri—berkat racun ular telah diberi oleh Livana ke panahan Gauri.

Saat Haki berhasil menghampiri setelah sembuh bersama Livana. Hala pun memberi tatapan panik luar biasa. “Livana apa kau bisa sembuhkan Arung? Kumohon,” ucap Hala putus asa. Gauri di sampingnya masih berusaha menyadarkan Arung.

Ketakutan para awal kapal itu kini sirna, digantikan oleh kegelisahan tiada dua. Livana pun menunduk. “Aku hanya bisa menyembuhkan rasa sakit dan luka bagian fisik. Tetapi racun ataupun serangan dalam tubuh. Maaf, aku tidak bisa.” Sesuatu menghimpit dadanya. Tidak tega melihat salah satu rekan baru meregang nyawa.

Hala lalu menoleh pada Haki yang mungkin bisa memberikan secercah harapan berarti. “Haki, apa kau tahu pulau yang menjual penawar racun? Atau mungkin tabib? Kita harus membawa Arung ke sana!” Bekas gigitan ular milik Arung meninggalkan bengkak serta bercak biru. Hala semakin dilanda rasa panik.

Haki ragu-ragu memberikan jawaban. “Jika Aestemore, punya. Tapi akan butuh waktu sepuluh jam perjalanan agar sampai sana. Sedangkan Arung ... mungkin hanya bisa bertahan selama lima jam,” ujaran Haki seperti tertahan, ia tak berani menatap Hala, “Setelahnya dia akan mati.”

Kegundahan menyelimuti kapal besar itu, tak ada yang berani membuka usulan. Bibir mereka terasa kelu. “Haki, lalu apakah kau tahu hal lain yang bisa menyelamatkan Arung selain dari Aestemore?” Barulah Hala kembali berucap setelah berpikir serius.

Laki-laki itu nampak ragu, “Ada pulau yang letaknya lumayan jauh dari Aestemore. Di mana ada hutan tempatnya para pecinta herbal, sayang banyak tanaman liar yang hidup, sehingga sulit untuk ditemukan.”

“Hutan Crophaya?” sergah Hala. Dan Haki beserta Livana mengangguk. “Kita akan ke sana.” Kapten melayangkan tatapan dingin, tangan tidak mau lepas dari tubuh Arung barang sedetikpun. “Tapi ... jika memang akan ke Hutan Crophaya, waktu yang tersisa untuk memcari tanaman itu hanya dua jam. Kita juga tidak tahu tanamannya benar ada ataupun tidak, bahaya datang pun kita tidak bisa menduga,” sanggah Haki dengan sedikit nada panik.

“Kau jadi banyak bicara.” Hala menatap Haki dengan penuh intimidasi. “Kau seolah mencegahku untuk pergi ke sana. Kau ingin Arung mati perlahan?” Gauri yang dengar itu merasa janggal akan nada bicara Hala, padahal gadis itu berperangai hangat serta selalu bersemangat. Ia ingin mengucapkan sesuatu tapi ragu, jadi diurungkan saja. Diam-diam Haki menghela napas, sedikit kesal sebab ujaran Hala tak menyenangkan hati. Ia berusaha memaklumi karena dia sudah bersama-sama hadir lebih dulu. Mungkin rasa kecemasan membuat nyali semangat dalam manik mata Hala meredup.





— BERSAMBUNG.

VOL—II: PENYERBUAN TAHKIK BARA FAJAR.

ADA SEPETAK cerita lama di mana bukan sebuah legenda maupun mitos yang dibesar-besarkan pada masa. Pertunjukkan manusia tengah mengais humanis pencuri. Sanggupkah ia belajar maaf serta ucapi kata terima kasih? Demi berhasil menjadi manusia utuh. Sang pemilik jiwa kosong.




TEPAT KETIKA Nur Hala Janitra berjalan tertatih-tatih kakinya bersama bandit paling ditakuti rakyat Marjinal, Arung Dierja. Turun dari perahu curian mereka berdua, mendayung menuju Pegunungan Camargo demi menyewa kapal yang cukup untuk menampung mereka berlayar. “Akhirnya kita sampai!” seru Hala, “Hei, tunggu! Apa yang kau lakukan?” Hala segera menghampiri Arung

Arung menoleh dan menunggu Hala yang tengah berlari menghampirinya. “Seperti yang kau lihat, nona. Mengapa kita tidak duduk dulu? Memang tak lelah mendayung sejauh itu hingga sampai ke sini?”

“Ya ... sedikit sih,” jawab Hala terengah-engah, “Tapi jika kita lebih cepat itu lebih baik tau.” Arung pun berdecak. “Ck, sedikit apanya? Kau enak berkata seperti itu, nona. Karena aku yang mencuri juga mendayung perahu itu hingga kita sampai di sini,” protes Arung tidak terima. 

Hala kesal, memutar bola mata. “Berhenti bicara. Bandit ini tidak ikhlas rupanya.”

Arung menggeleng cepat. “Bukan seperti itu, Nona Hala,” sangkal Arung. “Nanti bayar jasaku sebesar 700.000 pen, oke?”

“Yang benar saja. Kau ini gila, ya, Rung?” tekan Hala sekali lagi, dengan mimik muka kesal. “Itu bahkan biaya makanku dalam sebulan. Tak usah banyak pinta!” tambahnya sinis. 

Arung mengelak, “Hei! Itu sudah murah, nona cantik. Kau harusnya berterima kasih karena aku membantumu untuk sampai ke tempat ini.” Hala mengerut kening. “Senang sekali kau bisa ambil kesempatan dalam kesempitan. Kau memang licik dan matre, Bandit sialan!”

"Ya. Itulah aku. Senang bekerja sama denganmu, Nona Hala.”

“Sudahlah. Ayo turun!”

Setelah pertengkaran kecil itu selesai. Arung turun dari perahu dan menyusul Hala, ia juga langsung duduk di toko minuman daerah pegunungan tersebut. Sang pemilik toko Garda Rum—bernama Suhailah Laksmi datang semenit kemudian untuk melayani. Arung dan Hala duduk di sebuah kursi tanpa penyangga di depan meja bar, beberapa bartender berjalan lalu-lalang di seberang meja. 

“Kau sering ke tempat seperti ini, Rung?” tanya Hala datar. Meski begitu, setiap dia menatap datar lurus ke arah objek yang diajak bicara, kesan yang diberikan pasti mengintimidasi. “Ya, tidak terlalu sering,” jawab Arung, “Kau tau, aku ini bandit kere yang tidak punya uang.”

“Hahaha. Payah,” ejek Hala. Salah seorang dari bartender menghampiri Hala dan Arung. Lalu menanyakan apa yang ingin Hala dan Arung pesan. “Selamat datang di Garda Rum, tuan dan nona! Ada yang bisa aku bantu?”

“Oh, aku ingin memesan satu gelas anggur,” jawab Arung. Sedangkan Hala menggeleng pelan. “Aku tidak ingin pesan apa-apa,” cetus Hala. 

“Nona? Kau yakin? Minuman di sini sangat enak, kau akan menyesal jika tak cicipi.” Arung menawarkan Hala sekali lagi. “Selama aku hidup, aku hanya pernah minum air. Aku tidak pernah minum rum. Takut-takut aku yang malah menyesal,” ucap Hala yang memang tak minat sejak awal. Si pemilik toko minuman mengangguk. “Baik. Jadi hanya segelas anggur?” tanya Suha memastikan.

“Ya, itu saja.” Arung mengangguk puas. “Baiklah, tuan dan nona. Pesanan anda akan datang dalam lima menit.” Suhailah langsung pergi untuk menyiapkan pesanan Arung. Dia mengambil gelas, mengisinya dengan minuman anggur.

“Arung, kau yakin kita aman berdua saja?” Hala bertanya seraya melihat sekitar, seperti ada rasa ragu dalam hati. “Tentu saja. Jangan khawatir, nona. Bandit ini dapat melakukan apa saja,” ucap Arung.

“Tentu, termasuk membual,” celetuk Hala.

“Hei, itu tidak termasuk dalam membual ya!” protes Arung tak terima. Suha yang sedari tadi mendengarkan jadi penasaran. “Memangnya kalian ingin pergi kemana?”

Arung hendak menyahut, ia memukul keras meja bar. “Kau tau soal petinggi Tanah Marjinal itu? Ia sudah hilang berhari-hari lamanya,” ucap Arung mulai menjelaskan. “Oh ya. Aku tau itu.” Suha mengangguk paham. “Nah, kami mau mencari— ...” belum sampai pada tujuan utama Arung menjelaskan, “... —dan akan mencuri sebuah kapal untuk mencarinya,” cicit Arung. Hala mendelik. “Hei! Kita tidak merencakan itu sebelumnya. Itu hanya niat burukmu.” Hala protes, sebab pembicaraan Arung memang di luar rencana mereka.

“Ya. Aku hanya berkata jujur. Memangnya kau punya uang untuk beli atau menyewa sebuah kapal, nona? Jadi lebih baik jujur bukan?” jelas Arung berpikir realistis. “Jangan bicara soal uang, kalau jawaban kau sama saja.” Hala sudah tak habis pikir dengan jalan pikiran Arung. Ia hanya beri cengiran. “Hehe. Setidaknya aku memiliki ide agar tujuan kita tercapai,” kekeh Arung. Hala tidak paham, tetapi Arung melirik Suha dengan intim seolah niat mencurinya kambuh kembali. Hei, yang benar saja?

“Jadi kalian berdua mencari petinggi Tanah Marjinal yang menghilang? Maksud kalian sayembara itu? Oh, jangan bilang kalian tertarik dengan sayembara itu.” Paham apa maksud kedua orang di depannya ini Suha jadi tertarik. Arung pun menyahut lagi. “Ya. Tentu! Siapa yang tak tergiur jika hadiahnya saja adalah harta apapun yang kita ingin, bung?” Munafik bila setiap pekerjaan tak meminta imbalan, seperti Arung. Kemudian ia melanjut, “Sekaya apa dirimu hingga tak butuh hadiahnya? Jika itu aku, tentu akan kulakukan semua cara agar bisa bertemu petinggi itu.”

Suhailah melongo. “Astaga! Toko Rum ini hampir saja bangkrut, kawan. Aku bukan tak tertarik dengan sayembara dan imbalan. Hanya saja, aku lebih menyayangi nyawaku daripada harta itu.” Tak menutupi kenyataan jika nyawalah yang lebih penting dari sebuah harta. “Kan ada kami,” ucap Arung santai.

Suha mendecih remeh. “Apa yang bisa aku andalkan dari kalian berdua? Aku rasa nona ini tidak memiliki bakat sama sekali dalam melaut. Dan, bandit mana bisa dipercaya?” Suha melontarkan keraguan. Dengan cepat Arung protes tak setuju, “Apa maksudmu? Kau pikir kami selemah itu?!” Ia berdiri siap untuk melempari Suha dengan uang. “Hei! Tidak usah buat masalah di tempat orang, tenanglah.” Hala coba menahan amarah Arung. Lalu Suha kembali menyeletuk, “Membantu kalian bukanlah masalah besar bagiku. Kalau begitu, aku akan antar kalian pergi berlayar.”

Mata Hala berbinar. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih.” Suha mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku serius dengan apa yang kuucapkan barusan.” Namun, netra Arung memicing curiga. “Tanpa bayaran apapun? Kau taukan, kita butuh pemasukan lebih, juga aku harus mencuri kapal. Sangat amat merepotkan untuk merekrut anggota lagi tanpa tambahan uang.” Lagi-lagi Bandit satu ini berbicara soal uang. “Hadiahnya dibagi-bagi. Uangnya pasti tidak sedikit,” celetuk Hala. Arung melotot. “Dia bilang dia akan bangkrut, nona. Bisa jadi dia butuh jasanya dibayar juga.” Arung coba ingatkan sebuah fakta. “Apakah kau pikir dia masih memiliki simpanan uang lebih?” lanjutnya.

Suha menyeringai. “Percayalah kalian berdua membutuhkanku, bukan uangku.” Hala pun menatap prihatin. “Kau dengar, Arung? Dia hampir bangkrut. Pakai sedikit hatimu itu.” Hala memang kapten baik hati.

Arung berdecak. “Ck, iya, nona. Aku hanya sedikit bercanda. Kaku sekali.” Arung coba menguasai diri. Hala menoyor kepala bandit. “Lagian kepalamu ini isinya memang uang saja,” sindir Hala. Suha pun menyela pembicaraan, “Kalian tidak perlu membayarku. Tapi aku tidak janji dengan itu. Mungkin saja suatu saat aku berubah pikiran.” Dengan perangainya yang tenang Suha coba meyakinkan. Arung beri angguk. “Baiklah. Jadi keputusanmu, kapten?” Kini Arung yang bertanya pada Hala. “REKRUT SUHA!” Tanpa pikir panjang Hala akhirnya menyetujui Suha untuk bergabung. “Baik. Terima kasih atas keputusan kalian.” Suha tersenyum simpul. “Ini anggur pesananmu, Tuan Bandit.” Segelas anggur tersaji di atas meja. “Ada yang ingin kutanyakan. Apakah kalian punya kapal?” tanya Suha habis itu.

Arung tersenyum di sudut kecil bibir. “Sudah kukatakan, aku ingin mencuri kapal,” ucap Arung mulai menyesap sedikit anggurnya. “Apa kau tau kapal yang sering ditinggal oleh pemiliknya? Agar aku bisa dengan mudah mencuri.” Arung lontarkan sebuah pertanyaan. Suha balas dengan gelengan kecil, “Aku tidak begitu tau.” Ia mencoba mengingat-ingat. “Aku terlalu sibuk untuk mengetahui hal seperti itu.” Suha pun mengusap dagu. “Bagaimana jika aku yang akan meminjamkan kapal?” Suha memberi sebuah tawaran.

Arung tertawa canggung dengan keras. “HAH?! KAU PUNYA KAPAL SENDIRI?!” Arung sampai ingin terjungkal mendengar perkataan Suha. “Kenapa tidak bilang dari tadi,” cicitnya kecil. Suha hanya meringis. “Tentu. Ada lima kapal di sini. Sebetulnya kapal ini dari peninggalan orang-orang dulu. Tapi terkadang aku memakainya saat berlayar dengan Bara Fajar,” ujar Suha sambil tersenyum tipis. “Favoritku adalah kapal yang ada di tengah sana. Selain karena bagasi luas serta kapalnya besar, juga terbuat dari bahan kayu terkuat.” Ia menunjuk salah satu kapal kebanggaan, memang tak berbohong. Nampak dari jauh kapal tersebut sudahlah keren.

Arung melihat ke arah kapal yang tadi ditunjukkan oleh Suha. “Wow, terlihat amat antik dan cantik. Jikalau dijual, pasti harganya bisa lebih mahal dari kepalaku.” Mata Hala menatap Arung tajam. “Mulai lagi si bandit ini.” Suha hanya terkekeh. “Pilih saja kapal mana yang kalian sukai untuk berlayar nanti,” pinta Suha. 

Hala menatap Suha tak enak hati. “Kami serahkan saja padamu, Suha. Kami tidak terlalu banyak tau soal kapal, kau ahlinya.”

Suha hampir tersedak. “Astaga ... baiklah.”

Arung melirik Hala dengan jahil. “Bilang saja nona ingin semuanya, hahaha. Aku bercanda, oke? Baik, Suha. Kami serahkan padamu. Seperti apa yang kapten katakan tadi.” Suha mengangguk patuh. “Akan aku pilihkan. Jadi nanti kita berlayar dengan kapal tengah. Aku bisa menjadi navigator yang paling diandalkan. Tenang. Percayalah padaku.” Suasana pun makin memberikan keyakinan bahwa mereka bertiga bisa atasi permasalahan yang sedang dihadapi. Hala merasa beruntung karena bertemu Suha yang mau membantu dengan tulus.

Arung menyeringai puas. “Wow, terdengar sangat meyakinkan. Jadi sudah berapa lama karirmu dalam mengarungi laut ini, Nona Suha?” Suha berpikir sejenak. “Ya ... sekitar lima tahun lamanya.” Mereka berdua mengernyit heran. “Lalu, kenapa berhenti?”

“Aku memutuskan untuk berhenti karena ada rumah yang harus kujaga. Jadi aku berhenti dan fokus saat tinggal di sini.” Ia memandang Pegunungan Camargo dengan sendu. Seolah-olah alam menyimpan luka.

Hala menatap Suha lembut. “Tak apa-apa, Suha. Keputusanmu pasti sudah dipikirkan matang-matang. Tokomu pasti bisa sukses kedepannya, percayalah.” Arung yang dengar itu mengerlingkan mata. “Ah, manis sekali. Apa aku tidak dapat ucapan? Aku ingin juga. Ayo berikan.” Hala hanya balas menatap Arung sengit. “Kau mau dapat ucapan apa? Bantu saja tidak ikhlas. Selalu iming-iming uang.” Arung melotot dramatis. “Hei! Kejam sekali nona kepadaku. Aku ‘kan hanya berusaha untuk tidak rugi di tengah bencana ini,” ungkap Arung.

“Terima kasih,” ucap Suha penuh gembira. “Ini perjalanan panjang, bila ada hal tidak terduga yang datang maka kita harus bisa bekerja sama.” Mereka berdua beri angguk setuju. “Tentu! Mari saling membantu!"

Hala menghela napas. “Asal tidak ditinggal lari saja.” Arung merasa tersindir. “Terus saja salahkan aku. Bandit memang selalu salah.” Dan Suha hanya tertawa geli.

“Mau kau kemanakan kapal itu, Suha?” Suara asing bertanya dari kejauhan. 

Suha menoleh dan terdiam. Sedang Hala beserta Arung merasa bingung akan kehadiran mereka.

Perjalanan baru saja akan dimulai sebentar lagi. Petualangan di seberang lautan luas sana tak pernah terungkap misteri apa saja yang bermunculan. Dan sebelum mereka bersua dengan angin laut, Suha didatangi oleh perompak lamanya—Bara Fajar. Mereka melarang kapal itu dipinjamkan! 

“Aku ingin menggunakan kapal ini untuk berlayar,” ujar Suha.

“Aku tak setuju!” kata si pengendali kemudi kapal Bara Fajar, Nona Langit, tetap bersikeras dengan kemauannya.

“Kenapa tidak? Kapal ini adalah milikku. Aku berhak untuk memakainya.”

“Kau lupa dengan jasa kami? Kalau bukan karena kami, kau juga bisa saja merusak kapal itu dan tidak akan pernah jadi bajak laut terhormat, Suha.” Aruna Mala, salah satu anggota ikut menyahuti.

Rajo, sang navigatornya Bara Fajar pun lempar balasan lain. “Kau memang tidak berubah ya, Suha, kau masih sama saja seperti yang dulu. Kau tak pernah belajar.”

Hala jadi frustasi. “Apa maksud kalian?!”

“Bebaskanlah jiwa-jiwa yang ada di sini, kau menyiksa mereka, Suha! Baru aku akan ijinkan kau meminjam kapal milik mereka.” Langit berteriak pada si kapten Bara Fajar.

“Aku menolong mereka!” bentak Suha.

Arung ikutan panik. “Suha, kau gila, ya?!”

“Dan kalian semua juga akan menjadi salah satu bagian dari mereka. Kau berterima kasih padaku nanti.” Suha mendekat lalu mencekik Langit dengan kuat.

Pandangan Aruna Mala melunak. “Kau tidak akan pernah berhasil menjadi manusia jika kau sendirian, Suha.”

Suha menoleh acuh. “Aku tidak sendirian! Mereka bersamaku.”

“Kau salah!” Rajo berteriak tanpa dosa. “Sejak saat kau terlahir di dunia, kau sudah sendirian, Suha.”

Perkataannya berhasil membawa Suha ketika ia pertama merasakan hidup, sebuah kehidupan yang persis macam manusia.




SUHAILAH LAKSMI, ia tidak pernah tahu siapa yang melahirkannya. Dia hanyalah mengerti bahwa diri sendiri masih bernapas tenang.

22 tahun yang lalu.

Pegunungan Camargo damai seperti biasa. Burung-burung yang memutari pulau, bersenandung merdu dengan kicauannya. Meski pulau itu selalu kebagian musim panas ekstrim, tetap saja menjadi rumah kesayangan bagi hewan-hewan. Tetapi karena terlalu panas, tidak ada yang memilih Pegunungan Camargo sebagai tempat tinggal sebab kurang layak ditinggali oleh para manusia.

Namun, suatu ketika, beberapa kapal besar singgah. Jika dilihat dari dekat, itu adalah kapal perang. Ada senjata, meriam, dan hal-hal tak menyenangkan juga mereka bawa serta. Termasuk para budak. Oh, mereka adalah rakyat dari lawan perang yang disandera oleh oknum tak berbakti suka ingin menang tanpa mengurangi tentara maupun penyimpanan senjata.

Selama menempati Pegunungan Camargo, mereka memburu makhluk hidup yang bersemayam di sana sebagai makanan. Dengan kejam, kelompok itu juga memberi makan bagi rakyat Dufa—tawanan—dari makanan sisa. Ada pula yang dibiarkan mati kelaparan. Tentara para penyandera ini sungguh berpuas hati lihat Dufa menderita. Tiada mengetahui bahwa salah satu rakyat Dufa, tengah mengandung seorang anak. Sayangnya, malapetaka itu terlanjur terjadi.

Pembantaian paling menyedihkan pun tiba. Tak ada yang tersisa dari kelompok rakyat Dufa kecuali keturunan si wanita, sempat ia melahirkan kala perang hadir di depan mata. Anak itu, adalah Suhailah Laksmi. Namun, wanita tersebut tak selamat. Pada akhirnya Suha bertahan sendirian pada pulau yang hancur-lebur sehabis perang.

Dan dari situlah ia hidup, bersama hewan liar, sehingga Suha belum mengerti bahasa manusia seperti apa.

Sampai lagi-lagi suatu hari bencana besar yang sama datang pada Pegunungan Camargo. Pemburu hewan-hewan langka mulai menyerang para penghuni. Satu persatu dari hewan itu ditembaki dan dimasukkan ke dalam jaring. Mereka hendak dijual. Suha kecil berumur lima tahun saat itu, ia pun melihat. Terdengar jelas rungu akan bagaimana raungan sakit meminta tolong, dan makhluk yang sejenis dengan Suha justru menyiksa mereka. 

Bencana terus berdatangan. Pegunungan Camargo menjadi tempat saksi penyiksaan yang menarik karena tidak akan ada pemerintah berani menangkap aksi penjahat itu. Peperangan, perbudakan, penebangan hutan, Pegunungan Camargo menjadi sasaran empuk bagi orang-orang tak berhati nan berakal budi pekerti.

Yang terlintas di pikiran Suha saat saksikan itu adalah; manusia sangatlah berkuasa. Berarti dirinya juga, 'kan? Apakah dirinya pun bisa berbuat sesuka hati? Manusia-manusia tadi ia amati memiliki emosi yang berbeda-beda. Sedih, marah, gundah, lara, gusar, kesal, putus asa, arogan, sampai bertindak semena-mena demi mengikuti kemauan pribadi. Mereka tidak pernah merasa bersalah, manusia selalu benar.

Lalu, apakah benar manusia seperti itu?

Berarti menurut Suha, jika dia sendiri marah karena mereka merusak pulaunya, itu adalah tindakan yang benar. Mereka bisa membunuh hewan-hewan di sini, bahkan manusia lainnya juga. Sambil tertawa, ada pun tanpa menunjukkan ekspresi. “Sebaiknya, aku membunuh mereka dengan emosi apa?” adalah pertanyaan Suha ketika melakukan hal di mana menurut dia adalah perbuatan baik.

Kabar kapal-kapal besar menghilang mulai terdengar secara gempar saat warta tersebut sampai ke telinga para pelaut. Khususnya bajak laut, mereka seakan tertantang untuk mendatangi Pegunungan Camargo. Ada saksi mengatakan bahwa mereka diserang oleh hantu di balik pohon. Kemudian berita makin luas tersebar. Para rookie hingga bajak laut senior malah saling bekerja sama menghancurkan Pegunungan Camarho karena mengira terdapat jimat, ruh, ataupun penjaga ghaib dalam pulau.

Tetapi ketika sampai, mereka hanya akan menjatuhkan pedangnya. Memohon ampun pada Yang Berkuasa. Jadi seperti itulah manusia dari kacamata Suhailah Laksmi. Rasa puas tergambar ketika melihat orang jahat tidak ia senangi berlutut meminta belas kasihan. “Setelah mati pun, jiwa akan tetap di sini. Rasa sakit itu, kalian rasakan berulang-ulang, dan selama-lamanya.”

Entah bagaimana, menyerang adalah hal biasa bagi Suha seiring waktu berjalan. Tapi ketika tidak ada siapa-siapa lagi orang bertandang hendak mengunjungi pulau, terasa begitu aneh. Seperti ada sesuatu hilang, kurang lengkap sebab sepi tak terbendung. Ia bahkan membangun istana di tepi gunung untuk pertahanan. Suha adalah Tuan Putri dari Camargo. Lebih tepatnya, tugas hidup sudahlah mengabdi pada pulau panas ini. Dan dialah, petaka berbahaya dari Camargo itu sendiri.

Sampai setidaknya ia bertemu dengan Bara Fajar. Mereka adalah bajak laut sungguhan yang pergi ke Pegunungan Camargo demi mencari petunjuk juga mengenai suatu tempat. Suha yang selalu waspada dan tak ingin pulaunya kembali terluka, maka dia serang kelompok tiga orang itu. Sebelum hal tersebut berhasil dilakukan, Suha mulai menyadari, bahwa segala perbuatan yang ia tiru perlahan adalah suatu kesalahan besar.

Jiwa-jiwa yang Suha ambil menjadi bagian dari butiran-butiran pasir panas. Dicampur dalam persatuan dari darah kotor hingga mereka yang tak bersalah. Bagi Suha, membunuh mereka si tanpa dosa adalah keringanan dunia, tak lagi mereka rasakan menderita karena Suha sudah selamatkan.

Pada dasarnya Suha adalah manusia, dia belajar cara menjadi manusia pada contoh yang salah.




“Apa yang kalian lakukan pada Suha?!”

Langit mendecih. “Tidak ada, kami hanya mengajarkannya kebaikan. Dan lihatlah dia lupa pada kami setelah bertemu kalian.”

Arung menggaruk kepala bingung. “Tapi kami baru bertemu tiga jam yang lalu.”

“Diam!” Aruna Mala mengeluarkan pedang.

Suha mendongak dari tundukan kepalanya. “Tapi aku sudah belajar, apakah semua itu salah?” Biasa Suha bisa mengendalikan emosi seseorang. Tetapi bertemu dengan Bara Fajar, ia kalah telak, dia tak sedominan itu. Setelah tahu bahwa dirinya hanya satu kesalahan rapuh, Suha mulai meragukan jati diri serta kemampuan bertarung.

Benar. Dari awal Suha seharusnya tidak ada. Lalu, apakah ia masih pantas hidup sebagai manusia?

“Suha. Dengarkan aku!” teriak Hala. Suha mendengar itu pun menatap dengan terluka. Arung jadi kasihan. “Gagal dalam suatu hal tidak membuatmu seburuk yang kau kira! Jika kau gagal menjadi manusia yang seharusnya maka kau tinggal perbaiki yang salah. Dan kau bisa menjadi lebih unggul dari sebelumnya. Kau dapat berhasil menjadi manusia lebih baik lagi!” serunya pada Suha, berusaha meyakinkan.

“Bagaimana ... manusia memperbaikinya?”

Ada secercah harapan muncul, Hala pun bersemangat. “Mudahnya, manusia itu saling mempelajari! Aku akan mempelajari dirimu, dan kau ajan mempelajariku!”

Suha sedikit tersentuh baru perdana ini ada seseorang yang mau memahami dirinya yang penuh teka-teki. “Pertama, yang harus manusia lakukan ketika bersalah adalah meminta maaf, Suha.”

Karena perkataan Hala, perlahan Suha menghadapkan diri kembali pada Langit. Lalu membisikkan pelan. “Maafkan aku.”

Sadar walaupun Langit masih terluka sebab kapal tersebut tetap jua akan diambil. Ia pun kembali melayangkan serangan ke arah Suha, begitupun lainnya berikan bantuan. Pertengkaran mulai terjadi anantara kubu Bara Fajar juga kubu Suha. Arung dan Hala tak tinggal diam, mereka pun ikut berantem dan tentu saja berpihak pada Suha.

CTAKK... CTAKK!

Tetapi, seorang elf baik hati dari Hutan Marjinal membantu dengan senang hati, si Mahika Gauri. Serangan tiba-tiba datang dari seorang perempuan berambut cokelat. Sasaran tepat mengenai bahu si pilot Bara Fajar yang langsung meringis kesakitan sebab goresan besar tertinggal di sana.

“Sialan! Siapa kau?” pekik Rajo Kelinggar.

“Aku, Mahika Gauri. Sebaiknya kalian pergi dari sini, atau akan kubuat keningmu juga ikut menjadi warna merah,” ujarnya penuh mengintimidasi berhasil Gauri lontarkan.

Pengemudi kapal Bara Fajar dan kedua kru lainnya tak banyak berkutik, sepertinya mereka sudah habis tenaga pula kalah telak, atau lebih tepat adalah mengalah. Hingga mereka pun putuskan untuk pergi. Kedatangan Gauri serupa emas yang jatuh dari langit karena berkat bantuan Gauri pertengkaran itu berakhir. “Terimakasih sudah membantu, Gauri,” ujar Suha yang dibalas Gauri dengan senyuman kecil.

“Sebenarnya aku sempat mendengar pembicaraan kalian tadi, apakah benar kalian akan pergi berlayar?” tanya Gauri memastikan. Hala sebagai kapten maju selangkah, menjelaskan rencana mereka kepada Gauri mulai dari sayembara hingga tujuan utama untuk pergi berlayar. Gauri tentu tertarik dan berniat ikut, namun Hala tak setuju karena Gauri hanyalah orang asing. Lalu Hala mengajak Arung serta Suha agar berdiskusi. “Aku tidak begitu yakin dengan Gauri.” Si kapten Hala melontarkan keraguannya pada Gauri.

“Menurutku tidak apa-apa merekrut dia, kau lihat sendiri tadi bagaimana ia melawan Bara Fajar yang keras kepala itu hingga akhirnya bisa pergi?” Suha meyakinkan.

Arung mengangguk setuju, “Tidak ada salahnya kita merekrut dia. Sedikit saja bermanfaat untuk bantu menyerang.”

“Oke baiklah.” Akhirnya, Hala setuju.

Setelah berdiskusi bersama Arung dan Suha, akhirnya Gauri berhasil direkrut oleh Hala, tentu atas kesepakatan bersama. Gauri lantas tersenyum dan memberitahu jika ia hanya akan menumpang dan bantu hingga setengah perjalanan, setelah itu keputusan ada di tangan mereka apakah akan tetap melanjut menjadi kru kapal mereka atau tetap membuang Gauri.




DI TENGAH kegelapan malam dan sinaran bulan pada kapal mereka, Arung Dierja pergi mengendap-endap hampiri si nona. Mendatangi Gauri yang sedang mengasah ujung panahannya agar semakin tajam. “Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan nona?” ucap Arung penasaran.

Gauri melirik tanpa minat. “Aku tidak punya tujuan.” Gadis itu berkata jujur, ia memang tak tahu harus kemana.

Arung mengernyit. “Lalu? Untuk apa kau bersikeras bergabung bersama kami?” Arung tak henti lontarkan pertanyaan.

Gauri melirik sinis. “Aku tidak bersikeras!” Ia memprotes. “Aku ingin menemukan tujuanku saat ikut kalian berlayar, jikalau sudah mengunjungi tempat-tempat baru,” ujarnya sekaligus menghela napas hingga samar-samar terdengar, spontan Gauri berhenti mengasah busur panahnya yang sudah semakin tajam itu lalu berdiri.

“Astaga ... berarti aku harus melindungi tiga perempuan sekarang,” keluhnya seraya memijit pelipis. “Oh, tidak. Entah ini sebuah keberuntungan atau sebuah malapetaka.”

“Hei! Jaga mulutmu!” Gauri menunjuk Arung dengan busur panahnya, “Aku tak butuh perlindungan. Aku pintar bela diri.” Kedua netranya melirik Arung tajam. Kalau tak ingat bagaimana ia bisa di sini mungkin Arung sudah ia panah sekarang. Sungguh, Gauri ingin bersikap tenang pun sepertinya tak bisa.

“Tetap saja kau perempuan!” nadanya terdengar meremehkan. Jelas Gauri tidak terima, “Memangnya kenapa jika aku ini perempuan? Mereka tidak selalu lemah,” sahutnya. “Lagipula kau tidak percaya dengan ‘kaptenmu’ sendiri? Karena dia seorang perempuan juga?” Baru kali ini Gauri bertemu manusia menyebalkan seperti Arung.

“Bukan tidak percaya.” Arung berusaha mengelak, “Tapi Nona Hala tidak sekuat yang kau pikirkan,” lanjutnya.

“Hei, kalian berdua lebih baik tidurlah!” teriak Suha yang sedang menyetir kapal.

“Hah ... aku harap kau dapat dipercaya, Gauri, ucap Arung berjalan masuk ke dalam kapal. Gauri mengangguk mantap, “Tentu, aku adalah orang yang bisa dipercaya.”

Keduanya beranjak pergi, masuk ke dalam kabin kapal masing-masing untuk pergi tidur. Sedangkan Suha dibiarkan untuk menjalankan kapal.

Tanpa diketahui mereka, Hala terbangun dan mengetahui percakapan mereka. Namun, semangatnya tidak akan patah begitu saja. “Tidak apa-apa, aku datang berpetualang untuk membawa kemenangan di depan ibuku. Bukan menjadi kapten nomor satu.” Walau begitu, ia tetap akan memperbaiki apa yang kurang. Hala yakin suatu hari nanti, ia tak'kan butuh ada seseorang melindunginya, melainkan ia jadi pelindung itu sendiri. Tenanglah, ini masih terlalu awal bagi para komplotan tersebut.

Malam itu, dewa-dewi mulai menarikan jari-jemari mereka. Perjalanan Loka Dè Janitra masih pada ujung garis peta, belum memasuki kawasannya. Walau begitu, esok pagi, mereka akan bertemu naga—atau lebih parahnya lagi, peperangan yang sebenar? Tidak ada yang tahu.





BERSAMBUNG.

Senin, 15 Mei 2023

PERI-PERI MERINAI DI TAMBANG EMAS.

PADA Tanah Marjinal, selaksa warsa lepas, kau bisa saja bangun karena ada naga yang akan menggaruk-garuk pintu belakang rumahmu, atau telat pergi ke sekolah gara-gara dikejar oleh rombongan pixie, atau juga meminta ramuan obat penyembuh sakit batuk dan lainnya ke seorang penyihir yang tinggal di seberang sungai. Kau tidak akan heran melihat peri hutan yang setinggi belalang bermain-main di bunga anggrek depan rumah.

Negeri ini telah dipimpin dan dibangun oleh manusia seutuhnya, tetapi makhluk-makhluk magis adalah bagian paling penting dari keseluruhan alam negeri Marjinal ini. Di negeri ini mereka diterima dengan tangan terbuka, hidup berdampingan bersama para manusia sambil terus menjaga tradisi cara mereka hidup. Seiring waktu berjalan, kekuatan-kekuatan magis menyatu dengan naluri manusia, membawa keseimbangan dan kedamaian.

Tapi negeri ini membenci makhluk campuran.

Adalah sebuah peraturan yang tidak tertulis, sebuah adat lama yang turun-temurun selalu disebarkan dan dipatuhi, bahwa darah manusia tidak boleh bercampur dengan darah makhluk magis manapun. Terakhir kalinya seorang campuran hidup di negeri ini, ia tidak pernah dianggap kehadirannya bahkan ia tidak ada di dalam daftar catatan penduduk negeri, tidak pernah tertulis dalam sejarah. Ia hanya ada melalui bisikan-bisikan dan cerita-cerita, kisah yang akan diceritakan orang-orang ketika tidak ada topik baru untuk bergosip. Ia adalah tokoh utama dalam kisah-kisah yang diceritakan para ibu untuk menakut-nakuti anak-anaknya dengan beranggapan melalu ucapan mutlak: “Jangan pernah mendekati para hybrid. Jangan pernah berteman pada mereka. Jangan pernah terlalu dekat dengan peri, elf atau merpeople. Jangan pernah kau ... jangan sampai nanti anak-anakmu adalah hybrid!

Sedari ribuan tahun, dan 'tak pernah ada seorang pun hybrid tercatat dalam sejarah negeri itu. Ribuan tahun, dan sejarah negeri itu adalah sejarah yang damai tanpa gejolak.

Yang mereka tidak tahu adalah; sebenarnya bukan hybrid yang akan mengguncang ketenangan negeri itu—tetapi sebuah tambang emas di dasar danau.

Danau itu dulunya adalah tempat tinggal para peri air. Hadirnya tempo musim kemarau yang panjang dapat mengeringkan semua airnya, dan peri-peri air menemukan rumah baru di air terjun di kaki gunung. Berlaksa-laksa warsa danau itu tidak menjadi apapun, hanya tempat terlupakan penuh rumput liar yang berubah jadi rawa dangkal setiap hujan deras. Pemerintah mengklaim daerah itu sebagai milik negara, tetapi tidak pernah melakukan apapun pada tempat itu. Menimbun dan mengolah bekas danau itu menjadi daerah bisa dihuni, dapat memakan terlalu banyak biaya serta usaha.

Sampai seorang fotografer burung yang menginap untuk memotret Burung Ibis tanpa sengaja menemukan sebongkah kecil emas mentah di bawah tendanya—tidak lebih besar dari ujung jari kelingkingnya, namun cukup untuk membuatnya penasaran. Ia pulang dengan beberapa bongkahan emas mentah di dalam tas kameranya. Meskipun foto yang dipotretnya bisa memenangkan lomba, temuan emas itulah yang membuatnya tenar. Berita soal emas di danau itu menyebar seperti virus. Begitu cepat wartanya tersebar. Tak perlu lama sampai orang-orang seperti manusia, peri, elf, hingga penyihir, tanpa tahu malu mereka berbondong-bondong mencari emas di danau kering itu.  

Ketika warta tersebut sampai di telinga sistem pemerintahan negeri, pihak pengurus negara langsung menurunkan perintah untuk mengamankan daerah danau itu. Dalam ungkapannya, danau itu sudah menjadi milik negara, maka tambang emas itu pun di bawah kuasa negara pula. Secepat orang-orang datang, secepat itu pula orang-orang pergi—meski tidak atau sebelum, hampir semua orang sudah punya lebih dari cukup miliki beberapa temuan emas untuk membuat hidup mereka sedikit bertambah baik. Segera setelah pemerintah memutuskan, pembangunan tambang emas besar-besaran dimulai. Semua orang telah memperkirakan setidaknya perkembangan ekonomi yang pesat semakin stabil dan perbaikan negeri itu meningkat di segala bidang.

Tapi sebelum emas mentah pertama sempat diolah, ratu peri air muncul di gedung pemerintahan untuk meminta bagiannya atas kepemilikan tambang emas tersebut. Danau itu sudah ditempati puluhan generasi peri air sebelum mengering dan diambil alih negara tanpa persetujuan penuh dari kaum peri air. Setidaknya, menurut sang ratu, kaum peri air pun berhak mendapatkan beberapa persen dari hasil tambang emas itu.

Pemerintah menolak; menurut hukum tanah tanpa pemilik yang tidak dihuni selama lebih dari lima tahun otomatis akan menjadi milik negara, siapa pun penghuni awalnya. Kaum peri air menyatakan protes. Berulang kali diadakan rapat antara petinggi negara dan perwakilan peri air tanpa hasil yang bisa memuaskan kedua belah pihak.

Dari situ mulailah muncul jarak antara manusia dan bangsa peri. Kaum magis yang lain, bersimpati dengan para peri, lalu menjauhi manusia. Dalam suasana 'tak menyenangkan itu adat anti-hybrid menjadi peraturan paling sakral bagi mereka. Menjadi alasan utama atas berbagai hubungan yang putus, meski sebenarnya semua orang tahu kalau sengketa tambang emas itulah biang keladinya.

Saat seperti itu jelas bukan waktu yang tepat untuk jatuh cinta, tetapi Rohan Elgard muda tidak bisa menahan dirinya. Ia tahu perempuan berambut merah lebat yang bergerak anggun memetik buah beri liar di hutan kala itu merupakan pasangan yang mendampingi hidupnya. Tidak, ia bukannya tidak tahu jikalau perempuan itu bukanlah peri sepertinya; ia bukannya tidak ingat dengan adat turun-temurun itu.

Namun apa pedulinya?

Gadis itu tinggal sendirian di pondok kecil di kaki gunung. Setiap hari Rohan akan meluncur turun dari puncak gunung, membawakannya seikat bunga liar, permen buatan peri atau barang-barang cantik yang ia temukan di hutan. Gadis itu, Sanja Maharatih tidak pernah menolak hadiah-hadiah pemberian Rohan. Ia juga tidak menolak ketika Rohan meminta ia menikahinya, dan mereka pun menikah secara diam-diam.

Sementara itu sengketa tambang emas 'tak pula kunjung menemui titik terang. Kumpulan kaum dari berbagai jenis makhluk-makhluk magis satu per satu memutuskan ingin meninggalkan negeri itu—dimulai dari kaum elf yang miliki rahsa cinta damai, telah merasa bahwa negeri itu tidak lagi terasa aman bagi mereka. Perlahan para naga mulai jarang ditemukan. Baik manusia maupun para peri air menyadari bahwa keseimbangan kekuatan magis dan naluri manusia mulai goyah, tapi mereka tidak bisa begitu saja melepaskan tambang emas tersebut.

Bayi kecil Rohan lahir tepat setelah kaum peri air menyatakan perang terhadap bangsa manusia—hybrid pertama di negeri itu berhasil lahir sedari entah berapa ratus tahun lalu. Bidan yang membantu kelahirannya sontak berteriak gemetar ketika bayi itu dibungkus selimut dan langsung diserahkan pada ibunya.

“Tuhan akan menghukum kalian berdua!”


Jauh dari pelataran rumah milik Rohan dan istrinya yang berada dekat goa. Sepasang suami-istri memiliki darah elf dalam jiwa mereka, tengah memadu kasih. Mereka sehabis selesai sarapan dengan resep roti baru, Laura Entik kini kembali disibukkan mempersiapi pernak-pernik yang hendak diperjual-belikan. Sedang Mahija Gentawa menyalami sang istri sebelum pergi. Genta sendiri bekerja sebagai pengawal para pemerintah negeri Marjinal pada saat itu, Laura sendiri tidak protes apabila Genta bekerja untuk para manusia karena mereka jelas berhutang budi pada sekumpulan bangsa berbadan tinggi nan besar itu.

Namun, setelah para peri air menyatakan perang mereka kepada pemerintah. Genta dilanda dilema, ia jelas harus membela kaum peri yang tengah menyuarakan hak mereka. Tetapi perintah tetaplah perintah, ia terlanjur harus menyepakati apa suruhan petinggi negeri. Dan semenjak saat itu, Genta dikabarkan tak pernah kembali.

Laura sudah jelas paham bahwa Genta mati pada peperangan itu, namun Gauri ... tak pernah mengerti kemana ayahnya pergi. Kemana ia? Kemana ia? Dimakan angin atau dilahap bumi akibat kutukan dari takdir?

Laura tak pernah memberitahu Gauri apapun. Ia dipaksa tumbuh sendiri dan bertahan tanpa memahami bangsa apakah ia. Sebab Laura tak ingin, ia tak sudi, Gauri ikut berperang membela ayah, merenggut hak peri lain juga, Laura tak ingin kembali rasakan hirap. Mungkin ia mati, jangan Gauri, putri kesayangannya yang tangguh.

Dan Genta, mati karena membela manusia yang serakah. Bukan bangsa elf lain, tengah susah payah hingga mati tersiksa tanpa sekeping emas pun diberikan.


Bagaimana juga, Rohan pun harus memilih.

Ia adalah seorang peri seutuhnya. Jiwanya terpanggil untuk membela bangsanya. Tetapi pada saat yang sama ia 'tak bisa begitu saja meninggalkan istri dan anaknya—o’ anaknya! Nur Hala Janitra paling tersayang. Harus dibawa ke mana bayi kecil berambut biru tua itu? Ia punya gen peri dan manusia dalam pembuluh darah raganya. 'Tak ada sisi tempat yang aman untuk bayi kecil itu. 'Tak ada lagi sisi kota yang aman untuk mereka bertiga.

Rohan 'tak lagi punya kehendak untuk memilih ketika para petinggi peri sendiri yang mendatanginya, meminta ia ikut berperang. Rohan menganggap mereka sedang menghukumnya karena menikahi seorang manusia. Dengan penuh air mata, Rohan mengusir istri dan anaknya, memastikan mereka sudah jauh ada di perbatasan sebelum perang betul-betul pecah, tahu kalau ia tidak akan selamat dalam perang itu.

Dan Rohan tidaklah salah. Perang anantara manusia dan peri itu sama sekali tak seimbang. Kekuatan magis para peri bukan tandingan bagi senjata-senjata manusia, bahkan meski para peri air menggabungkan kekuatan mereka dengan bangsa peri lainnya. Tanah-tanah tempat tinggal para peri terbakar akibat dampaknya. Sebelum timah panas di paru-paru dapat membunuhnya, Rohan teringat kata-kata salah satu petinggi peri yang datang ke rumahnya saat itu—kata-kata yang membuat istrinya seketika menangis tersedu-sedu.

“Semua ini terjadi gara-gara kau dan anak hybrid-mu itu. Bah! Memalukan sekali!”

Anak itu tidak memiliki salah apa pun, pikir Rohan, air matanya berlinang. Tidak, kami tidak bersalah. Cinta kami tidak salah ….

Di akhir, Rohan mati sendirian di ladang perang. 'Tak ada seorang pun peri tersisa di negeri Marjinal saat itu. Bahkan manusia memilih mengungsi dan habis berpindah ke daerah lain, nun jauh entah di mana.

Dan sekarang coba kutanya pada kalian: lantas, siapa sebenarnya yang dihukum Tuhan?


Gadis berambut panjang lurus dengan biru tua menghiasi helaian-helaian pada sekujur punggung. Menari-nari dirayu angin, Hala berada di atas puncak. Bukit dekat laut yang airnya membentang luas. Langit tengah menggelap namun badai nihil menghantui pulau itu, sudah hirap dihapus dewa laut. Beberapa sekon lagi, Hala akan merasai terbang lagi. Ia kembali dapati bebas. Dan kerinduan terhadap sapuan angin di seluruh raga. Hanya menunggu. Menunggu dengan dua nasib: Hala terbang di atas lautan luas atau tubuhnya jatuh menabrak karang lalu meninggal dilahap ombak selepasnya. Menunggu dan dipilih.

Dalam satu ... dua ... tiga ... Hala berlari, kaki mencapai ujung bukit dan—

“Hei, nona!”

Hala berhenti mendadak. Kakinya belum melompat. Ia menoleh sebal pada lelaki yang menginterupsi kegiatan si gadis. “Apa urusanmu? Pergi! Jangan ganggu aku.”

“Dan membiarkanmu jatuh dari bukit ini, lalu aku diadili oleh seluruh rakyat karena tak mencegahmu? Jangan konyol, nona.” Lelaki itu terkekeh. Ia berjalan pelan hampiri Hala seiring dengan melodi nyanyian angin. “Kau segitu inginnya mau terbang, apa kau dulu pernah jatuh atau mungkin mati tenggelam?”

Hala memandang sangsi. “Tahu darimana kau jika aku ingin terbang?”

“Kau ada di bukit ini berjam-jam lalu.” Ia menaikkan kedua alis. “Dan lihat sayapmu itu, apa tidak sakit?”

Hala meliriknya getir. Sumpah janji ingin serapahi Poseidon sampai puas di hati. Kemudian ia menarik sayapnya yang pataj tersebut secara kencang, teriakan tidak menciptakan bahananya sebab sudah lama menyesali penurutan. Andai saat itu ia tak patuhi perintah dari ibunda Sanja, untuk mengambil jemuran semasa badai memula pertunjukkan, mungkin sayapnya masih aman.

Hala pun hanya menghela napas. “Aku ingin terbang lagi rasanya.”

Lelaki di hadapannya mengangguk. “Aku tebak sayapmu tak bisa tumbuh lagi, ya? Sudah jelas ia rusak, susah jikalau begitu.”

Hala hendak menangis. Merasa miris pada diri sendiri. Tetiba lelaki itu perkenalkan diri, “Oh ya, aku Lesmana Danar, tolong ingat namaku, ya!”

Hala menatap ia aneh. “Kenapa aku harus mengingat namamu?”

“Kau tak ingin kita berteman? Baiklah, kalau begitu— ....”

“Tunggu!” 

Suara Danar dipotong. Hala menghentikan kepergiannya. “Aku Nur Hala. Hala Janitra. Salam kenal, Danar. Ayo bertemu lagi.”

Danar tersenyum. “Tentu, jumpa lagi esok!”


“Ayo keluar, Trixie. Pelan-pelan saja, ya.”

Gauri mengendap-endap keluar dari wisma di tengah hutan tepat dini hari selepas auman serigala menghiasa malam penuh berbintang. Dengan rasa takut, hampir dihempas oleh nyalinya yang setinggi langit. Ia keluar secepat kilat, menggunakan kemampuannya dalam bersembunyi dan ahli berbaur bersama kegelapan. Gauri berhasil pergi ke kota. Menempuh hidup baru, walau harus inap dulu di Goa tak apa, selagi mengais duit. Menghabisi rasa kesendirian yang semakin menggerogoti, berusaha isi sepi nan usir kebosanan abadi. Gauri pun menjelajahi.


— RAMPUNG.

VOL—IX: PENYEKAPAN MEMORI ANORAH.

DI PERMUKAAN GELAP, penuh gemerlap dari kilauan air bertemu dengan cahaya mentari. Entah bagaimana saat dua pasang netra kecokelatan terbuka...